Pria berbalut turtleneck navy itu tampak mengerjap. Ia menyesuaikan pandangannya yang seolah tidak percaya melihat kedatangan Cilla layaknya ingi pindah rumah. Mungkin, bisa jadi seperti rumah yang digusur dadakan dan pemilik dipaksa angkat kaki, lalu mengambil apa yang terlihat di depan mata.
Tapi ini seperti semuanya.
“Ini ... beneran mau dibawa ke dalam? Semuanya?” tanya Jonathan melihat satu koper besar Cilla.
Ada mantel disampirkan lengan Cilla yang sebenarnya lebih cocok untuk dipakai ke luar negeri saat musim salju. Mengingat, cuaca di Indonesia memiliki siklus yang cenderung berbeda dan sekarang belum musim hujan. Ia mengusap tengkuknya mendapati bantal kamar itu dibawa Cilla.
Pun, ada satu tas jinjing yang sebenarnya tidak terlalu besar, tapi tetap hadir di depan pintu Jonathan.
Ia benar-benar menyambut seorang pengungsi.
“Iya, dong! Semuanya harus aku bawa,” jawab Cilla menyeringai sempurna.
“Di dalam koper ini juga ada selimut kesayangan aku, jubah mandi kesayangan yang sehari dicuci harus kering. Karena aku nggak terbiasa pakai jubah mandi lain kecuali udah usang.”
“Ada lagi di tas jinjing ini isi beberapa tas kesukaan aku untuk hangout atau kerja. Terus—“
“—udah, udah. Udah paham kalau kamu terlalu berlebihan datang ke sini bawa isi kamar.”
Manik mata itu memicing tidak suka.
Jonathan memijat pelipisnya dengan mengembuskan napas lelah dan seketika pandangannya teralihkan pada unit di samping. “Bisa kamu pindahin ke unit sendiri. Di sini bukan tempat penampungan barang-barang nggak penting. Banyak nyamuk,” ketusnya sekaligus menyindir sikap Cilla.
Cilla mendelik kesal. “Mana ada di unit mewah ... apartemen kayak gini disandingkan dengan rumah yang biasa-biasa aja. Nggak! Pokoknya semuanya harus masuk ke unit kamu!” tegas Cilla langsung menerobos Jonathan menggeret koper besar Cilla.
Bahkan, pria itu tidak siap dan tungkainya sedikit mengenai sisi koper. Jonathan mengumpat pelan seraya mengusap bagian yang menderita.
“Aku di kamar kamu!”
“Nggak bisa!” teriak Jonathan refleks saat Cilla langsung berjalan cepat dan mengarah ke kamar Jonathan.
Pria itu pun berlari, lalu menarik lengan Cilla saat akan mencapai pintu kamar. “Kamu harus tidur di ruang tamu.”
“Eh! Enak aja!”
“Perempuan itu harus dapat perhatian khusus. Minimal kamu harus bisa kasih aku kamar yang nyaman.”
“Nggak bisa,” tegasnya menatap tajam Cilla.
Cilla menggeram tertahan dan ia pun tersenyum paksa seraya melepaskan tangan Jonathan yang mencekal tangannya. Perempuan itu menatap lurus Jonathan dan berucap, “Beneran nggak boleh tidur di kamar kamu?”
Jonathan berdeham pelan. Ia tanpa berminat menatap Cilla.
Perempuan itu menyeringai kecil. “Padahal, bagus lho ... ada untungnya kalau aku tidur di sini. Kan, kita bisa sekamar kalau kamu nggak mau tidur di sofa,” jelasnya menaik turunkan alisnya.
Cilla mengedip-ngedip genit dan nakal yang dibalas tatapan datar Jonathan.
“Ya udah kalau nggak mau,” sahut Cilla cepat.
“Aku pindah aja ke unit sebelah,” lanjutnya dan saat akan berbalik, Jonathan mencekal tangannya.
“Hari ini kamu masih bebas sesuka hati. Tapi besok?” Ia menyeringai penuh arti.
“Aku mau lihat kamu nangis ... terus marah-marah biar cepat tua.”
Cilla mencebik pelan. “Dasar tegaan!”
Namun, pikiran Cilla sudah lebih dulu mendesak untuk berucap sesuatu. Ia langsung mendekati Jonathan, lalu menyenggol jahil lengan pria itu. “Yakin, kalau satu kamar? Gimana kalau kamu napsuan sama aku?”
“Pasti deg-deg serrr ... nggak tanggung, ya,” lanjutnya kembali mengedip jahil.
Jonathan langsung saja mengubah posisinya untuk menatap Cilla dengan melipat kedua tangan di depan dadanya. Ia menaikkan sebelah alisnya lalu berucap, “Gimana kalau kamu yang berniat perkosa aku?”
Cilla refleks terbahak dan memegang perutnya saking tidak menerima pertanyaan dengan wajah sok dingin itu.
Perempuan itu beberapa kali memegang tulang pipinya karena merasa sakit, terus bergulir rasa geli dan takjubnya pada pertanyaan Jonathan. “Aku kasih tau, ya ...”
“Gimana pun, pria diperkosa perempuan ... nggak meninggalkan bekas, kecuali kenikmatan.”
“Lah, ini? Takut? Nggak kebalikannya?”
Jonathan mengetuk pelan kening Cilla yang langsung membuat perempuan itu tidak terima.
“Pria juga kehilangan keperjakaannya. Sama aja tau,” balasnya menatap tajam Cilla.
Cilla mengibaskan kedua tangan di depan wajahnya. “Tetap aja beda. Nggak bisa diganggu gugat. Tapi aku nggak masalah kalau satu ranjang sama kamu. Bebas aku goda.”
Perempuan itu tergelak memasuki kamar Jonathan tanpa rasa takut, sekaligus menggeret semangat koper miliknya. Di ambang pintu, Jonathan benar-benar dibuat takjub oleh perempuan yang dulunya terlalu mudah untuk ia tindas.
Sekarang?
Cilla tampak baik-baik saja dan bisa menyerangnya balik untuk dibuat kepanasan juga. Perempuan itu bisa bertindak dan melakukan apa pun sesukanya.
“Jo ....”
“Ambilkan barang aku yang tertinggal di pintu depan, ya!”
Pria itu menatap datar Cilla yang sudah di dekat nakas, berbalik hanya untuk meminta padanya. “Ambil sendiri kalau masih punya tangan dan kaki,” ketusnya berlalu menuju dapur dan Cilla langsung mengumpati pria itu.
Bahkan, di saat Jonathan sudah menghilang. Perempuan itu dengan gemas melempar bantar ke pintu; menunjukkan kekesalannya.
“Awas aja! Malam ini kamu panas dingin,” sahutnya menyeringai penuh arti.
“Sekalian aku mau tes kamu. Sebatas mana iman kamu.”
Cilla terkikik pelan dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tanpa melepas jaket miliknya. Aroma maskulin itu langsung membuatnya tersadar, jika sekarang Jonathan sudah dewasa. Tidak seperti kali pertama mereka mengenal sebagai murid di sekolah.
Dulu tinggi dirinya dan Jonathan hampir sama. Jangan ditanya, sekarang pria itu sangat tampan dan bertubuh atletis. Cilla harus mengakuinya.
Ya ... dengan tinggi yang sama seperti Lukas.
Cilla mengerjap, lalu mendudukkan dirinya dengan cepat mengingat nama pria itu. Ia membuka ponsel dan mengetikkan beberapa kalimat, sekaligus mengucapkan selamat berisitirahat padanya.
**
Jonathan pikir, Cilla hanya menggertak. Mungkin, lebih memilih tidur di sofa kamarnya jika terlalu takut tidur di luar kamar. Tapi kali ini ... di saat Jonathan berkutat dengan pekerjaannya di meja kerja yang ditaruh di ruang tengah ... Cilla memang sudah tampak manis di atas ranjang.
Sayangnya, pria itu harus mengerjap ... kembali meyakinkan diri jika Cilla memang tidak sekadar menggertak.
“Hai ... masuk, dong,” sahut Cilla berusaha menahan tawa melihat Jonathan yang terpaku di depan pintu kamar.
“Masuk ...”
“Di sini terasa hangat, meskipun ada AC. Soalnya di ruang tengah udaranya biasa aja. Mungkin, karena ada kita berdua di sini jadi agak beda, ya,” lanjutnya menggigit bibir bawah, merasa tergelitik dengan tatapan datar Jonathan.
“Aku udah satu jam lebih di meja kerja cuma untuk kasih kesempatan sama kamu tidur di luar atau seenggaknya jangan satu tempat denganku. Tapi kayaknya kamu suka menantang pria, ya?”
“Oh, iya, dong ...”
“Udah pakai gaun satin tipis ... tali tipis ... bagian dadanya rendah. Pas banget, kan!”
“Pas buat mengundang kamu terkam aku,” lanjutnya dan tertawa puas melihat Jonathan tidak berkedip dengan ucapan Cilla.
Perempuan yang bersandar manis di kepala ranjang sambil memainkan ponsel. Kini menepuk sisi samping bagian Jonathan. Cilla mempersilakan Jonathan untuk merebahkan tubuhnya di sebelahnya tanpa penghalang.
“Jangan bilang kamu takut tidur seranjang sama aku, Jo? Karena nggak mungkin banget, kan, kamu takut? Apalagi udah tumbuh besar di Amerika. Cium bibir dan peluk perempuan pasti udah sering.”
Jonathan mendengkus kesal, lalu memilih berjalan di sisi ranjang tanpa membalas ucapan Cilla. Perempuan itu mengulum senyum melihat Jonathan merebahkan tubuhnya, lalu menatap sekilas Cilla dengan tatapan tajam, “Tunggu besok,” tegasnya dibalas anggukan Cilla.
“Udah siap,” balasnya cepat.
“Siap diajak nana nina juga mau,” lanjutnya nyengir lebar saat Jonathan menatap Cilla horor.
Pria itu memilih membalikkan tubuh untuk membelakangi Cilla dan menghadrikan gerutukan perempuan itu. “Jo?”
“Ap, sih?”
“Nggak mau, ya?”
“Pria juga bisa jual mahal. Memangnya kamu pikir, aku tertarik sama tubuh kamu? Udah banyak dekat sama bule dan untuk ngelirik kamu ... bukan tipe aku.”
Saat itu pula Cilla mencebik tidak suka dan menatap datar Jonathan.
Ia masih setia duduk menatap Jonathan yang sepertinya ingin tidur. Pria itu tidak menganggap pusing kehadiran Cilla di atas ranjang yang sama.
“Jo?”
“Apa, sih? Dari tadi panggil terus. Kapan tidurnya? Aku mau bangun pagi-pagi biar cepat lihat ekspresi kamu yang lucu.”
“Ih ... jahat,” sahut Cilla.
Tidak ada balasan dari Jonathan dan membuat obrolan yang dibuka Cilla berakhir sia-sia.
“Kita udah lama nggak ketemu, ya? Sekali ketemu ... aku justru dibuat menderita sama kamu.”
“Mana pura-pura amnesia dengan hubungan kita waktu kecil dan terlebih saat aku pisah sama kamu di bandara.”
“Kamu jahat, Jo ...”
Sebenarnya, Jonathan tidak tidur. Ia masih membuka matanya, tampak terjaga sekalipun tidur membelakangi Cilla. Ia mendengar nada getir dan sedih di sana.
Cilla pun tampak memilin ujung gaun satinnya, ikut merasa sedih dengan sikap pria itu. “Mending kamu balik lagi ke negara kamu, deh. Negara yang udah besarin kamu dan berakhir lupain aku. Sedih, tau.”
“Nggak ada lagi yang hobi tarik-tarik rambut aku atau bersikap manis ke aku. Makin ke sini ... kamu makin jual mahal, susah diajak tertawa.”
“Kalau ketawa juga, hobinya biarin aku menderita berkali lipat. Aku bilang sama Papi, ya? Biar kamu dapat hadiah dari Papi aku.”
Cilla mengancam dan meminta Jonathan untuk menghentikan kejahilannya. Tapi pria itu hanya menjawab dengan posisi yang sama, “Hmm ... lapor aja, semau kamu.”
Perempuan itu membentuk cakaran—geram—dengan balasan jutek dan terkesan tidak peduli pada ucapan Cilla.
“Kamu nggak ada mau komentar sama penampilan aku yang sekarang?”
“Nggak. Biasa aja.”
“Nggak menggoda, ya?”
“Nggak. Biasa aja. Lebih menggoda perempuan di negara yang udah membesarkan aku.”
“Ih, sok banget. Aku buka baju ... paling langsung napsuan.”
Kedua sudut bibir Jonathan berkedut mendengar kekesalan Cilla sejak tadi. Di awal pertemuan mereka pun Cilla memang terlihat jauh berbeda dari dulu. Sekarang perempuan itu sudah cukup dewasa, tidak menunjukkan kepolosannya berlebih.
Justru terlihat nakal dalam aksi jahilnya.
“Tapi kita kelihatan kayak pasangan lagi malam pertama, ya?” Cilla tertawa kecil, tampak lucu dengan pertanyaannya.
“Terserah. Udah ngantuk. Jangan ganggu,” sahutnya mengabaikan Cilla dan memilih untuk menutup matanya.
Ia pikir, Cilla akan berhenti berbicara panjang lebar padanya. Karena ia bisa mencoba tidur, melakukan sesuatu yang paling penting di antara lainnya. Sebab, satu ranjang dengan perempuan yang dulu dikenalnya dan sekarang tumbuh dewasa ... tampaknya agak berbeda.
Jonathan harus mewaspadai dirinya sendiri.
Bohong jika ia tidak merasa risih berlebih saat Cilla dengan berani akan tidur di sampingnya.
Di saat pikirannya berkelana dalam mata tertutup. Pria itu nyaris menahan napas dengan refleks membuka mata ... mendapati tekstur lain menekan pipinya dengan gemas, cukup lama. Kemudian meninggalkan suara yang khas dan membuat desiran dalam tubuhnya terpantik.
“Selamat malam! Semoga mimpi basah ....”
Sial!
Cilla telah berani menjatuhkan kecupan di pipinya. Menekan cukup lama dalam beberapa detik yang membuat Jonathan nyaris menahan napas.
**