7. Gairah Terpendam

1185 Kata
Kemarin, orangtuanya pergi menuju rumah keluarga di kota yang berbeda. Alhasil, pagi ini Cilla hanya ditemani oleh asisten rumah tangga dan sopir yang bekerja masing-masing. Tapi menjadi kesempatan bagi Cilla untuk menyiapkan perlengkapannya. Semalam, Jonathan memerintah Cilla untuk menyiapkan pakaiannya di hari ini, membiarkan perempuan itu tidak masuk kerja sehari. Bagus? Tidak. Ia akan semakin dekat dengan kesengsaraan yang dibuat pria yang terlihat datar dan menyebalkan. “Udah nyaman di rumah sendiri ... kamar sendiri dan sekarang? Bakal pisah dua hari berturut-turut,” keluh Cilla menjatuhkan tubuh di atas ranjang dengan tidur terlentang. Perempuan itu merentangkan kedua tangan dan mengusap lembut sprei dan juga mengingat empuk serta hangatnya kasur miliknya. “Telanjur nyaman. Padahal, biasanya tidur nyenyak setiap di kasur ini,” tambahnya mengembuskan napas lelah. Perempuan itu kembali mendudukkan tubuhnya, lalu memandang ke arah kiri melihat isi kopernya sudah tersusun rapi. “Kerja tapi nggak digaji, bodoh juga, ya?” Sudah bekerja hampir satu hari penuh, tapi tidak mendapatkan apa pun selain gaji pokok di perusahaan. Cukup membuat Cilla merasa dibodohi. Jonathan memang keterlaluan dan Cilla tidak boleh menyerah begitu saja untuk balik menyerangnya. Perlahan, kedua sudut bibirnya tertarik sempurna. Cilla harus menikmati hidupnya yang sedikit berbeda dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. “Biarin aja dia pusing sendiri. Tiap hari migrain pun, aku bahagia,” ucapnya terkikik pelan. “Tunggu ... Asher ...” “Kamu bakal lebih menderita kalau terima aku jadi babu kamu.” Ia nyaris melompat dan menyiapkan pakaiannya, serta perlengkapan dan terakhir mengeceknya. Cilla ingin terlihat layaknya pindah rumah supaya Jonathan mual melihat perlengkapannya. Namun, sebuah pesan masuk membuatnya menghentikan gerakan yang baru saja melipat selimut yang biasa ia pakai di atas ranjang. Selimut kesayangannya yang sudah dicuci beberapa hari lalu dan belum Cilla pakai lagi setelah terlipat di dalam lemari pakaian. Perempuan itu segera meraih ponsel di atas nakas, lalu tidak berapa lama senyum semringah terbit di paras cantiknya. Jemari lentik itu sangat cepat membalas pesan yang masuk. ‘Aku sudah di Jakarta. Rencananya, siang ini aku mau berkunjung ke rumah Om dan Tante.’ Cilla mengulum senyum, lalu mendial nomor ponsel orang tersebut. Tidak menunggu lama, panggilan terhubung dan Cilla antusias menyapanya lebih dulu. “Lukas! Aku ke sana sekarang, ya? Nggak usah ke rumah. Mami sama Papi lagi keluar kota.” Panggilan telepon ditutup sepihak dan Cilla dengan semangat mulai masuk ke kamar mandi; berbenah untuk datang ke unit apartemen Lukas. Sebenarnya Cilla sudah mandi. Tapi ia tidak percaya diri dan hanya mencuci wajah dan mengganti pakaian. Ia melapisi tubuhnya dengan tank top coklat, berpadu sweater dan celana jeans yang menutupi keseluruhan tungkainya. Jarak tempuh hanya memakan waktu selama tiga puluh menit. Karena gedung apartemen itu tidak terlalu jauh dari rumah Cilla. Tempat yang kerap kali membawanya bertemu dengan pria yang sesekali meluangkan waktu untuk kembali ke Indonesia jika tidak memiliki pekerjaan yang terlalu padat. Setiap libur besar ... cuti panjang, mereka akan berkumpul bersama dalam keluarga masing-masing. Keduanya sudah sangat dekat sejak kecil. “Lukas ....” “Akhirnya kamu balik lagi ke Jakarta ....” Cilla terpekik saat orang yang menyambut kedatangannya adalah Lukas. Pria berparas tampan dengan tubuh tegapnya itu membalas hangat pelukan Cilla. Ia mengusap lembut punggung Cilla dan menjatuhkan kecupan manis di kepala Cilla. “Aku nggak mungkin lupa sama sepupuku yang cantik dan seksi ini.” Perempuan itu mendengkus sebal ketika ucapan itu terlontar bersama pelukan yang merenggang, meskipun Lukas tidak melepaskan pelukannya. “Kenapa? Cepat banget berubah raut mukanya,” sindir pria itu dengan senyum jahil. “Lagi sedih, tau. Tapi kamu tambahin suasana hati aku semakin memburuk,” gerutunya dan melenggang masuk lebih dulu, membiarkan Lukas mengikuti dari belakang setelah menutup pintu unit. “Nggak bawa hadiah?” tanya perempuan itu berbalik, menatap lurus Lukas. Lukas Darnell. Pria pribumi itu mengulum senyumnya dan berjalan mendekat ke arah Cilla, menarik pinggang perempuan itu dengan sebelah tangannya. Kemudian, ia menundukkan wajahnya dan berbisik tepat di telinga Cilla, “Aku bawa pesanan kamu waktu chat m***m sama aku.” Pipi putih Cilla bersemu, meskipun ia membeliak. “Kamu turutin permintaan aku?!” tanyanya sedikit kaget. Lukas tertawa kecil, mendaratkan kecupan manis di pipi kanan Cilla. “Ada di kamar,” balasnya membawa Cilla memasuki kamarnya. Pria itu mendatangi tempat ini selagi belum merindukan rumah dan bisa bebas menikmati kebersamaannya dengan Cilla. Bahkan, mereka sudah terbiasa menjadikan tempat ini sebagai basecamp mereka, lalu saling bertukar cerita bersama. Kehadiran Lukas, mengobati rasa pusing yang diderita Cilla. Gelenyar dalam tubuh Cilla hadir saat memasuki kamar Lukas, mendapati satu lingerie berwarna hitam itu tampak seksi tersampir di atas ranjang. Lukas menyusupkan kedua tangannya di perut Cilla, memeluk mesra perempuan itu dari belakang. Ia menjatuhkan dagu di atas bahu Cilla yang masih tertutup sweater. “Mau dicoba sekarang?” “Kamu yakin, suruh aku pakai sekarang?” Cilla menantang dengan senyum penuh arti, membawa wajahnya ke samping untuk sedikit menilik Lukas. “Yakin. Justru, selama di unit tempat tinggalku di sana ... aku selalu bayangin tubuh kamu pakai lingerie pilihanku,” balasnya membuat Cilla tersenyum manis dan melepaskan pelukan Lukas. Ia menatap pria itu dengan senyum menggoda dan kedipan nakal. “Tunggu lima menit,” cetusnya segera berjalan untuk mengambil pakaian seksi tersebut dan berlalu melewati Lukas yang membelakangi pintu dengan senyum s*****l. Pria bermanik hitam itu mendengkus geli, mendapati Cilla-nya pasti akan cantik dan selalu sempurna di pandangannya. Lukas meraih remote teve dan beranjak bersandar di kepala ranjang. Menunggu Cilla sambil menikmati siaran teve dari ulasan stasiun teve di Indonesia. Ia sudah dua bulan meninggalkan Cilla, pergi bekerja penuh waktu. Meskipun mereka kerap memberi kabar dan melakukan panggilan video. Tetap saja tidak akan mengikis secara penuh kerinduan di antara mereka. Indera pendengarannya cukup cepat menangkap pintu kamar mandi yang terbuka. Tidak sampai lima menit menikmati siaran ... Lukas sudah diperlihatkan tubuh Cilla dengan kulit putih dan paras keturunan Jepang, semakin membuatnya merasakan sesak di bawah sana. “Ukurannya pas,” ucap Cilla keluar dan berjalan mendekati Lukas. “Karena udah biasa ngukur secara alami,” balas pria itu nakal dan membuat Cilla mendengkus sebal. Lukas mendudukkan tubuhnya, membiarkan Cilla mulai menatapnya dengan sorot yang tidak bisa ia hindari. Perempuan itu mengambil duduk di atas pangkuan Lukas, menerima saat pria itu posesif memeluk pinggangnya dan mengecup mesra tengah d**a Cilla. “Aku kangen sama apa yang ada di tubuh kamu, Cilla. Terlebih dengan aroma tubuh kamu,” bisik pria itu menghidu aroma yang menguar di tubuh Cilla dan mengecup mesra leher jenjang itu. Cilla menggeliat pelan, tampak membiarkan Lukas untuk menjelajahi sesaat bagian tubuh yang tidak pernah diabaikan Lukas. Bibir tipis itu kian menurun ... tetap mengecup dengan pola lurus untuk sampai di bahu terbuka itu. Lukas membelai lembut punggung Cilla. “Bisa aku mendapatkan penawar rindunya?” pertanyaan jahil itu membuat Cilla terkikik pelan. Ia merangkul mesra leher Lukas. Pria yang masih memakai kemeja dan celana panjang itu tampak berharap besar dengan jawaban Cilla. “Memangnya sejak kapan aku menolak permintaan kamu?” Lukas menyeringai puas dan perlahan ... wajah mereka mendekat, meraup bibir bawah dan atas masing-masing untuk bergerak seirama, mengulum dengan sangat mesra dan intim. Membebaskan kedua tangan mereka menjelajah dengan sangat bebas. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN