Bab 2 - Perjodohan

1649 Kata
“Assalamualaikum~ Nana pulang~” seru Nana dengan ceria seperti biasanya memasuki rumahnya yang pintunya terbuka lebar. Biasanya di siang hari rumahnya memang selalu terbuka agar angin segar bisa masuk. Saat tiba di ruang tamu, ia mendapati adik perempuannya, Rena masih lengkap dengan seragam SMA nya sedang duduk bersantai dengan ponsel di tangannya. Nana yang melihatnya sontak menggelengkan-gelengkan kepalanya dan merubah posisinya menjadi berkacak pinggang. “Ckckck ... Rena!” “Duh, apaan sih Kak! Jangan teriak-teriak mulu, ini bukan di hutan!” “Baru pulang sekolah bukannya ganti baju dulu, malah langsung main game." “Sebentar lagi Kak! Lagi seru nih,” jawab Rena tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari ponselnya, ia tampak sibuk menekan-nekan ponselnya. “Terserah kamu deh, capek aku ingatinnya. Mama mana?” “Di belakang kali,” Nana pun akhirnya tidak memperdulikan adiknya yang keras kepala itu lalu memilih untuk pergi ke belakang mencari Mamanya. “Mamaa~” “Eh, sayang~ kamu udah pulang? Bagaimana kuliahnya hari ini?” Nana mengambil tangan Mamanya lalu menciumnya. “Lancar Ma, seperti biasa.” jawab Nana yang langsung mengambil air putih di kulkas lalu duduk di sebuah kursi untuk minum. Mamanya pun ikut mengambil duduk di sebelah Nana, “Eh, Na tadi kamu udah diajarin sama dosen bahasa Inggris yang baru ya?” tanya Yanti, mamanya Nana yang tampak penasarannya. Nana yang masih meneguk minumannya sontak melirik Yanti dengan ekor matanya. “Kok Mama tahu ada dosen baru?” “Hmm ... iya tentu saja Mama tahu soalnya dosen baru itu anak temannya Papa.” “Ohh ... iya sih tadi ada dosen bahasa Inggris baru yang menggantikan pak Brian.” “Terus, terus gimana anaknya? Baik ngga? Dia tampan 'kan?” Nana mengernyitkan dahinya menatap Mamanya bingung. Kenapa Mamanya ini sangat antusias sekali membahas dosen baru yang menyebalkan menurut Nana itu. “Mama kenapa antusias sekali membahas dia?” Nana kembali meneguk air putih dinginnya untuk melepas dahaga di siang yang begitu terik ini. “Hm, ngga apa-apa Na. Soalnya setahu Mama dia itu anak yang tampan, pintar, baik dan pekerja keras.” “Uhukk ... Uhukk ...” “Eh, eh Na kamu ngga apa-apa Na?” Bugh bughh... Yanti malah reflek berdiri lalu menepuk-nepuk punggung Nana sedikit keras. “Ma! Ma! Kok aku malah dipukul sih.” “Supaya keluar airnya.” Nana hanya bisa menghela napasnya, “Pliss Ma~ uhukk ... aku cuma tersedak bukan lagi ketulangan.” “Lagian kamu aneh-aneh aja, minum air putih aja pake tersedak.” Yanti kembali duduk di kursinya. “Itu karena perkataan Mama yang buat aku jadi terkejut tahu!” “Perkataan yang mana? Yang mengatakan kalau Max itu tampan, pintar dan lainnya? Tapi itu memang benar kok, Mama udah pernah beberapa kali bertemu dengannya sebelumnya. Katanya dia juga habis lulus S2 di California loh.” Nana memutar bola matanya malas, sepertinya ia sedang malas membahas tentang dosen barunya itu. “Terus ngapain Mama bahas dia? Dia juga cuma dosen biasa kok seperti dosen lainnya.” “Kamu belum menjawab pertanyaan Mama tadi, jawab dulu nanti Mama beritahukan alasannya.” Nana menatap mamanya dengan tampang malasnya. “Ma, dia itu orangnya nyebelin,” mata Yanti sontak membulat ketika Nana mengatakan first imppression nya pada Max. “Cuek, sok keren, galak—“ “Tunggu! Apa ngga ada positifnya Na?” tanya Yanti hingga membuat penuturan Nana terpotong. Nana sontak memasang tampang berpikirnya. “Ada sih Ma, Hm .. Dia sedikit tampan.” “Hanya sedikit?” “That’s right mom~” Yanti menghela napasnya seraya mengusap dahinya lelah menghadapi anaknya. Nana sontak berdiri, “Udah ya Ma, aku mau ganti baju—“ “Tunggu dulu Na, Mama belum selesai ngomong.” Nana kembali duduk ketika tangannya di tahan oleh Mamanya. “Mau ngomong apa lagi Ma?” “Kamu ngga mau tahu alasan kenapa Mama penasaran sama kesan pertamamu terhadap Max?” “Ah, iya benar aku sampai lupa. Kenapa Ma? Jangan-jangan Mama ...” Tok! “Kenapa?!” Nana tertawa cengengesan seraya mengusap kepalanya yang habis kena getok Mamanya. “Hehe ngga jadi Ma. Peace.” “Jadi sebenarnya Mama itu nanya tentang Max ke kamu karena Mama, Papa sama Orangtua Max sudah sepakat akan menjodohkan kalian berdua.” “What! Dijodohin! Ma, pleasee~ Mama ngga bercanda 'kan?” “Ngapain juga Mama bercanda soal ini. Ini beneran sayang.” “Tapi, tapi kenapa bisa? Kenapa harus dijodohin sama Pak Max?” “Sayang~” Yanti menyentuh tangan anaknya lalu menggenggamnya pelan. “Papa Max dan Papamu sudah berteman sejak lama bahkan sebelum kalian hadir di dunia ini. Oma dan opamu juga kenal sama keluarga Max. Dan sebelum Oma menghembuskan napas terakhirnya, Mama lagi hamil kamu dan Oma berpesan untuk menjodohkan anak yang sedang dalam kandungan Mama sama Max jika sudah dewasa nanti. Saat itu Max masih berusia 6 tahun. Oma sudah mempercayai kamu untuk dititipkan ke Max jika kelak sudah besar nanti.” “Tapi Ma—“ “Nana, tolong jangan membantah Mama ya kali ini, ini satu-satunya permintaan terakhir Oma yang belum dilaksanakan." Nana tampak tidak bisa menerima, ia menarik tangannya dari genggaman Mamanya lalu pergi meninggalkan Mamanya. “Na! Nana!” panggil Mamanya namun tidak dihiraukan oleh Nana dan dengan cepat menaiki tangga menuju lantai atas. Yanti menghela napasnya. 'Hm ... Sepertinya akan susah untuk membujuk Nana.’ *** Malam harinya di kediaman Max, ia dan kedua orangtuanya tampak sedang makan malam bersama di ruang makan. “Max, bagaimana hari pertamamu mengajar hari ini?” tanya Jack, Papa Max. Max menatap orang di samping kirinya yang baru saja bertanya. “Alhamdulillah lancar Pa.” Jack dan Shanty yang duduk bersebelahan lalu saling bertukar pandang seolah-olah tampak sedang bicara dari sorotan mata dan ekspresi wajah yang mereka tunjukkan. “Hm, Max. Sebenarnya ada yang ingin Mama dan Papa sampaikan padamu.” Max kembali menatap Papa dan Mamanya bergantian dengan dahi yang mengernyit. “Ada apa ya Pa? Ma?” “Di hari pertamamu mengajar hari ini, Papa mau tanya apa kamu sudah bertemu dengan mahasiswa yang bernama Nana agustina? Mahasiswa jurusan sastra Inggris angkatan 2019?” Max terdiam, ia kembali mengingat nama-nama mahasiswa yang diajar atau ditemuinya hari ini dan seketika ia langsung teringat dengan Nana, gadis usil bersama temannya Hani yang memberikan kejutan selamat datang padanya tadi siang. “Ohh iya iya aku bertemu dengannya. Kebetulan hari ini aku mengajar bahasa Inggris di angkatannya. Memangnya kenapa Pa?” “Hm, menurut kamu orangnya gimana Max?” tanya Jack seraya menatap Max dengan tatapan menunggu jawaban, tak jauh beda dari Shanty yang ikut menatap Max. Max kembali berpikir, wajah Nana kembali masuk ke dalam pikirannya. “Hm, dia anak yang ceria, berisik, lumayan pintar dan usil.” “Oh, dia sepertinya kekanakan ya Max?” tanya Shanty kali ini. Max mengangguk seraya memajukan bibir bawahnya. “Ya, kurasa begitu Ma. Wajahnya juga tampak masih tampak muda." “Dia memang manis Max, ngga bosan lihatnya. Wajahnya itu perpaduan antara cantik dan manis.” “Mama kenal sama dia?” tanya Max sedikit terkejut karena Mamanya tampak sangat kenal dengan Nana. Shanty dan Jack kembali berpandangan lalu tersenyum. “Iya Max, Mama sama Papa kenal sama Nana. Dia itu anaknya teman lama Papa.” “Ohh. Tapi, kenapa aku tidak tahu ya Ma, Pa?” “Iya itu karena Mama, Papa sama Orangtua Nana kenal dekat itu saat kalian masih kecil, bahkan sebelum kalian lahir kami sudah kenal. Dan kami hilang kontak saat kita tinggal lama di California. Apalagi kamu juga sibuk dengan study kamu di California 'kan jadi kamu ngga pernah ketemu sama Nana saat menginjak remaja, kamu cuma kenal dia waktu kalian masih anak-anak.” “Mama pikir kamu masih ingat sama dia,” tambah Shanty. “Tidak mungkinlah Ma, kita saja hilang kontak dengan Orangtua Nana saat Max berumur 12 tahun dan Nana masih berumur 6 tahun. Mungkin saja Max sudah lupa, lagipula Nana 'kan juga sudah tumbuh dewasa." timpal Jack. “Hm, terus Pa, Ma kenapa kalian membicarakan tentang Nana padaku?” “Oh, iya sampai lupa ada yang ingin Papa sama Mama bicarakan sama kamu. Ini tentang kamu sama Nana.” Max mencondongkan tubuhnya ke arah Orangtuanya dan mendengarkannya dengan baik. “Max, langsung to the point aja ya Papa, Mama dan orangtua Nana sudah sepakat akan menjodohkan kalian berdua.” lanjut Jack hingga membuat Max melebarkan matanya. “Di jodohin? Tapi, kenapa? Apa karena Mama sama Papa berteman dengan orangtua Nana makanya aku dijodohkan dengannya?" “Ya, itu salah satunya. Tapi alasan yang paling penting adalah karena ini permintaan terakhir Omanya Nana sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya beberapa tahun yang lalu. Dia memintamu untuk menjaga Nana maka dari itu dia ingin kamu kelak menjadi suami Nana.” Max terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. “Kami sudah sepakat bahwa dalam waktu dekat ini kalian akan menikah. Bagaimana Max? Apa kamu mau menerima keputusan kami?” “Maaf ya Max baru memberitahumu sekarang karena menurut kami sekarang adalah waktu yang tepat.” tambah Shanty. Max memandang Shanty dan Jack sejenak sebelum akhirnya membuka suaranya. “Aku pasti akan menuruti permintaan Papa dan Mama apapun itu.” Jack dan Shanty sontak menyunggingkan senyum lega mereka. “Makasih ya sayang kamu selalu menuruti permintaan Mama dan Papa. Mama sangat lega sekali setelah mendengar jawaban kamu.” “Iya Max, kamu memang anak yang berbakti dengan orangtua dan juga bisa diandalkan.” tambah Jack seraya menepuk pundak Max dengan senyum bahagianya. “Ya, sudah setelah ini kita akan merencanakan pertemuan kedua belah pihak untuk membicarakan soal perjodohan ini. Bagaimana Pa?” “Ya, boleh Ma nanti aku kabarin Pak Revan dulu.” “Oke, sekarang ayo lanjut makan lagi. Max, ayo habiskan makan malammu.” “Iya Ma,” jawab Max lalu lanjut menghabiskan makan malamnya yang sempat tertunda itu. Namun, ada beberapa pertanyaan yang sekarang muncul di benaknya. ‘Apa dia sudah mengetahui tentang perjodohan ini? Apa dia akan menerimanya?’ TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN