Keesokan harinya, setelah memarkirkan mobil sedan kuning miliknya, Nana keluar dari mobil lalu melangkah dengan cepat menuju akademik fakultas sastra.
Saat tiba di koridor menuju ruangan Max, Nana mendapati beberapa mahasiswa terlihat sedang duduk di kursi tunggu seperti sedang menunggu giliran untuk bertemu dengan dosen yang ingin ditemui. Namun dengan langkah percaya diri ia terus melangkah hingga ke depan pintu ruangan beberapa dosen sastra Inggris tersebut dan hendak membuka pintunya. “Eh, Eh Mbak tunggu! Mau ngapain?” tegur salah satu mahasiswa yang berada di kursi tunggu.
Nana sontak berbalik, “Mau bertemu dengan Pak Max.” jawab Nana dengan santainya.
“Di dalam lagi ada mahasiswa bimbingannya dan kami juga sedang mengantri untuk bertemu dengan Pak Max. Jadi, kamu juga harus mengantri, jangan seenaknya aja.”
“Maaf, tapi saya ada keperluan penting dengan Pak Max. Permisi!” tutur Nana lalu segera masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu respon dari mahasiswa yang sedang menunggu di luar. “Eh, eh dasar tu orang seenaknya aja motong antrian.”
“Udah biarin aja, palingan juga nanti disuruh keluar lagi sama Pak Max. Udah tahu lagi ada mahasiswa di dalam malah main masuk aja.” Dua lainnya pun terlihat mengangguk setuju.
Sementara itu Nana masuk ke dalam ruangan tersebut lalu membuka pintu ruangan Max yang berada dalam ruangan tersebut. Jadi dalam sebuah ruangan besar itu terdapat beberapa ruangan dosen lagi. Ia lalu membuka pintu ruangan Max dan mendapati ada seorang mahasiswa yang sedang berbicara dengan Max. Dua orang itu sontak menatap Nana dengan pandangan tanpa ekspresinya. “Ada apa?” tanya Max datar dan singkat.
“Hm, ada yang ingin saya bicarakan Mr. Max dan ini penting.”
“Apa kamu tidak lihat saya sedang berbicara dengan mahasiswa bimbingan saya.”
“Tapi Mr—“
“Tidak ada tapi-tapian, silakan tunggu di luar dan biasakan mengantri. Apa kamu tidak lihat ada beberapa mahasiswa yang juga mengantri di luar?”
“Ya Mr,”
“Ok, please be patient.” ujar Max tanpa menatap Nana dan malah terlihat menatap lembaran yang ada di atas mejanya. Nana pun berbalik dan hendak keluar dari ruangan Max, “Please be patient,” bisik Nana mengulangi perkataan Max namun dengan nada mengejek dan lidah yang menjulur keluar. Ia pun keluar dari ruangan dengan langkah kesal.
“Kenapa keluar? Udah selesai?” tanya mahasiswa yang berada di luar pada Nana. Nana hanya diam lalu mengambil duduk di sana untuk mengantri. Mahasiswa yang bertanya tersebut pun mengeluarkan senyum miringnya.
Setengah jam kemudian, satu persatu mahasiswa bergiliran masuk ruangan untuk menemui Max. Sesekali Nana terlihat memeriksa jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 10. ‘Duh, sebentar lagi ada kelas lagi. Lama banget sih, cuma mau ngomong sebentar aja ribet banget.’ batin Nana gelisah. Ia menatap ke samping kanannya masih duduk berjajar 2 orang menunggu giliran untuk bertemu dengan Max.
10 menit kemudian, 'Ihh lama banget!’ teriaknya dalam hati. Ia pun bangkit dari kursinya lalu bergegas keluar dari akademik, ia sudah tidak tahan lagi bila harus menunggu lebih lama lagi.
Tak lama kemudian, Max keluar dari ruangan dengan sebuah buku tebal di tangannya dan hanya mendapati 2 mahasiswa yang sedang menunggu di luar. “Kalian mau bertemu dengan saya?”
“Iya Pak.”
“Apa kalian tadi lihat gadis yang memakai sweater kuning di sini tadi?”
“Iya, baru saja pergi Pak. Mungkin ada urusan.”
“Ohh, ya udah kalau begitu kalian temui saya nanti siang saja ya sekitar jam 1 atau 2 karena saya ada kelas sekarang.”
“Ohh iya baik Pak.” Max lalu bergegas melangkah keluar dari akademik. Saat melewati ruang kelas angkatan Nana, ia menatap Nana yang sedang berbincang heboh dengan Hani dari kaca jendela luar dan tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis ketika melihat wajah ceria Nana. Namun ia segera melangkah dengan cepat ketika Nana tak sengaja melirik ke luar ruangan. ‘Eh, itu Mr. Max lagi keluar juga dari ruangannya. Untung aja aku ngga masih nungguin dia tadi.’
“Na!” tegur Hani ketika merasa sahabatnya itu sedang melamun.
“Eum?”
“Kamu lihatin apa sih?” ia membalikkan tubuhnya menatap keluar ruangan dan tidak menemukan siapapun di luar.
“Ngga. Ngga lihat siapa-siapa kok.” jawab Nana dengan senyum canggungnya.
***
Setelah usai makan siang, Nana dan Hani berpisah, Hani langsung pulang ke rumahnya sedangkan Nana bertolak ke akademik untuk kembali menemui Max kebetulan jadwal kuliah mereka untuk hari ini telah usai.
Nana melangkah dengan cepat memasuki akademik dan kembali mendapati ada beberapa orang yang sedang menunggu di kursi tunggu. ‘Aishh ... Kenapa antriannya tidak habis-habis.’
Nana lalu mengambil duduk di salah satu kursi. “Kok masih di sini? Bukannya sudah ngantri dari tadi ya?” tanya Nana pada mahasiswa di sebelahnya yang kebetulan saat pagi tadi serempak dengannya menunggu antrian untuk bertemu dengan Max.
“Iya, tadi Pak Max ada kelas jadi disuruh sama beliau untuk datang setelah makan siang.”
“Ohh. Apa Pak Max sudah kembali ke ruangannya sekarang?”
“Belum. Dia belum kembali.”
“Hah! Benarkah?” Nana sontak berdiri lalu melangkah ke dekat pintu, mencoba untuk memeriksa ke dalam ruangan dari kaca jendela di luar dan menemukan meja Max yang masih kosong. ‘Kemana dosen menyebalkan itu? Kenapa belum kembali?’
“Excuse me!” ucap seseorang hingga membuat Nana berbalik dan wajahnya sontak berpapasan dengan leher Max karena perbedaan tinggi mereka yang hanya berbeda beberapa cm. “Ngapain berdiri di depan pintu? Saya mau masuk.” Nana mendonggakkan wajahnya lalu reflek menjauhkan tubuhnya dari depan pintu. “Eh, maaf Mr.”
Max tidak menjawab dan hanya menatap Nana sejenak dengan tatapan tanpa ekspresinya lalu masuk ke dalam ruangan tersebut.
“Mbak, makanya duduk aja, jangan ngehalangin pintu.” celetuk seseorang yang duduk menunggu di sana.
“Iya, ini juga mau duduk.” Dengan malas Nana kembali melangkah ke kursinya dan duduk menunggu antrian.
“Aku masuk duluan ya,” ucap seorang mahasiswa kepada temannya yang lain, yang datang bersamanya.
“Iya, nanti tungguin aku juga ya.” Orang itu mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan.
Nana memeriksa jam tangannya yang sekarang sedang menunjukkan pukul setengah 2 siang. ‘Sampai berapa lama lagi aku harus menunggunya. Dasar menyebalkan, ini sangat melelahkan.' Ia menghela napas berat lalu menyenderkan kepalanya ke dinding dengan tangan yang bersedekap di d**a.
Satu setengah jam kemudian, “Baik Pak, terima kasih Pak. Kalau begitu saya permisi Pak.”
“Iya,” jawab Max lalu mahasiswa itu keluar dari ruangan Max setelah berkonsultasi dengan pembimbing akademiknya.
Max lalu memeriksa ponselnya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul setengah 3 sore. Setelah menunggu beberapa menit untuk menunggu mahasiswa yang mungkin masih ada yang ingin bertemu dengannya namun tidak ada satupun mahasiswa yang masuk ke ruangannya. “Apa sudah tidak ada lagi?” gumamnya lalu keluar dari ruangannya.
Saat tiba di luar ia mendapati Nana sedang duduk sendiri sembari memejamkan matanya, sepertinya dia tertidur. Ia mendekatkan wajahnya, memperhatikan wajah Nana yang terlelap itu. Sekian detik kemudian smirk tercetak di wajah tampannya. “Hei bangun! Ada cicak di kepalamu!”
“Aaaaa! Mana! Mana!” Nana sontak terbangun lalu melonjak dari kursinya. Ia mengacak-acak rambutnya hingga rambutnya menjadi kusut tak beraturan. Sementara Max tampak memasang senyum tipisnya.
Namun akhirnya Nana tersadar bila dirinya sudah dibohongi. Ia menatap tajam Max, “Mr bohongin saya ya?” tanyanya dengan kedua tangannya yang berada di pinggangnya.
“Kalau mau tidur jangan di sini, pulang saja ke rumah.”
“Saya itu lelah menunggu Mr, antriannya panjang banget sih.”
“Baru segitu saja sudah lelah. Bagaimana nanti kalau kamu mau antri untuk bimbingan skripsi.” Nana terdiam, ia tidak tahu mau membalas apa. “Ya udah kamu masih mau ketemu saya?” lanjutnya.
“Iya. Ada yang mau saya bicarakan Mr, ini penting.”
“Hm, besok aja ya. Saya mau pulang soalnya.”
Mata Nana sontak membulat. “Hah! Besok! Mr! Saya sudah nunggu dari tadi loh ini, masa jadinya besok.”
“Saya juga dari tadi nungguin kamu di dalam. Eh, ngga tahunya kamu tidur di sini. Besok aja ya.”
Sudut bibirnya sontak turun, “Ihh~ Mr kok gitu sih. Ngga kasihan apa sama saya. Saya dari tadi bela-belain nungguin di sini, padahal saya haus tapi saya ngga minum. Saya tetap—“
“Cukup. Ngga usah drama. Ayo bicara di dalam.” Max dengan cepat menghentikan penuturan Nana lalu kembali masuk ke ruangannya. Sementara Nana langsung memasang senyum kemenangan. “Yeayy~” ia pun ikut masuk ke dalam ruangan.
TBC