Lima

1831 Kata
Hari masih siang ketika Teratai kembali dari pasar. Ia mengendap-endap masuk ke kamar agar penyamarannya tak diketahui oleh siapa pun. Galuh dan Lidya juga ikut bersama Teratai. Sesampainya di kamar, Teratai memperingatkan kepada kedua dayangnya untuk merahasiakan apa yang terjadi di pasar. “Nona, bagaimana dengan buah ini?” tanya Galuh. “Tolong kamu simpan. Esok siang, aku ingin menikmatinya lagi,” jawab Teratai. Ia melepaskan pakaian pelayan berwarna cokelat yang membungkus tubuhnya. “Oh, ya, aku ingin bertanya kepada kalian. Tolong jawab dengan jujur,” pinta Teratai kepada kedua dayangnya. “Baik, Nona,” jawab Galuh dan Lidya serempak. “Pria penjual buah tadi. Emmm … maksudku Banyu.” “Ya, ada apa dengan Banyu, Nona?” tanya Galuh. “Apakah aku sudah pernah bertemu dengannya?” Teratai balik bertanya. “Maksudku, aku ini kehilangan ingatanku. Aku merasa sepertinya aku pernah mendengarkan suaranya. Namun aku lupa kapan dan di mana,” jelas Teratai. Ia sudah kembali mengenakan jubah birunya yang indah. “Maaf, Nona. Tetapi sepengetahuanku tadi adalah pertama kali Nona bertemu dengan Banyu,” jawab Lidya. “Apakah itu benar? Entah mengapa aku merasa mengenal suaranya. Ahhh … sudahlah, mungkin aku hanya salah ingat saja,” ucap Teratai. Ia tak mau ambil pusing dengan sosok Banyu. Semakin Teratai mencoba mengingat, semakin ia menjadi bingung. Memiliki jiwa yang singgah di raga orang lain bukanlah hal yang mudah baginya. “Baiklah, kalian bisa meninggalkan tempat ini,” titah Teratai sambil merapikan rambutnya. Teratai kemudian duduk di depan meja rias dan melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia mengusap wajahnya dengan sepotong kain kecil. Bekas arang yang sempat ditorehkan di wajahnya pun hilang. Setelah wajahnya kembali bersih, Teratai menyisir rambutnya dengan sebuah sisir yang terbuat dari kayu yang berwarna cokelat kehitaman. Rambut hitam Teratai tergerai sampai ke pinggang. “Banyu, apa kabarmu sekarang? Apakah kau menangisi kematian ragaku? Ataukah kau malah bersenang-senang dengan wanita itu? Aku bersyukur malam itu sempat memergokimu. Paling tidak, sebelum kematianku aku sudah mengetahui sifat aslimu yang begitu busuk,” ucap Teratai pada dirinya sendiri sambil melihat wajah cantiknya di dalam cermin. Dor dor dor Pintu kamar Teratai yang terbuat dari kayu berukir digedor dengan keras. Teratai bangun dari duduknya. Dengan langkah santai, ia melangkah menuju ke pintu yang masih digedor keras. “Ada apa?” tanya Teratai setelah pintunya terbuka lebar. “Heh, dasar kamu pencuri,” ujar Ratu Divya dengan penuh kebencian. “Apa maksudmu?” tanya Teratai sambil memandang rival ibunya. “Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu ini pasti ulahmu.” Ratu Divya menerjang masuk ke kamar Teratai. Ia mulai mengacak-acak kamar anak tirinya untuk mencari sesuatu. Teratai yang sama sekali tidak tahu apa-apa mengernyitkan dahinya. Ia menghampiri Ratu Divya yang sedang menyingkap kain yang membungkus ranjangnya. “Apa yang kau lakukan? Ini kamarku, aku berhak penuh di sini.” Teratai menangkap kedua tangan sang Ratu dan menghentikan aksinya. Ratu Divya menatap Teratai dalam-dalam. Ia menyipitkan mata dan menggertakkan giginya. “Ternyata kau pencuri, sama seperti ibumu.” “Apa maksudmu? Apa yang aku curi?” tanya Teratai masih sambil menggenggam kedua tangan Ratu Divya. “Siang ini aku baru menyadari kalau kotak yang berisi perhiasan berhargaku telah hilang. Ini pasti ulahmu,” jawab Ratu Divya. “Bagaimana mungkin kau bisa menuduhku sedangkan kau tidak punya bukti sama sekali?” “Lepaskan tanganku. Aku akan memutar balik kamar ini dan menemukan perhiasanku.” Ratu Divya menghentakkan tangannya sehingga terlepas dari genggaman Teratai. Ratu Divya kembali mengacak-acak kamar Teratai untuk mencari barangnya yang hilang. Putri Malika masuk dengan dua orang dayangnya. Ia memandang Teratai dengan sebuah seringai di wajahnya. “Ada apa, Ibu?” tanya Putri Malika kepada sang ratu. “Anak itu … dia pasti sudah mencuri kotak perhiasan Ibu. Ibu pasti akan menemukannya di sini.” Ratu Divya membongkar sebuah peti yang berisi kain-kain nan indah dan menghamburkan kain-kain tersebut di lantai. “Ibu, Ibu tidak boleh asal menuduh saja,” sahut Putri Malika dengan nada lembut. Ia menyentuh lengan ibunya yang sedang menunduk. “Ohh … jadi sekarang kau sudah membelanya?” tanya Rau Divya. “Bukan begitu Ibu, tetapi mungkin saja bukan dia yang melakukannya. Kita harus melakukan pencarian di seluruh wilayah istana, sampai ke sarang semut sekali pun.” Putri Malika berusaha bersikap bijak. “Ya, kau benar. Kau memang cerdas, Putriku.” Ratu Divya memegang kedua pundak putri kandungnya. Teratai muak melihat kedua wanita yang ada di kamarnya. Ia melipat kedua tangan di depan dadanya sambil menatap jijik kepada kedua wanita itu. “Sudah? Kalau sudah selesai silakan tinggalkan tempat ini.” Putri Malika dan Ratu Divya melihat ke arah Teratai dengan tatapan penuh rasa tak suka. Mereka berdua hendak meninggalkan kamar Teratai tanpa pamit. “Hei, Malika, tinggalkan dayangmu di sini. Suruh ia merapikan kamarku,” perintah Teratai. “Kau?” Putri Malika mengepalkan tangannya. “Atau kau saja yang merapikannya? Bersama dengan ibumu tentunya?” ledek Teratai sambil tersenyum sebelah. “Kau sudah melewati batasmu. Apa kau pikir kami pantas menjadi pelayanmu?” jawab Ratu Divya. “Hehh … aku tidak mengatakan hal itu. Kau sendiri yang mengatakannya. Hei, Dayang, cepat bereskan kamar ini.” Teratai mengabaikan Ratu Malika dan Putri Divya. Ia membiarkan kedua wanita itu meninggalkan kamarnya. * * * Kabar hilangnya kotak perhiasan Ratu Divya menyebar di seluruh wilayah istana. Konon katanya, di dalam kotak perhiasan itu terdapat banyak perhiasan dan sebuah mahkota yang diterima Ratu Divya ketika ia pertama kali dinobatkan sebagai Ratu di kerajaan Akhilendra. Raja Ragendra memerintahkan para pasukannya untuk mencari keberadaan kotak perhiasan tersebut. Ia mengancam akan memberikan hukuman mati bagi siapapun yang telah mencurinya. “Berpencar!” perintah kepala pasukan. Ia membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok. Mereka mencari di semua kamar. Mulai dari kamar pelayan sampai ke kamar para petinggi istana. Para penghuni yang tinggal di istana merasa ketakutan karena ancaman yang diberikan oleh Raja Ragendra. Setelah mencari selama hampir satu hari penuh, salah seorang pasukan berteriak kegirangan. Ia keluar dari kamar seorang pelayan dengan membawa sebuah kotak yang lebih tepatnya bisa disebut peti. “Tuanku, saya menemukan kotak itu,” teriaknya dengan bangga. “Coba tunjukkan!” perintah sang kepala pasukan. “Ini, Tuanku,” sahut pria itu. Ia menyerahkan kotak tersebut kepada sang kepala pasukan. Kepala pasukan membuka kotak tersebut. Batu-batu permata dan emas memancarkan kilauan yang indah. Ia segera menutup kotak itu dan memerintahkan kepada pasukannya untuk membawa orang yang menghuni kamar di mana kotak tersebut ditemukan. “Bawa pelayan itu kemari!” perintah kepala pasukan. Seorang anggota pasukan yang berbaju cokelat menarik paksa seorang pelayan dari dalam kamar. Pelayan pria tersebut gemetar ketakutan. Ia memohon agar dilepaskan, tetapi permohonannya diabaikan. “Am-ampun, saya tidak melakukan hal itu. Sa-saya tidak mencuri,” mohonnya terbata-bata. “Jangan banyak bicara. Kita selesaikan hal ini di ruang sidang.” “Sa-saya jujur, Tuan. Sa-saya tidak mencuri,” mohonnya lagi. Ia meminta ampun sambil menangkupkan kedua tangan di dadanya. “Diam atau kuhajar kamu!” ancam anggota pasukan tersebut sambil menghujamkan ujung pedangnya di lengan pelayan tersebut. Titik-titik darah mulai menetes dari lengannya. Pelayan itu pun diam sambil meringis kesakitan. Ia tak berani lagi berbicara karena takut nyawanya segera dihabisi. Iring-iringan pasukan masuk ke ruang sidang. Raja Ragendra dan para petinggi istana sudah hadir di sana. Raja Ragendra yang gagah perkasa duduk di singgasana. Kedua tangannya bertumpu pada lengan kursi kerajaannya. Ia menatap tajam pada tersangka yang baru saja memasuki ruang sidang. “Paduka Raja, kami telah menemukan kotak perhiasan Ratu Divya di kamar pelayan ini,” lapor kepala pasukan. Ia menyerahkan kotak serupa peti berwarna hitam kepada Raja Ragendra. Ia kemudian mendorong tersangka sehingga pria itu terhuyung-huyung tersungkur di lantai dengan posisi kepala menunduk kepada raja. “Siapa namamu?” tanya Raja Ragendra kepada si pelayan yang sudah berlutut dengan jarak beberapa meter di depannya. “Nama saya Bima, Paduka,” sahut Bima masih dengan kepala tertunduk. Ia tak berani menatap raja. “Mengapa kau mencuri perhiasan ratumu?” selidik Raja Ragendra. “Sa-saya ti-tidak mencuri, Paduka.” “Lalu mengapa kotak itu ada di kamarmu?” “Ma-maaf, Paduka, ta-tapi saya tidak tahu,” jawab Bima. “Jawab jujur, atau aku tidak akan mengampunimu.” Suara berat dan berwibawa Raja Ragendra memenuhi ruang sidang. “Sa-saya jujur, Paduka. Sa-saya berani bersumpah demi nama dewa.” Suara pelayan tersebut terdengar bergetar tetapi lantang. Bersumpah demi nama dewa adalah suatu hal yang sangat sakral bagi warga kerajaan Akhilendra. Mereka percaya, bahwa mereka akan terkena kutukan tujuh keturunan jika membuat sumpah bohong. Hal itu membuat Raja Ragendra sedikit memercayai perkataan Bima, sang tersangka. “Apakah kau berani bersumpah sekali lagi?” tanya Raja Ragendra. Ia mengelus janggut yang tumbuh di dagunya. “Ya, Paduka. Saya berani bersumpah demi nama dewa. Jika saya berbohong, maka saya dan semua keturunan saya akan menerima kutukan yang paling mengerikan.” Bima kembali mengucapkan sumpahnya. Ia kemudian menyentuh lantai sebanyak tiga kali dengan dahinya. “Baiklah. Namun saya akan tetap menghukummu sampai pencuri yang sebenarnya ditemukan.” Bima sedikit bernapas lega. Paling tidak, ia tidak segera menerima hukuman mati. “Terima kasih, Paduka,” ucap Bima. Ia kembali menyentuhkan dahinya ke lantai. “Pengawal, bawa dia ke penjara!” titah Raja Ragendra. Pengawal yang memegang pedang menarik Bima dan menyuruhnya berdiri. Setelah kembali membungkuk kepada raja, mereka meninggalkan ruang sidang. Raja Ragendra kemudian memerintahkan kepala pasukan untuk kembali menyelidiki mengenai kasus yang baru saja terjadi di istana. Keamanan kerajaan Akhilendra tak perlu dipertanyakan. Itulah mengapa Raja Ragendra sangat ingin menangkap pelaku dan ia ingin mengetahui bagaimana cara si pencuri menyusup ke kamar ratunya. Setelah selesai sidang, Raja Ragendra masih tetap di sana. Ratu Divya masuk bersama Putri Malika. Kedua wanita itu sangat cantik dengan wajah seperti bidadari. Keduanya berambut panjang sepinggang, dengan warna rambut yang hitam legam. Alis yang tebal dan rapi menambah keindahan mata mereka yang berbentuk bulat dengan netra hitam yang berbinar. Hidung mancung berujung lancip dan bibir merah yang ranum dan berisi membuat kecantikan mereka semakin tak diragukan lagi. Kedua wanita itu dengan tersenyum manis mendatangi dan mendekati Raja Ragendra. Sang raja segera turun dari takhtanya untuk menyambut dua wanita cantik yang sangat ia cintai. “Ayah,” panggil Putri Malika. “Hai, Putriku dan Ratuku, ada apa kalian datang kemari?” tanya Raja Ragendra. Mahkotanya yang berhiaskan batu-batu permata berwarna hijau dan merah terlihat berkilauan. “Rajaku, siapa yang telah mencuri kotak perhiasanku?” tanya Ratu Divya. Ia mengambil kotak perhiasannya dari sebuah meja yang berukuran sedang berlapiskan emas. “Tersangkanya sudah ditemukan. Dia sudah dimasukkan ke penjara sampai penyelidikan selesai. Kau tak perlu khawatir, Ratuku.” Raja Ragendra membelai rambut panjang sang ratu. “Apakah ada yang hilang isi dari kotak itu?” tanya sang raja. Ratu Divya memeriksa isi kotak perhiasannya. Ia bernapas lega ketika mengetahui isinya masih lengkap seperti sedia kala. “Semua masih lengkap, Rajaku,” jawab Ratu Divya sambil tersenyum lebar. “Baguslah kalau begitu. Sekarang kalian boleh meninggalkan ruangan ini.” “Baiklah, Ayah,” sahut Putri Malika sambil tersenyum. Sang raja mencium dahi putri dan istrinya secara bergantian sebelum akhirnya kedua wanita itu meninggalkan ruang sidang istana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN