Empat

1801 Kata
Teratai meninggalkan ruang Raja Ragendra dengan langkah lebar. Kepalanya tetap tegak, tak pernah menunduk sedikit pun. Rambut panjangnya berkibar ditiup angin, begitu juga dengan jubah birunya. Langkahnya terhenti ketika melihat Malika yang mengintip dari balik pintu kamarnya. Raut kesal terpancar di wajahnya. “Mengapa? Ada yang mau kau bicarakan denganku?” tanya Teratai. Malika terdiam, tak menyahut. Ia terkejut karena melihat Teratai yang masih baik-baik saja. Ia mengira ayahnya sudah memberikan hukuman berat untuk Teratai. “Sudah aku bilang ‘kan, ayah tidak akan bisa menghukumku.” Teratai mengibaskan ujung jubahnya dan berlalu meninggalkan Malika yang masih bersembunyi. * * * Malam tiba. Teratai baru saja selesai makan malam bersama anggota kerajaan yang lainnya. Ia meninggalkan ruang makan yang besar dan berjalan menuju halaman istana yang luas. Sinar bulan purnama menerangi seluruh wilayah kerajaan. Obor-obor yang terpasang di setiap sudut pun ikut membantu menerangi istana. Teratai duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu. Ia memandang rasi bintang yang tercetak jelas di langit cerah. Pikirannya melayang pada kehidupannya yang lalu. Sangat jarang ia bisa menikmati cahaya bintang dan bulan purnama. “Teratai, Ibu ingin bicara denganmu.” Seorang wanita berumur 39 tahun dengan paras cantik duduk di sebelah Teratai. Wajah mereka seperti pinang dibelah dua. “Ada apa?” tanya Teratai sambil menatap wanita itu. “Ibu tidak suka dengan sikapmu. Seharusnya kamu tidak mengganggu Malika,” ucap Sasmita, ibu kandung Teratai. “Aku tidak mengganggunya. Dia sendiri yang mencari masalah.” Teratai mencoba menjelaskan. “Mencari masalah seperti apa maksudmu? Masih kurangkah hukuman yang diberikan raja kepadamu?” tanya Sasmita. “Aku hanya ingin meminjam cermin, tetapi dia malah mengajakku bertaruh. Lalu salahkah aku ketika aku yang menang taruhan?” protes Teratai. “Ya, kamu salah. Malika adalah anak raja dan ratu. Bagaimana pun statusmu tetap akan ada di bawahnya. Jadi kamu jangan macam-macam. Kalau tidak posisimu akan berbahaya.” “Posisiku? Bukankah posisimu yang berada dalam bahaya, Ibu?” tanya Teratai dengan seringai di wajahnya. “Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Kamu harus tetap menjadi Teratai yang bodoh dan lemah. Jangan pernah memberontak lagi.” Sasmita bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Teratai. Sebuah senyuman kecut muncul di bibir Teratai. “Apakah salahku? Di kehidupanku yang lalu, aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Begitu juga sekarang. Ayahku juga begitu. Ada apa ini? Apa aku ditakdirkan menjadi anak yang tak diinginkan?” Teratai bermonolog. Puas memandangi cahaya bintang dan bulan, Teratai kembali masuk ke kamar besarnya. Ia menanggalkan jubah indahnya, meninggalkan kain tipis yang menutupi kemolekan tubuhnya. Hanya sebuah pelita yang menerangi kamarnya. Ia membaringkan tubuh di kasur besarnya. Walau kasur itu tidak empuk, Teratai tetap mencoba untuk menikmati tidurnya. “Tolong!!!” teriak Teratai. Ia duduk di atas ranjangnya. Peluh mengalir di wajahnya. Napasnya naik turun. Ia baru saja bermimpi buruk. Sosok pria bertopeng yang membunuhnya kembali masuk dalam ingatannya. Teratai tiba-tiba merasa gerah. Ia berjalan ke jendela dan membukanya, menghirup udara malam yang dingin dan segar. “Siapa kau? Apa salahku sehingga kau membunuhku?” batin Teratai. Setelah merasa tenang, Teratai kembali menutup jendela. Ia menuangkan air minum dari sebuah kendi dan meminumnya sampai habis. Kemudian Teratai kembali tidur sampai matahari terbit. * * * “Galuh, Lidya, aku sangat bosan terus-terusan berada di istana.” “Lalu Non Tera mau apa?” tanya Galuh yang sedang merapikan rambut Teratai. “Aku ingin jalan-jalan keluar istana. Aku ingin tahu apa yang ada di luar sana,” jawab Teratai. Baru beberapa hari menjalani kehidupan sebagai seorang putri sudah membuat Teratai bosan. “Non, lebih baik Nona urungkan niat itu,” sahut Galuh. “Betul, Non. Aku setuju dengan Galuh,” timpal Lidya yang juga sedang merapikan rambut Teratai. “Memangnya kenapa?” tanya Teratai heran. “Hemm, mungkin Non Tera lupa. Di istana ini putri raja tidak boleh pergi keluar dari istana,” ujar Lidya. “Aturan seperti apa itu?” “Ya, Non. Bahaya pasti mengintai. Putri dari kerajaan ini terkenal dengan kecantikannya, sehingga putri tidak boleh bertemu dengan orang sembarangan.” “Ohh begitu. Namun aku sangat bosan,” keluh Teratai. “Aku ada ide. Bagaimana kalau Non Tera menyamar saja?” Galuh menyampaikan ide briliannya. “Betul. Aku setuju,” sahut Teratai. Galuh menggulung rambut Teratai menyerupai sebuah konde. Ia juga menyiapkan bajunya untuk dipakai Teratai. “Bagaimana? Apakah aku sudah terlihat seperti seorang pelayan?” tanya Teratai. “Hemm, tetapi Non Tera masih terlihat cantik,” ucap Galuh sambil mengamati wajah Teratai. “Galuh, cepat ambilkan arang!” perintah Teratai. Galuh melaksanakan perintah Teratai. Tak lama, ia kembali dengan sebongkah kecil arang di tangannya. Teratai menggosokkan bongkah arang tersebut ke pipi mulusnya, membentuk sebuah bulatan berwarna hitam. “Bagaimana? Apakah menurutmu penyamaranku akan berhasil?” tanya Teratai. “Galuh tersenyum puas, “Ya. Pasti tidak akan ada yang bisa mengenali Non Tera.” Siang itu, di bawah teriknya sinar matahari, Teratai keluar meninggalkan istana bersama dengan Galuh dan Lidya. Pengawal penjaga istana tidak sedikit pun mencurigai mereka. Langkah mereka terhenti di sebuah pasar yang cukup ramai. “Aku ingin membeli itu,” tunjuk Teratai. Mereka berjalan menghampiri seorang penjaja buah. “Buah apa ini?” tanya Teratai kepada penjaja buah tersebut. “Ini buah kelapa, Nona. Nona boleh mencobanya.” Si penjaja buah mengupas buah kelapa yang berkulit hijau. “Hmm, sepertinya menyegarkan,” ucap Teratai. “Berikan kami masing-masing satu buah ini.” “Baik, Nona.” Penjaja buah mengupas tiga buah kelapa. Ia memberikan setiap buah itu kepada Teratai, Galuh, dan Lidya. Ketiga gadis itu menikmati air kelapa yang segar di bawah teriknya sinar matahari. “Terima kasih.” Teratai memberikan sebuah koin perunggu kepada penjaja buah. “Ini terlalu banyak, Nona.” “Ambil saja untukmu.” “Terima kasih banyak, Nona.” Teratai mengamati wajah penjaja buah. Ia mencoba mengenal dan mengingat pria yang ada di hadapannya itu. Namun usahanya nihil. Dia tak mengenalnya, hanya saja suara pria itu terdengar tak asing di telinga Teratai. Teratai meninggalkan sang penjaja buah bersama Galuh dan Lidya. Belum jauh mereka melangkah ketika sekumpulan pria menghampiri. Mereka memakai baju hitam berlengan terbuka, dengan celana pendek selutut yang juga berwarna hitam. Pria yang paling subur di antara mereka mendekati Teratai. “Hei, Nona Cantik,” ucap pria tambun tersebut. Teratai tak menjawab. Ia dan kedua dayangnya tetap melangkah. “Hei, Nona. Saya bicara denganmu.” Pria tambun tersebut menarik lengan Teratai. “Maaf, aku tidak mengenalmu. Lepaskan!” Teratai melepaskan lengannya dari cekalan pria tersebut. “Hehh, berani-beraninya kau melawanku. Aku penguasa di tempat ini.” “Aku tak peduli. Ayo, kita pergi,” ajak Teratai kepada Galuh dan Lidya. Pria tambun tersebut kembali menarik Teratai. Ia mencengkeram wajah Teratai dengan telapak tangannya yang besar. “Berikan cincimu itu atau kau harus menjadi pemuas nafsuku,” gertak pria tambun itu. “Aku tidak memilih keduanya.” Teratai menarik tangan pria itu dan mencoba melepaskannya. Namun, tenaga pria itu jauh lebih besar darinya. “Kau sudah berani melawanku. Aku akan memberikanmu hukuman. Cepat serahkan cincinmu atau berikan tubuhmu,” hardik pria itu lagi. “Lepaskan!!” Teratai mulai meronta-ronta. Rambut panjang yang tadi dikonde mulai berantakan. “Rambutmu sangat indah. Aku jadi semakin menginginkanmu. Cepat ikut aku.” Pria tambun itu menarik tubuh Teratai. Teratai tetap meronta, mencoba lepas dari pria itu. Galuh dan Lidya berteriak karena panik. Mereka menyesal karena telah membawa Teratai ke tempat umum. “Hei, apa-apaan ini?” Pria penjaja buah datang menghampiri. “Jangan ikut campur urusanku, Anak Muda. Minggir kau!” perintah pria bertubuh tambun. “Lepaskan wanita itu!” hardik si penjaja buah. Pria tambun menghentikan langkahnya. Tangannya masih mencekal lengan Teratai. Galuh dan Lidya tidak dapat melakukan apa-apa. Mereka gemetar ketakutan. “Aku bilang lepaskan wanita itu!” perintah si penjaja buah lagi dengan nada suara yang meninggi. Ia menatap pria tambun dengan penuh kemarahan. “Hahaha. Aku akan melepaskannya dengan satu syarat. Kau harus mengalahkan semua anak buahku!” tantang si pria tambun. “Baiklah, aku terima tantanganmu itu.” Si penjaja buah mengepalkan kedua tangannya. Pria penjaja buah mulai memasang kuda-kuda. Di hadapannya ada empat orang pria yang juga berbaju hitam, sama seperti tuan mereka. “Hyaaa ….” Pria penjaja buah mulai melakukan serangannya. Ia berhasil memukul salah satu lawannya. “Bukkhh ….” Ia kembali berhasil menjatuhkan satu lawan dengan tendangan tepat di perut. “Wushh ….” Salah satu lawannya mencoba mendendang. Pria penjaja buah dengan sigap mengelak. Ia kembali membalas dengan sebuah tendangan yang menyebabkan satu lawannya terjatuh lagi. Lawannya tersisa satu lagi. “Ayo, maju.” Pria penjaja buah menggerakkan tangannya, menantang lawannya untuk maju. Pertarungan pun tak terelakkan. Lawan terakhirnya merupakan lawan yang paling tangguh. “Awasss!” teriak Teratai. Pria penjaja buah berhasil mengelak dari hujaman pisau lawannya. Ia pun menendang lengan musuhnya dan pisaunya pun terjatuh. Cepat si penjaja buah memungut pisau dari tanah dan menghujamkannya di perut lawannya. Cairan berwarna merah mulai menetes dari kulitnya. “Lepaskan wanita itu atau kuhabisi dia!” gertak si penjaja buah. “Hahaha, kali ini kau menang, Anak Muda. Baiklah, aku lepaskan wanita ini.” Pria bertubuh tambun mendorong tubuh Teratai hingga ia terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Pria penjaja buah menarik pisaunya dan membiarkan musuhnya berjalan menghampiri tuannya. “Kau tidak apa-apa, Nona?” tanya pria penjaja buah. “Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku.” Teratai bangkit dan mengibaskan bajunya yang kotor dipenuhi tanah. “Berhati-hatilah. Di sekitar sini ada banyak perampok.” Penjaja buah mencoba memperingatkan. “Baiklah. Kami akan lebih berhati-hati.” Teratai menganggukkan kepala. “Ikut aku,” ajak si penjaja buah kepada Teratai dan kedua dayangnya. Ketiga gadis itu mengekori langkah si penjaja buah dari belakang. “Ada apa?” tanya Teratai setelah mereka tiba di kedai buah. “Nona menyukai buah ini?” Si penjaja buah menunjukkan sebuah kelapa muda berukuran sedang. “Ya, aku menyukainya. Buah ini sangat cocok untuk dinikmati di cuaca panas seperti ini,” sahut Teratai. Ia menelan ludah melihat kelapa yang sedang dipegang oleh si penjaja buah. “Ini untuk Nona, tidak perlu dibayar,” ucap si penjaja buah. “Terima kasih,” sahut Teratai. Ia memberikan buah tersebut kepada Galuh. “Mmmm … siapa namamu?” tanya Teratai. “Namaku Banyu.” Teratai sedikit terkejut mendengar nama pria yang ada di hadapannya. Ia kembali ingat kepada Banyu yang dulu adalah kekasihnya. “Namaku Teratai,” sahut Teratai. “Nama yang indah,” sahut Banyu sambil tersenyum manis. “Terima kasih untuk kebaikanmu hari ini. Aku akan berusaha membalasnya di lain waktu.” Teratai menangkupkan kedua tangan di depan dadanya dan menganggukkan kepalanya. “Sampai jumpa, Nona.” Banyu juga menangkupkan tangan di depan dadanya dan menganggukkan kepala. “Bahkan di kehidupanku yang kedua aku harus bertemu orang bernama Banyu? Haha, aku harap pria tadi tidak seburuk Banyuku yang dulu,” batin Teratai sambil melangkah lebar meninggalkan pasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN