CASTING

1386 Kata
Dua bulan yang lalu… “Lagi-lagi kabar mengejutkan datang dari aktor papan atas kita…” Seseorang duduk santai sambil menikmati pagi hari bersama celotehan pembawa acara gosip. Sesekali ia menyeruput kopi yang tersaji di atas meja. “Tadi malam Abinawa Brahmana terlihat mendatangi sebuah klub dengan seorang perempuan berperawakan bule … disebut-sebut wanita itu merupakan kekasihnya yang baru…” Disela tarikan nafas pembawa acara itu, seorang wanita tersenyum tipis. “Namun, saat awak media meminta konfirmasi … pria berparas tampan itu memilih bungkam dan menghindar…” “Lagi-lagi Abinawa … kayaknya hampir tiap hari ada berita gosip tentang dia di tivi, tsk!” celetuk seseorang lainnya. Wanita berambut sebatas bahu, menyerobot pengendali tivi lalu mengganti siaran gosip tersebut. “Berhenti nonton acara gosip!” pinta Neha. “Buang-buang waktu,” sambungnya sambil mendaratkan bokoong di sisi sang adik. “Tapi, Kak. Memangnya dia selalu begitu, ya?” tanya wanita berambut panjang yang sejak tadi penasaran dengan gosip tersebut. Tubuhnya menyerong sambil menanti jawaban kakaknya. “Begitu gimana?” “Buat skandal dengan banyak perempuan?” Neha berpikir sejenak. “I dunno.” “Karena setiap ada berita gosip tentang dia … pasti deh ada perempuan yang disebut pacar barunya,” ungkap adiknya dengan polos. “Ishya Arunika … di industri hiburan kaya gini tuh bukan rahasia umum lagi gosip sana-sini. Jalan dikit sama lawan jenis pasti viral.” Neha terdiam sejenak. “Apalagi, Abinawa aktor terkenal yang selalu jadi sasaran empuk media. Kalau dia ga jaga sikap, pasti bakal jadi bulan-bulanan acara gosip.” Neha kembali melontarkan ucapannya tanpa ekspresi, jemarinya masih sibuk mencari siaran menarik pagi itu. “...” “Menurut Kakak, Abinawa aktor yang hebat. Ya … walau punya banyak skandal sih. Tapi denger-denger, doi orangnya humble dan mudah bergaul lho! Jadi wajar saja kalau dia banyak yang ngejar,” ujarnya menghilangkan rasa penasaran Ishya. Well! Ishya Arunika atau kerap disapa Ishya merupakan seorang model keturunan Pakistan. Sudah lima tahun, Ishya hijrah ke Indonesia saat terpilih menjadi bagian dari brand ambassador produk kecantikan dalam negeri. Meski wanita itu masih terbilang baru di industri hiburan Indonesia. Namun, namanya tak kalah populer dari pria yang baru saja disebutkan dalam acara gosip tadi. Wajah yang selalu dipakai untuk produk komersial serta banyaknya endorse, membuat followers Ishya meningkat signifikan. Tak sedikit orang yang mengagumi kecantikan dan ketulusan hatinya. Ishya mengangguk. Hening. Kembali tak ada obrolan yang penting. Baik Ishya maupun Neha hanya bergeming sambil menonton acara tivi yang kian hari kian membosankan. “Hmm… anyway—ada tawaran main film nih, gimana menurut kamu?” “Buat aku?” “Hmm.” “Jadi pemeran utama?” Neha mengangguk “Lawan mainnya?” Seketika otaknya nge-blank. Neha baru terpikir bahwa pihak casting tak memberitahukan itu. “Rasanya belum fixed deh siapa yang bakal jadi lawan main kamu, lagi pula casting director ga ngasih tahu Kakak,” ujar Neha. Hening. Ishya tak menyahuti sang kakak. “Kalau kamu mau, Kakak atur jadwal casting.” Kening Ishya mengkerut. Bukan ia tak mau. Tapi rasanya—ia tak percaya diri untuk melakoni sebuah film, mengingat dirinya hanyalah seorang model. “Terserah Kakak aja,” jawab Ishya. “Baiklah, besok abis pemotretan … kita coba langsung menuju lokasi casting.” “Besok banget?” Neha mengangguk dan Ishya menghela nafas kasar. Bukankah tadi sang kakak bilang baru akan aturkan jadwal? Tapi kenapa secepat itu menentukan waktunya. Sungguh membuat Ishya ingin berkata kasar. “Ini naskah buat kamu pelajari,” ucap Neha sambil menyodorkan sebuah klip naskah setebal sepuluh senti. “Hmm … baiklah,” tandas Ishya dengan malas. Keesokan harinya… Setelah memenuhi jadwal pemotretan produk skin care, Ishya bertandang ke sebuah studio casting di bilangan Jakarta Selatan. Meski tampak lelah, Ishya menjalani rutinitasnya dengan senyuman. Dunia entertain adalah mimpinya. Sejak menjadi model brand ternama di berbagai kesempatan. Ishya jelas ingin mencoba dunia seni peran yang pastinya penuh tantangan. Wajahnya kini berseri-seri tak sabar. Tiba di depan studio, seorang pria berkacamata menyambutnya ramah. “Yuk, masuk! Kalian udah di tunggu di dalam,” ajak Deon selaku casting director. Pria dengan tubuh tinggi hampir dua meter yang rambutnya diikat kebelakang itu mempersilahkan keduanya masuk. “Hai, Ishya … apa kabar?” Seorang pria paruh baya menyambutnya ketika Ishya dan Neha melangkah bersama ke dalam ruangan. “Hello, Uncle … aku baik.” Ishya tersenyum ramah. Sejujurnya ia tak mengenal dekat pria itu. Namun, namanya cukup terkenal di dunia perfilman. Junadi atau biasa disapa Uncle Jun, seorang sutradara ternama yang banyak menggarap film untuk diangkat ke layar lebar. Betapa terkejut Ishya saat tahu akan melakoni big proyek pria paruh baya tersebut. Dan tak disangka-sangka pula bahwa beliau ada di lokasi untuk men-casting langsung dirinya. “Terima kasih sudah undang kami, Uncle.” Neha menambahkan. “I’m so excited bisa datangkan seorang Ishya Arunika buat casting … semoga hasilnya sesuai ekspektasi, ya.” ‘Saya akan invest ke proyek film Uncle, kalo Uncle berhasil gaet Ishya Arunika di proyek ini.’ Jun melamun. Terngiang kalimat yang membekas di otaknya. Dua bulan lalu, seseorang memintanya untuk mengajak Ishya dalam proyek film tersebut. “Hmm … semoga,” tandas Neha sambil terkekeh. Jun tersadar dari lamunannya. Mereka gegas bersiap untuk casting dan Ishya semakin gugup memandang pria paruh baya itu menaruh harapan besar padanya. Sepanjang menunggu giliran, Ishya menghafalkan beberapa script untuk ia tunjukkan dihadapan sang sutradara. *** Seminggu berlalu, Ishya mendapat kabar dari sang kakak bahwa dirinya lolos casting sebagai pemeran utama. Tepatnya hari ini, kakak beradik itu melaju menuju production house untuk reading naskah bersama aktor dan beberapa kru. Semakin gugup karena belum tahu siapa lawan mainnya, membuat Ishya kian menerka-nerka. Jantungnya bergemuruh hebat. “Kamu sudah siap?” Seseorang tengah meyakinkan wanita yang masih bergeming di depan pintu. Dan ya, Ishya terlihat ragu untuk menjalankan pertemuannya hari ini. Seketika kepercayaan dirinya sirna. Ishya merasa gugup berada di tempat itu. Ini benar-benar pertama kali sepanjang sejarah hidupnya terlibat dalam dunia seni peran. Sungguh keputusan yang konyol menurutnya. Ishya pikir setuju melakukan casting hanya untuk coba-coba, tapi tak disangka bahwa ia justru lolos. Tak ingin membuang waktu, Neha pun membuka pintu ruangan tersebut. “Hai semuanya!” sapa Ishya dan Neha bersamaan. “Halo!” sahut beberapa orang yang sudah berkumpul di meja rapat bundar. Seorang pria berbalut kemeja putih serta jas hitam menghampiri kakak beradik itu. Usianya masih terbilang muda, wajahnya dipenuhi rambut tipis di sekitar dagu dan pipi. Matanya memandang lekat Ishya dengan senyum tak biasa. “Hai, Ishya. Kamu kelihatan semakin cantik dari beberapa waktu lalu,” puji pria tersebut. Ishya mengerutkan kening, mata mereka bersitatap. ‘Rasanya ga asing sama wajah ini.’ Ishya lantas menatap sang kakak seraya meminta jawaban siapa gerangan pria tersebut. “Pak Akara Emir, apa kabar?” Neha menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. “Baik.” 'Akara ... Emir? Astaga!' “Oh! He-hello,” timpal Ishya. Matanya terus menerawang kejadian dua bulan yang lalu. Kontan jantungnya berdegub kencang. Akara menyambut jabatan tangan itu silih berganti dengan senyuman. Ia merupakan pemilik AE Entertainment atau rumah produksi yang mendanai proyek film tersebut. Seorang executive muda dengan segala pesonanya. Meski nanti Akara tak banyak terlibat dalam produksi harian. Namun, pria itu menyempatkan waktu di pertemuan pertamanya dengan Ishya. Senyum terpancar di wajah pria tersebut lalu menghilang saat seseorang datang menghampiri mereka. “Hai, Shya?” “Uncle Jun,” gumam Ishya. Ishya menatap pria bertubuh gemuk itu dengan senyum ramah. Entah mengapa, memandang uncle tersebut membuat Ishya merasa nyaman. “Baiklah … bisa kita mulai pertemuan hari ini?” sela Akara tak ingin membuang waktunya sia-sia. “Tentu.” Mereka pun bergabung di meja bundar. “Pemeran utama laki-lakinya belum datang, ya?” tanya Ishya pada sang sutradara. “Belum. Doi izin telat.” Dan sambil menunggu tokoh utama pria datang, sesi pengenalan jajaran kru selama produksi film pun berlangsung. Ishya mengingat satu per satu nama, wajah, dan posisi mereka. Setidaknya, ia harus tahu itu untuk mengurangi kesalahan. Kemudian, salah satu tim melakukan briefing agar Ishya tak begitu terkejut dengan dunia peran. Sebab, kemungkinan besar Ishya banyak tak paham basic seni peran. Lima belas menit berlalu Ishya mulai memahami poin-poin dasar dalam berakting. Namun, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Semua mata tertuju ke arah yang sama. Ishya tak mampu menutupi keterkejutannya saat dirinya melihat seseorang bergerak ke arahnya. ‘Abinawa … Brahmana.’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN