Ishya dan Neha memasuki bar and lounge yang ada di lantai dasar hotel. Dentuman musik kian mengiringi ketika langkah kaki mereka bergerak dengan cepat. Sejak sore tadi, Neha tidak sabar menghabiskan waktu istirahatnya untuk menikmati dunia malam. Sementara Ishya, sangat sulit beradaptasi dengan dunia itu meski ia dikelilingi oleh gemerlap hiburan. Setelah melewati gawang pintu, Neha memisahkan diri.
Sejak turun ke tempat itu, Ishya enggan bergabung dengan sang kakak. Neha yang cukup senang dengan dunia malam, kini terlihat bersama seorang bule yang baru saja dikenalnya. Dari kejauhan, ia melihat Neha berbincang lalu bersenda gurau.
‘Tsk! Katanya minta ditemenin … taunya dia sendiri yang tinggalin aku.’
Ishya berdecak kesal. Matanya memicing lalu jemarinya memainkan cawan orange juice, bosan.
“Boleh saya duduk disini?”
Ishya menoleh pada seorang pria di sisinya. Irisnya memindai sosok itu dari ujung kaki hingga kepala.
“Hmmm, silahkan.”
Jantungnya berdebar kencang kala ada seorang pria yang berusaha mendekati. Seketika matanya mengitari seluruh sudut ruangan, mencari keberadaan sang kakak yang tiba-tiba menghilang entah kemana.
‘Kemana perginya, Kak Neha.’
Dalam hati ia menggerutu.
“Kamu menunggu seseorang?” tanya pria itu hingga mengalihkan perhatian Ishya. Disaat berikutnya, wanita itu menggeleng. Bibirnya melengkung ke atas, namun gemuruh jantungnya tak sanggup ia hindari. Ia takut.
“Akara,” salam pria itu mengulurkan tangannya. Mata pria itu menatap Ishya yang terlihat kebingungan.
“Eung, ya,” gumam Ishya.
Bukan menyahut perkenalan itu, Ishya hanya bergumam pelan. Tak hanya untuk mencari sosok kakaknya. Pandangan matanya pun berputar memastikan bahwa tak ada paparazi yang menguntitnya.
“Don’t worry! Ga akan ada paparazi disini.”
Ishya kontan menoleh.
‘Apa dia bisa baca pikiran orang?’
“Mau jalan-jalan ke pantai? Disini terlalu bising.”
Akara mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu. Dunia malam memang identik dengan kebebasan. Dan, Ishya sesungguhnya tak suka dengan kehidupan bebas. Bertemu seseorang di tempat hiburan malam, berkenalan, lalu terjadi one night stand. Sungguh, Ishya menghindari hal-hal demikian. Otaknya cukup waras untuk menyaring pergaulan bebas di dunia modeling. Sebisa mungkin ia menghindari orang asing, karena ia tak pernah tahu apakah niat orang itu baik atau hanya untuk memanfaatkannya.
“Tapi …”
Ishya berkilah. Rasanya ia enggan pergi kemanapun sebelum melihat sang kakak.
“Ini kartu nama saya.”
Akara menyodorkan kartu nama hanya untuk meyakinkan wanita itu bahwa dirinya bukan penguntit. Dan sungguh menyedihkan. Akara mengira bahwa semua orang di belahan dunia pasti mengenalnya. Namun, siapa sangka wanita di hadapannya ini tidak mengenalinya sama sekali. Senyum ejek mengulum di bibirnya. Akara patah hati.
“CEO … AE … Entertainment,” gumam Ishya setelah membaca detail kartu nama yang ia pegang.
“Yups! Percayakan kalau saya bukan penguntit?”
Tangan Akara kembali menjulur, menunggu sambutan perkenalan dari wanita itu.
“I-Ishya … Arunika,” ucapnya pelan. Jemarinya menyambut uluran tangan Akara. Kemudian mata saling bersitatap di udara. Senyum tipis kembali mengulum di bibir keduanya.
“Bisa kita jalan sekarang? Saya ga suka kebisingan.”
‘So do I.’
Merasa sefrekuensi, Ishya mengangguk. Ia menyambut hangat ajakan Akara untuk meninggalkan bar tersebut. Jemari tangan Akara menjulur, membantu Ishya turun dari kursi tinggi itu. Langkah kaki berderap bersamaan, namun tertelan kebisingan.
Setibanya di pinggir pantai, mereka berdiri berdampingan. Menatap hamparan luas Mengiat Beach di malam hari. Ishya termangu. Ia bahkan tak punya topik untuk dibicarakan. Jantungnya terlalu tak aman. Rasa khawatir memenuhi pikirannya. Bagaimana bisa ada seorang wanita yang jalan dengan orang asing di malam hari?
Pikiran-pikiran aneh mulai menjalari otaknya.
“Saya penggemar kamu,” ucap Akara yang membuat Ishya kontan menoleh ke arahnya. Disaat yang sama Akara memandang wanita itu lalu memberi senyum terindahnya.
“Anda tau tentang saya?”
Akara mengangguk. Dan Ishya melangkah mundur. Kakinya tiba-tiba gemetar. Seketika air keringat mengucur. Ia takut bahwa seseorang yang ia temui saat ini adalah seorang sasaeng fans yang memiliki obsesi berlebih terhadapnya. Bagaimanapun, Ishya pernah mengalami trauma terhadap seorang penggemar. Itu mengapa, sikapnya terhadap seseorang akan bereaksi lebih.
“Terima kasih.”
Ishya tersenyum tak ingin menyinggung pria itu dengan sikapnya.
“Saya rasa, saya harus kembali ke hotel,” pamit wanita itu.
“Tapi …”
Ishya tak peduli, langkahnya memutar mencari jalan untuk menuju kembali ke kamar hotelnya. Namun, Akara mencekal tangannya.
“Hei. Kamu kenapa?”
“Ah! Itu …”
Sebelah tangan Ishya membantunya melepas cekalan tangan pria itu. Ia terlihat tidak nyaman. Namun, Akara membutuhkan alasan mengapa wanita itu bersikap tak bersahabat dengannya.
“Bro!”
Seseorang dari belakang memecah suasana mereka yang tengah bersitegang. Akara gegas melepas cengkraman tangannya lalu menoleh ke sumber suara.
“Abinawa,” gumamnya pelan.
‘Abinawa Brahmana.’
Ishya membulatkan mata. Tak mengira bahwa ia akan bertemu seorang aktor hebat disana. Dan ketika Akara menoleh pada pria tersebut, disaat itu Ishya merasa memiliki kesempatan untuk pergi. Langkahnya bergerak cepat tanpa sepatah kata. Sementara sepasang mata yang baru datang mengamati punggung Ishya yang bergerak dengan cepat.
Akara yang menyadari itu gegas membalikkan tubuhnya.
“Tsk! Dasar perempuan aneh!”
“Doi perempuan yang lo liat siang tadi ‘kan?”
“Hmmm.”
“Model keberapa yang bakal lo tidurin?”
“Damn! Lo pikir gue maniak.”
“Sebelas dua belas sih, man!”
Abinawa tergelak. Ia tahu sosok sahabatnya itu sangat candu dengan wanita. Ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Entah keberuntungan atau sebuah kebetulan. Ishya rasanya patut berterima kasih atas kehadiran Abinawa saat itu. Jika tidak, ia akan menjadi santapan lezat seorang Akara.
“Let’s go party!”
Abinawa menarik tangan Akara yang terlihat nelangsa. Hampir saja Ishya terpedaya dan menjadi miliknya. Namun, Abinawa datang mengacaukan semuanya.
***
Kembali ke masa kini, Ishya menjalani syuting dengan setengah hati. Pasalnya kali terakhir ia melakukan rehearsal, hatinya semakin tak bisa dimengerti. Duet dengan Abinawa sepertinya bukan pilihan yang tepat. Namun, semua sudah berjalan sesuai rencana. Jika ia membatalkan kontrak di tengah berjalannya syuting, tentu akan memberikan dampak yang buruk terhadap karirnya.
Internal. Ruang keluarga. Siang hari.
Gadis itu duduk di sebelah ibunya lalu menoleh kesana kemari mencari sosok lelaki yang beberapa menit lalu berbincang dengannya.
‘Dia belum kembali.’
Yuna menundukkan kepala, merasakan adanya penolakan tersirat dari pemuda itu.
‘Apa dia tidak menginginkan perjodohan ini?’
“Lho, dimana Juno?” tanya Tuan Adam, calon ayah mertuanya.
Seketika lamunan Yuna buyar.
“Oh ... tadi dia bilang ingin sendiri.”
Senyum manis nampak membuat pria paruh baya itu percaya.
“Dasar anak itu!” sahut ibunda Juno tak terima.
“Maaf ya sayang, Juno memang penyendiri,” sambungnya.
Ishya menghela nafas dalam, mencoba setenang mungkin dan mengikuti alur yang berjalan. Kamera masih menyorot ke arah yang ditentukan. Dan kini, tiba gilirannya untuk berdialog.
Yuna tersenyum. “Tidak masalah, Tante.”
“Yuna, jangan panggil Tante. Panggil saja, Mama.”
“Baik, Ma.”
“Cut!”
Suara lantang Uncle Jun membelah keheningan. Ishya nampak tersenyum lega karena mampu memberikan yang terbaik versi dirinya. Namun, seketika pandangannya menyapu seluruh set. Pasalnya, sejak saat take itu dimulai, ia belum melihat keberadaan Abinawa. Ia pun berjalan menelusuri lokasi, melewati lintasan kamera dan beberapa kru.Tak peduli ada banyak pasang mata yang mengamati. Ishya terus berlalu.
Ishya tiba di beberapa sudut lokasi yang tak memiliki penghuni. Kolam, pekarangan rumah, serta beberapa area yang memang tidak ada siapapun. Namun, usaha dalam membunuh rasa penasarannya gagal. Ia tak menemukan si aktor maha sempurna.
Dengan wajah bersungut-sungut, Ishya memutar tubuhnya. Namun, bak pucuk dicinta ulam pun tiba, Abinawa muncul dihadapannya.
“Lo cari gue?”
Tak ada persiapan, Ishya terkejut hingga kakinya terpeleset.
“Kyaaaaa!”
Lagi dan lagi, Ishya hampir terjerembab. Tapi, Abinawa lekas menahan tubuh wanita itu. Bibirnya berdecak. Matanya menatap sinis.
“Tsk! Lo memang ceroboh, ya?”
‘Kalau bukan karena dikagetin juga ga bakal jatuh tuh!’
Sayangnya, cercaan itu hanya bisa ia telan dalam hati. Ishya tak mampu menyuarakan kekesalannya. Sejak terlibat dengan sang aktor. Entah mengapa perasaannya begitu membingungkan. Ada rasa suka namun benci beriringan.
“Maaf …”
Akhirnya Ishya hanya bisa bergumam lirih. Mata mereka saling bersitatap. Abinawa melepaskan genggamannya.
“Take selanjutnya bakal dimulai, lo udah di calling.”
“Oh! Thanks.”
Ishya gegas meninggalkan Abinawa yang masih berdiri di tempatnya saat ini. Langkah kaki begitu tergesa dan ia sama sekali tak ingin menoleh. Rasanya begitu gugup. Jantungnya seperti tengah bermain roller coaster. Adrenalinnya meningkat ketika berhadapan dengan pria itu, entah mengapa.
‘Lucu juga.’
Sepasang mata masih mengekori kemana wanita itu pergi.
***