Dua bulan yang lalu.
Terik mentari hampir berada di atas kepala. Seorang pria baru memasuki foyer hotel bintang lima di Nusa Dua, Bali. Kakinya bergerak menuju lift yang berada di sisi kanan gedung. Pria itu hampir masuk ke dalam lift ketika bunyi ting menyadarkan lamunannya. Namun, seketika langkahnya terhenti. Dua orang wanita baru saja keluar sambil mengulum senyum tipis. Salah seorang diantaranya tengah menelpon, sementara wanita lainnya menurunkan sunglasses di antara hidungnya yang runcing.
‘Wanita itu.’
Iris matanya tak berhenti memandangi punggung wanita yang telah menjauh dari penglihatannya.
“Tuan, silahkan masuk!” Robert mencoba mengalihkan perhatian pria di sana ketika pintu lift hampir tertutup kembali.
“Robert, apa lo tahu siapa perempuan itu?”
Tak menghiraukan apa yang dikatakan Robert. Pria itu kembali menatap sosok wanita yang mencuri perhatiannya. Robert menangkap sosok yang di maksud tuannya.
“Dia model, Tuan.”
“Saya tahu … maksud saya namanya siapa?”
“Hmmm, kalau saya tidak salah … Ishya Arunika.”
Pria itu mengangguk pelan. Setelahnya, kembali melanjutkan tujuan. Setelah menempuh perjalanan, pria muda itu akan beristirahat sebelum menghadiri pertemuan penting dengan klien sore nanti.
Beberapa jam berlalu…
Seorang pria tengah bersantai di atas sun lounger sambil memainkan ipad di tangan, memantau indeks saham perusahaannya. Hamparan laut yang tersaji, membuat pria itu tak ingin gegas pergi meskipun terik menyilaukan. Hari memang hampir sore, namun mentari masih bersinar cerah di peredaran porosnya. Lebih dari pemandangan disana, nyatanya ada yang lebih membuat pria itu intens menatap ke arah laut lepas.
‘Cantik.’
Seketika dirinya tak fokus dengan indeks saham yang tengah ia analisa. Senyum mengulum lembut, mata menatap kagum pada seorang wanita yang tengah berpose di hamparan laut. Kaki telanjang dibersamai kulit putih bersinar seolah menyilaukan pemandangan.
‘Lo harus jadi milik gue.’
“Woy! bengong aja!” seru pria lain. Dengan setelan kemeja casual berpadu celana cream sebatas lutut. Pria berkacamata hitam yang teronggok di hidung tegasnya, membuat parasnya nampak sempurna.
“Eh, man! Lo disini?”
“Hmmm,”
Pria itu mendaratkan bokoong di sisi sun lounger lain, lalu memandang ke arah yang sama. Matanya mengamati sosok yang mencuri perhatian sang sahabat. Seorang wanita dengan summer boho dress yang menunjukkan keratan depan tubuhnya serta aksesoris tali di sekitar leher dan belakang tengah berpose dengan indah. Pemotretan brand fashion itu menunjukkan gerakan yang begitu memikat, kedua tangan yang menyilang tinggi, serta liukan bak penari balet, membuat si empunya memperlihatkan pahatan indah tubuhnya.
Sepasang mata terlihat berdecak kagum. Namun, tidak dengan pria di sisi lainnya yang menganggap hal itu biasa saja.
“Santai aja, man! Mata lo hampir lepas tuh!”
“Gila! Estetik banget, bro!
“Tsk! Mata lo ga bisa liat perempuan bening dikit!”
“Naluri laki-laki, bro!”
Keduanya terkekeh renyah. Salah seorang lainnya kembali mengalihkan pandangannya pada layar ipad. Sementara pria lain melirik pada model yang masih pemotretan di ujung pesisir pantai.
“Lo liburan disini, Bi?”
“Hmmm. Lo sendiri?”
“Biasalah! Pebisnis kalau ga ketemu klien ya apa lagi?” kekeh Akara.
Sesaat pandangannya tertuju pada Abinawa. Lalu ia memalingkannya kembali pada ipad yang ia genggam. Akara dan Abinawa sudah bersahabat dekat sejak sekolah menengah, mengambil jenjang pendidikan tinggi bidang bisnis di Stanford University, keduanya semakin akrab. Namun, adanya perbedaan passion. Abinawa memutuskan melanjutkan postgraduate di bidang teater hingga membuat mereka sibuk dengan dunia masing-masing.
“Hai, guys!”
Suara berat itu memecah perbincangan yang ada. Baik Abinawa dan Akara menoleh bersamaan. Seorang pria bertubuh gemuk dengan rambut panjang yang mulai memutih serta diikat ke belakang melangkah pelan mendekati dua pemuda di bawah sun lounger.
“Uncle?”
Abinawa melepas kacamata hitam itu, lalu berdiri memberi pelukan hangat.
“Eh, lo disini, Bi?”
“Hmmm, Uncle lagi liburan?”
“Nope. Tuh meeting sama bocah ini!”
Jun menunjuk Akara dengan dagunya. Lalu bergabung di sun lounger.
“Ah! I see.”
Abinawa memandang mereka silih berganti. Lalu beranjak dari duduknya. Merasa tidak ada kepentingan, Abinawa gegas meninggalkan dua pria disana.
“Kalau gitu gue jalan dulu,” timpalnya.
“Lho, mau kemana?” tanya Jun.
“Cuci mata dulu lah!”
“Eh! Ingat lo udah punya pacar ye! Awas kalau sampai nyakitin doi!”
Abinawa tergelak namun tak mengindahkan. Ia kembali mengenakan sunglasses itu.
Setelah kepergian Abinawa. Jun mengajukan proposal proyek film yang akan digarap tahun ini. Terkesan santai, namun, itu gaya kerja Akara untuk bisa memajukan industri hiburan dengan gaya milenial. Di bawah sun lounger keduanya berbincang sambil diiringi canda tawa. Akara mengeluarkan rokok lalu menawarkan pria paruh baya di hadapannya. Jun menyambut rokok itu lalu mengepulkan asap kemudian.
“So?” tanya Jun sehabis menghempaskan asap ke sembarang arah.
“Saya akan invest ke proyek film Uncle, kalau Uncle berhasil gaet Ishya Arunika di proyek ini.”
Pandangannya kini tertuju pada wanita yang masih menyelesaikan pemotretannya di ujung pesisir pantai.
“Perempuan itu?”
“Hmmm.”
“Tapi dia model. Gue ga yakin dia bisa.”
“Let’s try!”
Wajah Jun sedikit menggurat keraguan. Namun, ia membutuhkan kucuran dana dan dukungan rumah produksi ternama agar mensukseskan proyeknya. AE Entertainment yang dipimpin oleh Akara terbilang rumah produksi besar yang telah mencetak ribuan mahakarya. Dan tentunya melejit di pasaran. Sahamnya tercatat di bursa efek dengan pergerakan yang melaju naik. AE Entertainment merupakan perusahaan yang bergerak di bidang production house, advertising, dan manajemen talent terbaik. Ia juga telah memiliki reputasi dan mendapat beragam penghargaan.
Diatas puncak karirnya, Akara dikenal sebagai sosok pemimpin yang kejam, keras, dan angkuh. Hanya segelintir orang saja yang mampu menaklukan sifat kerasnya. Namun, sifat itulah yang membuat AE Entertainment bisa bertahan di tengah banyaknya persaingan.
Tiga puluh menit berlalu, setelah menentukan kesepakatan. Jun akhirnya berlalu. Sementara Akara, mengusaikan hisapan terakhir rokok di tangannya, sambil memandang dengan tatapan tak biasa, seorang wanita yang tengah berpose duduk di pasir dengan salah satu kaki yang menekuk lalu menyilang, seolah memperlihatkan kakinya yang jenjang nan indah.
***
Langit malam di kota Bali, terlihat begitu indah. Hembusan angin laut serta bintang yang bersinar di atas awan menghiasi pemandangan seorang wanita yang tengah berdiri di beranda penginapan. Ia memandang lurus, pikiran pun melayang. Hampir lima tahun dirinya hidup di negeri orang dengan segala jatuh bangun. Meniti karir di tempat yang jauh dari orang tua, membuat wanita itu sangat merindukannya. Kesibukannya sebagai model sampai membuat dirinya tak bisa meninggalkan jadwal begitu saja.
‘Ma, I miss you.’
“Ishya!” seru wanita yang tengah memakai sepatu kets.
“...”
“Kenapa belum ganti baju!” sambungnya.
Ishya menoleh. Dari pembatas kaca itu, ia bisa melihat sang kakak yang tengah memandang sinis ke arahnya.
“Memangnya mau kemana?”
“Astaga, Shya!”
Neha melangkah tergesa, menghampiri adiknya yang hanya termangu.
“Kamu udah janji mau temenin Kakak jalan-jalan! Ayo kita ke bawah!”
“Hmmm, but I’m so lazy…”
“Pokoknya kamu harus nemenin Kakak!”
Tak ingin dibantah, Neha menarik tangan Ishya lalu mendorongnya untuk segera berganti pakaian. Dengan berat hati, Ishya menuruti kemauan sang kakak.
Bar & Lounge
Sejak turun bersama Neha, Ishya sama sekali tak berniat bergabung dengan wanita itu. Neha yang cukup senang dengan dunia malam, kini bergabung dengan pria bule yang baru saja dikenalnya. Dari kejauhan, ia melihat kakaknya berbincang lalu bersenda gurau.
‘Tsk! Katanya minta ditemenin … taunya dia yang tinggalin aku sendiri.’
Ishya berdecak kesal. Matanya memicing lalu jemarinya memainkan cawan orange juice, bosan.
“Boleh saya duduk disini?”
***