REHEARSAL

1589 Kata
Secercah mentari bersinar cerah. Hari itu Ishya dan kru akan menjalani tahapan terakhir pada pra produksi film, yaitu rehearsal. Dimana dalam pelaksanaannya Ishya, Abinawa, dan para aktor berakting didepan kamera dengan penentuan blocking yang tepat. Rehearsal ini juga bagian dari persiapan agar saat hari syuting tiba sudah lebih siap. Dalam perjalanan menuju lokasi, Ishya membaca script agar mampu menyeimbangi kemampuan Abinawa si aktor maha sempurna. Jika ia melakukan kesalahan lagi, entah apa yang akan diperbuat pria itu terhadapnya. Ditengah kesibukan, kegelisahan menyelimuti perasaannya. Padahal baru saja akan mulai, tapi Ishya tak sanggup membayangkan wajah dingin pria itu ketika dirinya berbuat salah. ‘Astaga!’ Hembus nafas terdengar berat. Neha kontan menoleh pada adiknya. “Berat banget ya masalah hidup? Ada apa menghela nafas gitu?” “Ga tau, Kak.” “Abinawa lagi?” terka Neha bisa menebak yang membuat wanita itu sangat ketakutan. “...” Tak ada jawaban, Ishya mengangguk. “Tenang, Shya. Abi bukan monster, kok. Masa iya sebagai senior dia ga ajarin kalau kamu salah?” “Iya juga sih.” “Itu cuma ketakutan kamu aja. Ga usah di bebani.” Ishya kembali mengangguk. Tiba di lokasi syuting… Neha menyapa seluruh kru yang tengah mempersiapkan alat. Wanita itu menyapa mereka dengan ramah, sementara Ishya masih saja fokus membaca script. Adegan demi adegan ia resapi dan bibirnya terus komat-kamit seperti orang yang akan mengikuti ujian hafalan. Kali ini Ishya benar-benar berusaha profesional untuk memberi yang terbaik dalam film perdananya. “Shya, kakak tinggal kesana sebentar, ya!” Neha menunjuk ke arah berlawanan namun tak mendapat respon dari sang adik, Neha melenggang meninggalkannya di pelataran rumah yang menjadi set film tersebut. Karena begitu fokus dengan naskah di tangan, Ishya sampai tak menggubris sang kakak. Dan akhirnya, Neha berlalu begitu saja. Ishya melangkah menuju pekarangan belakang rumah bergaya minimalis modern melalui pintu samping, hingga tak ada yang menyadari keberadaannya di lokasi itu. Tepat, di tepi kolam, Ishya berdiri membaca naskah sambil bergerak kesana kemari sampai-sampai tak menyadari ada sepasang mata telah mengamati. “Ternyata lo disini!” Ishya berbalik dengan cepat. Kakinya mundur saat terkejut melihat pria yang kini ada di hadapannya. “Kyaaaaaa!” pekik Ishya dengan wajah panik. Hampir saja ia terjungkal ke kolam jika pria itu tidak segera meraih tangannya. Debar jantung tak pelak berdetak cepat bak genderang perang yang bergemuruh kencang. Tak lama, pria itu menarik tubuh Ishya hingga membunuh jarak diantara mereka. “Bisa hati-hati ga?” Pria yang ternyata si aktor maha sempurna berdecak kesal. Setelah first impression Ishya memberi kesan yang buruk, kini di pertemuan kedua itu Abinawa semakin yakin bahwa Ishya model yang ceroboh. “Eung—ada apa?” tanya Ishya bingung. “Cari saya?” sambungnya. “Siapa yang cari lo?” Sebelah alis Abinawa terangkat. “Gue cuma ga sengaja lewat.” Abinawa melepas genggaman tangannya. Bukan dijawab dengan baik. Pria itu justru membalasnya dengan ketus. “Oh, bukan gitu,” ucap Ishya gugup. “Lo udah di calling buat make up,” “...” Ishya tertegun. Mendengar lontaran bernada ketus dari bibir Abinawa, membuat Ishya semakin yakin bahwa pria itu berhati dingin. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Jika saja jarak usia mereka tak sejauh itu, Ishya pasti sudah menarik bibirnya yang tajam. “Thanks anyway.” Tanpa basa-basi, Ishya berlalu. Namun, landainya jalan di sekitar kolam membuat langkah kaki Ishya yang tergesa lagi-lagi meluncur bebas. “Kyaaaaaa!” Ia hampir terjatuh. Abinawa kembali menangkap tubuh Ishya dengan sekali gerakan. “Tuh kan, lo hampir aja bikin masalah.” “Hah, gimana?” Ishya bangkit dari rangkulan Abinawa. Wajahnya tampak semakin kesal. Bibirnya mengerucut dengan jelas. Pria itu hampir membuat darahnya bergejolak. Sindiran dan tatapan dingin yang menghunus netranya, membuat Ishya semakin tak ingin berlama-lama dekat pria itu. “Buat seorang model, lo itu terlalu ceroboh! Coba kalo lo kepleset, emang lo pikir lo bisa kerja?” Bagai terhantam bebatuan. Kepala Ishya seketika pening. Sangkin kesalnya karena mendengar sang senior mencaci maki, Ishya ingin menyumpah serapahi pria yang tidak tahu menahu tentang hidupnya. Ishya lantang menaikan volume suaranya. “Lho, kok. Kak Abi jadi sewot gitu?” “Kak?” Abinawa tergelak ketika Ishya menyerukan namanya dengan sebutan ‘Kak’. “Kenapa ga suka dipanggil, Kak? Mau saya panggil Om?” Ishya tahu bahwa rentang usia mereka sangat jauh. Sepuluh tahun bukan jarak yang dekat bukan? Sebagai juniorr, Ishya ingin berlaku sopan. Namun, apa yang didapatnya? Justru tatapan dingin dan perlakuan buruk. “Lo ini ga ada takutnya, ya?” “Kenapa harus takut? Kita ini sama-sama manusia.” “Terserah!” Abinawa berlalu, tak ingin menanggapi wanita itu. Memandang punggung Abinawa yang berlalu, Ishya pun tak sengaja meletupkan kobaran api di dadanya. “Dasar aktor skandal!” geram Ishya pelan. Namun, suara itu sampai ke telinga Abinawa hingga membuat pria itu gusar. “Lo sebut gue apa?” “Ah … itu, ga, kok.” Ishya gugup seketika. Ia pun berjalan pelan-pelan menghindari tatapan yang tak diinginkan. Rasanya sungguh aneh. Mereka terlibat proyek namun terkesan tidak akur. Membayangkannya saja, Ishya tak sanggup. Entah apa yang terjadi kedepannya. Ia hanya berharap proses syuting tak memakan waktu yang lama. Dan, tentunya ia berharap tak terikat proyek lain bersama pria itu. “Kamu kemana aja?” tanya Neha ketika Ishya baru memasuki ruang make up. “Dari kolam, Kak … latihan.” Ishya tidak jujur sepenuhnya bahwa ia baru saja bertemu dengan aktor maha sempurna itu. Padahal, kini jantungnya terus berdetak tak aman. Ia takut pertemuannya tadi menyebabkan aktingnya jadi tak maksimal. “Sudahlah, kamu make up dulu. Lima belas menit lagi syuting dimulai.” Neha mundur setelah memastikan adiknya duduk di depan cermin. Seorang make up artist mulai menyentuh wajah Ishya untuk membersihkan serta memolesnya dengan riasan natural looks. Setelah melewati waktu, seorang astrada mengetuk pintu, memberitahu bahwa gilirannya untuk syuting hampir tiba. “Ishya … ditunggu di lokasi lima menit lagi, ya.” Tak menunggu Ishya menoleh, astrada berperawakan slengean sudah hilang dari pandangan. Beruntung Ishya sempat melirik dari pantulan cermin. “Sudah, Mbak?” tanya Ishya pada penata rias di belakangnya. “Sudah.” “Oh, ya, namanya siapa tadi, Mbak?” “Vina, Kak.” Wanita itu mengulum senyum. Ishya bisa melihatnya dari pantulan cermin. Berada di lokasi syuting, membuat Ishya harus lebih banyak berinteraksi. Ia ingin membangun chemistry tidak hanya dengan orang-orang yang terlibat di depan kamera, tapi juga dengan para kru di balik layar. Ishya hanya tak ingin terkena skandal yang mengecap dirinya sebagai artis angkuh. “Salam kenal, Mbak.” “Salam kenal juga, Kak.” Setelahnya MUA itu beralih untuk memoles yang lain. Ishya menuju wardrobe untuk memakai busana yang perlu ia kenakan dalam adegan. Lima menit berlalu … Ishya ditemani Neha berjalan menuju lokasi, tepatnya set untuk scene pertama yaitu ruang tamu. “Kalian siap?!” Suara toa terdengar nyaring. Ishya yang tengah gugup, semakin gemetar. Terlebih Abinawa menatapnya dengan senyum sinis saat itu. ‘Astaga … jantungku ga aman.’ “Action!” seru Jun dari arah kanan set. Internal. Ruang keluarga. Di pagi hari. Dua buah keluarga berkumpul di ruang keluarga yang terlihat begitu megah. Tampak sepasang anak muda beserta kedua orang tua mereka. Suasana yang tercipta begitu renyah untuk para tetuah. Namun, tidak dengan kedua anak manusia yang usianya belum genap 20 tahun disana. Mereka hanya mendengar, tanpa mencampuri urusan orang tuanya. Sesekali anak gadis itu melirik dan melemparkan senyum, namun tidak demikian dengan anak laki-laki yang terus berwajah muram. “Kalian ini harusnya jalan-jalan,” ujar Ibu si anak lelaki. “Lebih baik kalian jalan, gih!” timpal Ibu dari anak gadis itu. Anak-anak itu pun menuruti ucapan orang tua dengan berlalu meninggalkan ruangan. Ishya dan Abinawa keluar dari frame untuk bersiap di set selanjutnya. Bersamaan dengan itu, suara Jun menggelegar sempurna. Deru nafas terhempas kasar setelah Ishya melewati scene pertama. Sungguh, berat. Padahal dalam adegan itu tidak ada interaksi yang berarti, namun tatapan Abinawa begitu mematikan. Eksternal. Kolam renang. Di pagi hari. Langkah kaki bergerak beriringan. Sepasang anak dewasa muda telah menunaikan keinginan orang tua mereka untuk jalan-jalan. Kini, hanya ada suara kicauan burung serta gemericik air kolam yang menyapa telinga. “Juno?” “Hmmm.” “Kamu benar-benar mau terima perjodohan ini?” “Entahlah,” “Belum terlambat kalau kamu menolak perjodohan kita.” Juno menatap mata gadis itu dengan perasaan yang tak bisa ditebak. Ia memang sosok yang dingin saat berhadapan dengan orang yang tidak dekat dengannya. Dan ya, Yuna adalah gadis yang manis. Namun, hatinya tidak disana untuk gadis itu. “Kita ini pernah satu sekolah, ‘kan?” “Hmmm.” “Dan kamu tahu kalau aku suka sama kamu?” Yuna terus mengoceh dan membuat telinga Juno panas mendengarnya. “Sudahlah. Aku ga mau bahas itu.” Juno pergi meninggalkan Yuna sendiri ditaman. Abinawa meninggalkan Ishya sendiri. Kamera masih bergerak, menyorot raut wajah wanita yang terlihat begitu sedih. Matanya hampir berkaca-kaca. “Cut! Good, Ishya!” Ishya memandang punggung Abinawa yang berlalu begitu saja. Matanya benar-benar mengembun. Padahal, adegan itu sudah berakhir. Dan pada kru tengah bersiap ke set selanjutnya. “Ishya ada apa?” tanya Neha yang masih melihat sang adik bergeming. “Ga tahu, Kak. Hati aku sakit.” Tiba-tiba saja air mata menetes. “Astaga, Ishya. Jangan di baperin. Ingat, ya, Shya. Ini cuma akting,” bisik Neha. “Ga tahu, Kak. Sosok Juno yang aku lihat, persis banget sama Abinawa yang angkuh dan dingin.” Wajah Ishya memelas, ia menghela nafas panjang setelahnya. Neha pun mengusap punggung adiknya. “Just enjoy it, okay?” “Hmmm.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN