Puberty

3980 Kata
2006 “Tian!” panggil Gilbert saat melihat Tian yang berjalan tak jauh dari tempatnya. Tak mendengar walau dipanggil berkali-kali, Tian tetap berjalan, ia bahkan tak sadar kalau ia sudah melewati kelasnya. Masih menunduk, berjalan dengan tatapan kosong. “Tian!” panggil Gilbert lagi sambil berlari, kepayahan karena tas ransel yang ia gendong terisi penuh bukan hanya buku pelajarannya. Tapi juga pakaian olahraga dan baju kaos sebagai ganti untuk berjaga-jaga kalau seragamnya kotor. “Woi! Pagi-pagi udah overthinking aja lo.” Tian terkejut saat Gilbert berhasil memecahkan lamunannya. Tian berhenti, namun menatap Gilbert dengan mata yang menyipit. Ia berusaha mencerna apa yang tersjadi. “Lo kelewatan.” Gilbert menunjuk kelas mereka dengan dagu yang terlewat beberapa langkah. “Aku mau ke kantin,” kilah Tian menutupi rasa malunya. “Gue temenin. Ntar lo nyasar lagi.” Gilbert menarik tali ransel Tian agar langkahnya lebih cepat karena jam masuk sekolah tinggal lima belas menit lagi.   “Terima kasih atas kepercayaan teman-teman kepada saya. Karena tanggung jawab yang besar, saya akan melaksanakan kewajiban saya sebagai ketua kelas. Dan juga saya meminta kepada teman-teman pengurus kelas maupun—“ “Langsung pada intinya aja, dong. Cuma jadi Ketua Kelas doang udah macam pidato penerimaan Presiden,” potong anak laki-laki botak di pojok bersebrangan dengan tempat duduk Tian. “Dasar preman kelas,” gumam Tian ketika melihat anak laki-laki yang mendapat dukungan dari teman-teman yang lain. Lengan seragamnya ia gulung sampai kelihatan ketiak hitam berbulu tebalnya. Bahkan baju seragam yang bagian bawahnya harus dimasukkan ke dalam celana, ia keluarkan seolah-olah tak ada yang berani menegurnya saat ia melanggar peraturan sekolah. Gilbert yang berdiri di depan kelas mulai terpojok. Namun ia tetap berusaha tenang untuk mengendalikan keadaan yang mulai kacau. Masa Orientasi Siswa sudah usai. Mereka sudah menggunakan seragam khas anak SMP yang seharusnya. Biru tua, simbol yang memilik makna kepercayaan diri dan mandiri. Time flies so fast, walau memalukan, Gilbert sambil berbisik melakukan pengakuan kepada Tian, “Tadi malam aku mimpi basah.” Tian menatap jijik, tapi Gilbert satu langkah lebih dulu menuju kedewasaan. Kemarin Tian memaksa batuk walau ia tak sakit atau ada dahak yang mengganjal. Ia baru sadar, suaranya belum seberat milik Gilbert. Setiap malam ia akan melakukan pemanasan dengan mengucapkan kata ‘A’ sepanjang napas yang ia bisa. “Hei little Branwyn! It’s twelve o’clock. You shut your mouth up or i will,” ancam Mr. Branwyn yang sudah muak. Dengan langkah tegas dan cepat naik ke lantai tiga rumahnya hanya untuk meminta Tian tidak bersuara lagi di atas jam sepuluh seperti yang ia lakukan setiap malam. “I can do it myself, Dad.” Tian yang duduk dipinggir ranjangnya langsung telentang di atas kasurnya. “Good.” Dengan tatapan yang masih kesal, Mr. Branwyn menutup pintu kamar Tian tak sekencang ia membuka pintu. “Gosh, when will you grow up?” gumam Mr. Branwyn. Sambil menatap langit-langit kamarnya yang bercat biru dengan pola awan jika di siang hari dan cahaya berbentuk bintang menyinari kamar gelapnya ketika ia hendak tidur di malam hari. “Belive me, Dad. Pertanyaan itu juga aku tanyakan ke diriku sendiri,” ucap Tian sebelum mengatup kedua kelopak matanya. Rupanya ia mendengar ocehan sang ayah. Tian menganggap hanya suaranya yang masih melengking. Bahkan suara anak-anak perempuan di kelasnya lebih berat darinya. Hanya tinggi badannya yang berubah, membuat dia lebih banyak diam. Bahkan setiap pagi, ia selalu mengecek kasur dan celana tidurnya. Apakah basah atau tidak, sesuai cerita pengalaman Gilbert. “Sebagai tugas pertama, saya akan sampaikan amanah dari Pak Sulaiman sebagai guru PJOK kita, untuk segera mengganti pakaian karena lima menit lagi kita sudah harus kunpul di lapangan. Cepat.” Gilbert menepuk tangannya mengikuti kepanikan para siswa. “Gara-gara kamu yang banyak omong, sih,” ucap anak laki-laki botak yang terus memprotesnya sejak tadi sambil membuka seragam putihnya. Gilbert hanya menatapnya sambil tersenyum miring. “Empat menit lagi.” “Akh! Jangan buka baju di sini, dong,” pekik anak perempuan yang duduk di depannya. “Seharusnya aku yang bilang begitu. Anak perempuan ganti baju di kamar mandi sana. Atau mau ganti baju bareng aja di sini?” godanya. “Dasar m***m! Kalian yang keluar! Kalian laki-laki, bisa ganti baju dimana aja.” “Tiga menit lagi!” pekik Gilbert melerai perdebatan sambil berjalan menuju tempat duduknya. Tian juga sama bergegasnya dengan yang lain. Ia membuka seragam putih dan meninggalkan kaos putih sebagai dalaman. “Hurry up, Teddy Bear.” Gilbert dengan santai menepuk-nepuk perut buncit Tian. “Kamu juga cepat ganti baju.” “Tenang.” Dengan wajah sumringah Gilbert membuka beberapa kancing atasnya memamerkan seragam olahraga yang sudah ia lapisi dengan seragam putih dari rumah bak Superman atau Spider-Man yang hendak berganti kostum. Tian menatapnya takjub. Apakah seperti ini cara berpikir orang dewasa? Batinnya. Sama sekali tidak terpikirkan oleh Tian. “Nggak panas?” tanya Tian yang sudah selesai mengganti baju. “Olahraga, kan jam pelajaran kedua. Masih pagi, gue juga bukan orang yang gampang kepanasan.”   “Wah, maaf Bapak terlambat. Tadi ada urusan dengan guru lain. Gilbert sudah sampaikan ke kalian, kan?” Laki-laki pendek berotot dengan kumis tebal mirip Pak Raden salah satu karakter di program edukasi Si Unyil berlari tergopoh-gopoh menuju lapangan lompat jauh. Ia melihat jam tangannya, tersenyum karena merasa bersalah pada siswa barunya yang sudah menunggunya selama hampir dua puluh menit. Ia membalas anggukan Gilbert yang tersenyum puas. Tak mau membuat para siswa terlalu lama menunggu lagi, ia mempercepat larinya sampai celana training parasut yang tampak longgar berkibar setiap ia berlari. “Kemarin siapa yang pilih Gilbert jadi ketua kelas, sih? Mana orangnya, biar kupukul sampai babak belur,” bisik siswa laki-laki sambil menghalau sinar matahari dengan punggung tangan agar tak menerpa wajah kotaknya. “Bukannya kamu yang nyebut nama dia waktu Kak Arkana minta siapa aja kandidatnya?” “Menyesal tahu, nggak? Aku pilih Gilbert karena dengan keren dia bela Tian kemarin.” “Gilbert memang keren, kan?” bela anak perempuan berhijab putih yang duduk di samping mereka mendapat tatapan sinis dari anak laki-laki yang mendengarnya termasuk Tian. “Materi pertama kita adalah praktek lompat jauh.” Pak Sulaiman menujuk bak pasir yang dimodifikasi sedemikian rupa agar mirip dengan lapangan lompat jauh yang biasa dipakai oleh para atlet. Seorang anak perempuan yang duduk di paling depan mengangkat tangannya, hendak menginterupsi. “Maaf, Pak. Saya boleh izin? Hari ini hari pertama saya mens. Lagi deras-derasnya, takut bocor.” “Oke. Saya izinkan. Ada lagi?” Tak ada yang meminta izin lagi, Pak Sulaiman melakukan demo lompat jauh untuk mencontohkan para murid barunya setelah mereka melakukan pemanasan bersama. “Wah, keren banget!” ucap para gadis setelah melihat Gilbert melompat dengan jarak yang jauh. Tubuhnya tak terlalu kurus dan tak terlalu gemuk membuat kedua kaki panjangnya mudah untuk mengangkat tubuhnya dan mendarat dengan selamat di angka tiga meter empat puluh senti. Angka terjauh sejauh ini. “Sebastian Albus Br... Brenwain,” ucap Pak Sulaiman memanggil siswa selanjutnya secara acak. “Branwyn. Bran-win. Nggak ada yang benar panggil nama gue,” gumam Tian menirukan cara bicara Gilbert. “Good luck, Taddy Bear,” tukas Gilbert sambil menepuk perut buncit Tian saat berpapasan. Tian hanya tersenyum kecut, “Ya. Seperti kamu, kan. Keberuntungan setahun sekalimu sudah kamu pakai barusan,” sindirnya. Gilbert tak bisa membalas ucapan Tian karena mulutnya sibuk mengeluarkan udara yang hirup melalui hidung yang tidak terlalu mancungnya. “Oke, dalam keadaan siap,” pinta Pak Sulaiman dan diikuti oleh Tian. Priiit! Peluit tanda mulai sudah ditiup. Sepatu hitam tanpa tali berukuran empat puluh mulai berlari mengikuti perintah dari otak di kepala Tian. Mereka menurut, namun beban yang ditanggung terlalu berat. Hingga, baru melangkah beberapa kali dan belum sempat melompat, sol sepatu mahal Tian yang baru ia beli dua bulan lalu menganga, bak hewan yang hendak diberi makan. Fokus Tian teralihkan. Ia merasa menginjak sesuatu yang tajam. Batu kerikil yang menyasar dari kawanannya yang ditumpuk bersama pasir putih di kejauhan belasan meter di sebelah kanan Tian. “Akh!” rintihnya ketika ia melompat. Tak seperti Gilbert dan kawan-kawan sebelumnya yang mendarat dengan kedua kaki secara bersamaan, kaki kanan Tian yang solnya lepas lebih dulu mendarat di pasir putih yang terdapat banyak bekas jejak sepasang sepatu para murid,  kecuali Tian. Hanya sepatu kirinya yang terjiplak di atas pasir. Sedangkan sepatu kanannya, sudah diberi makan dengan dan kenyang setelah disuapi pasir putih yang masuk. Gubrak! Suara yang keras seperti di atas ubin, padahal Tian terjatuh di atas pasir, membuat buliran pasir yang ditindih tubuhnya terbang ke angkasa. Beberapa siswa di sekitar kotak pasir dengan refleks cepat menyingkir agar tidak menempel di wajah atau secara tidak sengaha masuk ke dalam mulut mereka. Seperti penampakan Tian. Wajah bagian kanannya menjadi putih dilapisi pasir dan beberapa masuk ke dalam mulutnya. Ia tak bisa membuka mata, takut akan lebih banyak lagi yang masuk ke dalam kelopaknya. “Tian!” pekik Pak Sulaiman dan Gilbert kompak sambil berlari menuju tubuh tambun yang tak berdaya untuk berdiri. Tian menyembur beberapa pasir dari mulutnya ketika ia sudah didudukkan. Saat kejadian itu terjadi, tidak ada yang berani tertawa. Namun, berbeda ketika mereka telah usai pelajaran PJOK. Para siswa hanya tidak mau dimarahi Pak Sulaiman karena menertawakan teman sekelas mereka yang cidera. Kaki kanan Tian terkilir akibat menginjak kerikil, mendarat dengan posisi yang salah ditambah ia harus menahan bobot tujuh puluh dua kilo Tian. “Glo sakit, sekarang lo lagi yang sakit. Terus teman gue nanti siapa?” ucap Gilbert sambil membuka baju olahraganya yang basah karena keringat. “Teman? Kamu sama Glo cuma kenal satu hari kamu bilang kalian berteman?” ujar Tian sinis sambil mengelus pundak kanannya yang terasa ngilu. Gilbert hanya tertawa, ia tak merasa tersinggung. Menurutnya itu sangat lucu, kecemburuan Tian terlalu tampak. Namun, jika ia ditanya apa ia menyukai Glo, jawabannya selalu sama. “Jangan konyol. Kamu tahu? Dia itu lebih jantan daripada kita. Jadi kalau aku pacaran sama dia, orang-orang bakal bingung. Mana yang cowok, mana yang ceweknya.” “Glo kan sudah mens. Itu artinya, dia sudah jadi perempuan dewasa,” ucap Gilbert sambil membenarkan kaos kaki yang menurun dengan memijakkan sepatu hitamnya ke atas bangku bergantian. Tian mengalihkan wajahnya. Sudah lama Tian memandang Glo sebagai wanita, bukan cewek tomboy yang menjadi sahabatnya sejak SD. Dan untuk kehebohan kemarin, Glo mengalami kram di pinggul selama beberapa hari kebelakang karena proses alami normal bagi wanita yang mendapatkan haid pertama dalam hidupnya. Tian tak tahu jika akan sesakit itu. Ia memang tidak pernah tahu sakit haid itu seperti apa. Yang ia tahu, para perempuan akan merasakannya rutin setiap bulan. Kemarin, saat pulang sekolah Tian langsung meminta ibunya untuk menjenguk Glo yang dibawa pulang. Lega mendengar penjelasan sang ibu bahwa itu normal dan akan terjadi pada beberapa anak gadis, Tian berterima kasih begitu banyak dan bertanya berkali-kali apakah Glo akan bak-baik saja. “Mamah dulu juga begitu, Sayang. Tubuh Glo cuma kaget, jadi dia bereaksi berlebihan. Nanti bulan selanjutnya dan seterusnya dia akan terbiasa dan nggak terasa sakit seperti pertama kali dia haid. Kalau kamu khawatir kenapa nggak kamu sendiri yang jenguk?” ucap Mrs. Branwyn sambil mengelus pipi sang putera yang tingginya setara denganya. Tian menunduk. Ia tak mau menemui Glo. Mau taruh dimana wajah lebarnya kalau Glo bertanya tentang kejadian kemarin? Kenapa Arkana yang membopongnya, bukan dirinya? “Besok di sekolah kita bakal ketemu, kok, Mah.” “Glo bakal absen beberapa hari. Kamu temani dia, ya selama di rumah. Ingat, dulu waktu kamu masuk rumah sakit, siapa yang jenguk kamu setiap hari?” “Kamu mau ikut jenguk?” tanya Tian kepada Gilbert yag sudah duduk manis membuka buku pelajaran Sejarah yang akan dipelajari berikutnya. “Gue? Lo bilang gue bukan teman Glo. Lo, kan yang ‘sahabatnya’ Glo?” ucap Gilbert sambil membuat tanda kutip menggunakan jari telunjuk dan tengahnya. Tian hanya menatap Gilbert memelas. Berharap temannya akan merasa iba dan mengajaknya untuk menjenguk Glo walau ia hanya menemaninya sampai di depan pintu rumahnya. Baru kali ini hati Tian merasa ciut. “Lo harus datang jenguk Glo hari ini juga. Sebelum lo kesalip sama Kak Arkana. Lo tahu nggak, Kak Arkana jenguk Glo setiap dia pulang sekolah?” Mata Tian terbelalak tak percaya. Ia merasa beruntung punya teman yang serba tahu walau terkadang Gilbert bertingkah sok tahu, dan banyak bicara. Hal yang berbanding terbalik dengannya. Tian bergegas memakaikan tali ranselnya ke bahu kiri., lalu berdiri tegap seolah-olah tidak ada rasa sakit di tubuhnya. “Kamu benar. Aku harus jenguk sekarang,” ucap Tian dengan penuh percaya diri membuat Gilbert heran. “Gue bilang hari ini, bukan sekarang. Tian, sebentar lagi jam istirahat habis. Jangan macam-macam,” tegur Gilbert yang menarik tali tas Tian berusaha agar ia kembali duduk. Namun, rasa percaya diri dan keberanian Tian sudah bulat, sebulat bentuk perut dan pipinya. “Kamu temanku, kan?” “Iya. kita kan ketemu setiap hari,” jawab Gilbert yang kini menarik tas ransel Tian dengan kedua tangan. “Kamu juga Ketua Kelas. Jadi, izinkan aku di jam pelajaran berikutnya, ya.” Tak peduli Gilbert menjabarkan hukuman apa yang akan Tian terima jika ia masih nekat untuk bolos, Tian tetap terus berjalan. Ia mengendap-endap ke dinding-dinding atau hiasan taman yang besar agar tubuhnya tak terlihat oleh Satpam sekolah yang asik menonton TV. --- 2022 Tian masih menggeser-geser layar tablet bergambar apel digigit silver di bagian belakang miliknya. Ia duduk di salah satu kursi untuk empat orang dengan meja kotak dan satu cup Caffe Americano di atasnya, salah satu menu favorit Tian di Starbucks. Tian berpakaian rapi. Kemeja biru muda ia masukkan ke dalam jeans cokelat terang dengan gesper cokelat yang lebih tua. Rambutnya ia sisir dan diberi gel rambut membuatnya kelimis dan mengkilap. Jam tangan rantai bermerk berwarna perak memperindah lengan yang telanjang sampai kesiku karena Tian lebih suka jika lengan bajunya digulung. Ia membuka tanggal digital di tablet. Tanggal lima bulan Februari, awal bulan. Apa dia kesakitan? Batinnya. “Hai. Sendirian aja. Kursi yang lain penuh, boleh duduk di sini?” sapa wanita berambut tebal pelangi, wajah tirus oval dengan gigi kelinci rok warna-warni pendek membawa cup gelas penuh kopi jenis Frappuccino yang tak Tian ketahui. “Disini juga penuh,” ucap Tian singkat sambil kembali mengalihkan pandangannya ke tablet. “Oh, lagi nunggu orang, ya?” “Ibu sudah tahu, kan? Kenapa malah duduk di sini?” “Ibu? Enak aja,” ucap gadis berkulit eksotis yang bangkit dari duduknya. “Kalau mau panggil saya Bapak, saya nggak masalah.” Tian menunjukkan benda pipih bulat perak yang melingkar di jari manis kanannya. Wanita itu urung melanjutkan omelannya. Ia merasa bersalah, hendak menggoda suami orang yang kemungkinan memiliki anak laki-laki yang baru berumur empat tahun. “So, good bye,” ucap Tian sambil menunjuk meja lain yang kosong dengan dagunya. Dengan wajah cemberut, wanita itu mengambil tas tangannya dan melangkah kesal. Terdengar dari ketukan heels-nya yang terdengar keras. “Cewek secantik itu lo tolak?” tanya pria ber-hoodie putih dengan warna hitam di bagian topi dan garis panjang di lengannya. Jeans hitam dengan sneakers hitam-putih membuatnya tak terlihat seperti pria yang akan berumur dua puluh delapan tahun. Tian tersenyum, meletakkan tabletnya dan bangkit dari duduknya. “Gilbert! Hello, Mate.” Tian memeluk Gilbert. “Tumben lo mau peluk gue. Waktu kita pisah dulu, lo paling anti sama yang namanya hug-hug-an,” ucap Gilbert heran namun tetap membalas pelukannya. “Nggak lama-lama, kok. Jijik,” tukas Tian sambil menarik lagi kedua lengannya dengan kasar dan tersenyum. “Masih jahat aja, lo.” Mereka berdua tertawa sesaat. “Duduk. Lo nggak mau pesan minum?” tawar Tian sambil menyeruput es kopi miliknya. “Hmmm...” Gilbert menatap sekeliling. Menimbang-nimbang sesuatu. “Kapan-kapan aja, deh. Acara fan meeting-nya sebentar lagi. Padahal gue mau nyobain, sih kopi traktiran bos muda,” goda Gilbert. “Apaan, sih. Lebay banget lo.” “Wah, baru berapa hari di Jakarta udnag ngomong lo-gue aja. Lo emang cocok jadi pria ibu kota tahu nggak.” “Kamu yang nggak cocok, kan.” Gilbert menatap Tian sesaat. “Kita ngomong pakai lo-gue aja jangan aku-kamu...” “Jijik,” ucap mereka berbarengan sambil tertawa. “Suara lo makin berat aja Broder,” ucap Gilbert setelah hening beberapa saat. “Cara gue manjur, kan?” Gilbert menaikkan kedua alisnya dengan tatapan pria yang sedang menggoda wanita cantik berparas campuran di depannya. “Gue nggak butuh pancingan. Suara gue berat secara alami,” balas Tian. “Hmmm...” sanggah Gilbert yang tak percaya. “Lo pasti ketagihan, kan? Pasti lo habis baca online di Tab lo, kan?” “Apaan, sih. Nggak! Gue bukan cowok m***m kayak lo.” Tian membela dirinya sendiri. Ia merampas kembali barnag pipih miliknya dari tangan Gilbert yang penasaran. 2007 “Sudah mau ujian kenaikan kelas delapan, nih.” Gilbert mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan. “Hmmm... terus?” balas Tian datar. “Lo belum mimpi basah juga?” tanya Gilbert tiba-tiba membuat Tian ingin memuntahkan kembali air yang ada di dalam mulutnya. “Tuh, lihat anak kurus yang duduk di paling depan itu,” tunjuk Gilbert kepada laki-laki yang hanya terlihat tulangnya dari belakang. Ia pendek, berkacamata tebal dan tak pernah lepas dari buku pelajaran. “Dia udah mimpi basah bulan lalu. Gila, ya. Gue yakin, selama ini dia bukan baca novel atau buku pelajaran,” terka Gilbert. “Terus menurut lo buku apa?” Gilbert menyenggol Tian dengan siku. “Lo tahu, lah. Buku biologi.” “Gue pikir, cuma orang-orang yang berpikiran m***m kayak lo yang cepat mimpi basahnya,” ucap Tian ketus sambil kembali membuka buku catatannya. “Tunggu-tunggu. Oh My God. Tian, lo punya jerawat di atas alis lo, tuh.” Tian dengan refleks meraba bagian alisnya, dan benar saja ada benjolan yang menyembul samar di balik alis tebalnya. Ia tersenyum di balik telapak tangan yang menutupi setengah wajahnya. Gilbert membuka resleting tas, lalu mengambil buku paket pelajaran IPA tebal. Lalu memberikannya kepada Tian. “Nih, pancingan supaya bisa mempercepat pubertas lo.” “Punya anak SMA. Lo ngapain kasih ke gue?” “Ini punya kakak gue. Dia kan sudah lulus tahun kemarin, jadi dia warisin ini ke gue.” “Nanti aja kalau kita lulus, masih lama tahu nggak. Itu pun kalau lo lulus.” Gilbert menggeleng kepala karena kawannya yang tak kunjung mengerti. “Bukan masalah isi pelajarannya. Ada isi lain yang lebih penting. Buka dulu, nih.” Mulut Tian menganga, ia lebih tak percaya dengan apa yang kawannya tawarkan padanya. Sekilas ia berpikir kalau ia berada di lingkaran pertemanan yang salah. Ia salah pergaulan. Ia melirik Gilbert yang memasang wajah bangga perlahan. Lalu kembali pada sebuah buku yang lebih kecil bertuliskan ‘Playboy’ di cover majalah tebal dengan gambar wanita yang hanya menggunakan bikini hitam. Gadis cantik yang tersenyum dengan pose yang v****r. “Gara-gara pancingan dari gue ini, anak  kelas sebelah sudah—“ “Ibu datang sebelum bel masuk kelas nggak apa-apa, kan?” Suara wanita awal tiga puluhan masuk membawa beberapa buku tugas dari kelas sebelah membuat Tian dan Gilbert panik. Mereka segera menutup kembali buku IPA kelas X yang diwariskan ke Gilbert dengan kasar sampai menimbulkan kegaduhan. Tian yang hendak meletakkannya ke laci meja ditarik kembali oleh Gilbert. “Jangan masukkan ke laci!” “Ketua kelas?” panggil wanita yang menggunakan kacamata plus mencari-cari anak yang ia pikir belum masuk ke kelas. Mereka masih bingung hendak meletakkan dimana barang kejahatan mereka. Tian sampai membuka resleting tas anak perempuan di depannya, hendak memasukkannya ke dalam tas yang pemilknya baru datang dari kantin. “Gila, lo! Masukkan ke tas lo sendiri,” tegur Gilbert sambil memukul lengan Tian. “Ketua kelas? Belum masuk kelas?” “Hadir, Bu.” Gilbert berdiri tegap setelah ia memastikan Tian sudah memasukkan buku ‘Warisannya’ ke dalam ransel Tian.   “Kita belajar untuk ujian Matematika di rumah kamu aja, ya Tian? Soalnya kamar kamu ada AC-nya,” pinta Glo. “Setuju,” sahut Gilbert. “Kamar kamu, kan juga ada AC-nya,” tuntut Tian sambil menatap Gilbert. “Jarang main ke rumah kamu.” Gilbert disusul Glo berlari lebih dulu meninggalkan Tian yang tak sanggup menyusul mereka. “Jarang apanya? Hampir setiap hari kalian buat rusuh di rumah,” gumamnya. Mereka bertiga berjalan menuju gerbang masuk sekolah, ikut menunggu jemputan Tian yang menggunakan mobil mewah pada zamannya. Di kamar Tian, Glo dan Gilbert tak langsung mengeluarkan buku tugas. Mereka asik berbaring meregangkan tubuh sambil menunggu Tian yang menyiapkan meja bulat untuk mereka belajar. “Camilannya mana, Tian?” tanya Gilbert. “Kalian mau belajar atau minta makan, sih?” Tian yang masih ngos-ngosan habis mengangkat meja dari lantai satu kesal melihat kedua temannya yang tak membantu. “Ciki Chuba. Jangan lupa.” Glo mengingatkan. Dengan malas Tian kembali turun menuju lantai satu untuk merampok isi kulkasnya. “Buku sketsa Tian yang baru mana, ya?” tanya Glo sambil menelusuri rak buku tinggi milik Tian yang berisi banyak jenis buku. Buku pelajaran, novel misteri dan komik. Buku sketsa menjadi buku wajib yang Glo lihat setiap ia mampir ke rumah mewah keluarga Branwyn. “Mungkin di dalam tasnya,” sahut Gilbert sambil merapikan taplak meja di meja bundar berbahan kayu yang compang-camping. Menurut, Glo megikuti saran Gilbert. Ia berjalan senang menuju tas ransel hitam Tian yang tergeletak di bawah ubin putih samping ranjangnya. Ia membuka resletingnya, lalu mengacak-acak buku yang bertumpuk di dalamnya. Tak kunjung ketemu, Glo tidak menyerah. Ia keluarkan satu per satu isi tas yang banyak, menumpuknya sambil memperhatikan setiap judul buku yang ia pangku. “Seni Budaya, Fisika, IPS...” gumamnya. “Hah? IPA kelas satu SMA?” Glo menjunjung tinggi buku tebal yang ada ditangannya, membukanya, lalu terjatuhlah buku lain yang diselipkan di dalam buku. “Glo, Tungg—“ Gilbert belum menyelesaikan kalimatnya. Mata Glo terbelalak ketika memungut majalah yang jatuh di dekat kakinya. Mulutnya menganga, tak tahu harus bereaksi apa. Ia pegang pinggir majalah dan perlahan menatap Gilbert yang mematung dengan tangan kanan yang menjulur ke depan, bermaksud menghentikan Glo namun terlambat. Mereka berdua sama-sama saling tatap, mematung. Sampai suara pintu terbuka terdengar. Di ambang pintu, Tian melepehkan sudut bungkus Ciki Chuba yang tak muat di tangannya. Kedua tangannya penuh memegang nampan besar berisi tiga gelas kaca dengan teko berisi jus jeruk dingin yang dibuat Mrs. Branwyn. Kini, mereka bertiga saling bertatapan, mematung. “Kalian, dasar m***m!” Akhirnya Glo bisa mengeluarkan suara yang dari tadi tercekat di tenggorokannya. Glo berlari menuju Gilbert yang juga berlari menghindari Glo. Ia memukul-mukul pundak Gilbert menggunakan majalah ‘haram’ itu. Tian yang menutup pintu, berpikir ia bisa lolos. Namun, Gilbert tak mau menderita sendiri. Ia buka pintu lalu menarik kerah seragam Tian masuk ke dalam.   Pagi-pagi Gilbert sudah berkeringat. Ia berlari dari gerbang menuju mejanya yang paling belakang. Di sana sudah ada Tian yang duduk melamun, menatap kosong lurus ke depan. “Tian, nyalin PR, dong. Gue lupa, nih.” Dengan tergesa Gilbert meletakkan ransel dan menhambur bukunya. “Tian lo dengar nggak, sih? Kebiasaan pagi-pagi melamun aja lo.” “Bert,” panggil Tian. “Apa? Ambil aja di tas lo? Oke, terima kasih.” Gilbert membuka resleting Tian yang terapir antara punggung dan sandaran bangku kayu. “Gue udah mimpi basah,” ucap Tian tiba-tiba membuat Gilbert tersedak ludahnya sendiri. Gilbert yang tadi terburu-buru hendak mengerjakan PR, kini tak peduli lagi. Ia tutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan kanannya. Ia terkejut akan dua hal. Fakta bahwa Tian sudah mimpi basah, dan suara Tian yang berubah. “Akhirnya, keberuntungan setahun sekali lo kepakai,” ucap Gilbert yang tak diberi tanggapan. “Gimana? Pancingan gue manjur, kan? Siapa ceweknya? Mbak-mbak di majalah atau... jangan-jangan Gl—“ Tian menutup mulut Gilbert sebelum ia melanjutkan kalimatnya. “Gara-gara lo Glo nggak mau ngomong sama gue tiga hari tahu nggak?” ucap Tian sambil memukul kepala Gilbert dengan buku catatan yang tercecer di atas meja Gilbert. “Dia pikir gue cowok m***m gara-gara lo.” Tak mengaduh kesakitan atau menghindar, Gilbert hanya tertawa, menatap Tian beberapa kali berharap ia menceritakan petualangan liar di mimpinya tadi malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN