2022
Glo menyisir rambut panjang gelombang yang baru ia warnai pirang dibagian tengah ke ujung yang sudah menyentuh pinggang. Bekas jerawat yang susah payah Glo hilangkan sudah tertutup sempurna dengan foundation dan bedak tabur. Namun, beberapa kali Glo tetap memeriksa riasan dan poni tipisnya di cermin kamar.
Jam tiga sore, namun Glo menghidupkan semua penerangan yang ada di ruang apartemennya. Ia sudah memperkirakan, mungkin ia akan kembali pulang lepas magrib.
Drrrttt...
“Hei. Udah di bawah, ya? Oke, dalam perjalanan,” ucap Glo sebagai sambutan sekaligus penutupan tanpa menunggu respon dari si penelpon.
Glo menarik jaket bomber cokelat tua yang dibentangkan di atas sofa sembari berlari. Ia raih sepatu hitam bercorak emas dengan heels tiga senti. Di dekat pintu, terdapat cermin besar yang bisa memantulkan bayangan satu tubuh manusia. Sengaja, agar Glo bisa sekali lagi memeriksa penampilannya sebelum ia keluar rumah.
Kemeja biru dongker yang bagian ujung bawahnya di selipkan ke celana kulot hitam panjang memamerkan kaki panjangnya. Sekali lagi ia memeriksa dari ujung kepala, riasan, bagian dalam mulut sampai sepatu yang berbunyi ‘tuk’ saat ia bergantian mengangkat kakinya.
“Ready,” ucapnya sambil tersenyum, lalu ia benar-benar keluar apartemennya.
Bak model yang sedang memeragakan busana, Glo berjalan dengan wajah datar, catwalk, memesona dan anggun. Ia menuruni anak tangga di depan pintu masuk dengan hati-hati, lalu berjalan menuju mobil Toyota Fortuner hitam lalu membuka pintu penumpang bagian depan, membuat pria yang duduk di kursi pengemudi terkejut, hampir melayangkan ponsel mahal di tangannya.
“God,” gumam pria berpakaian santai dengan sepatu kets hitamnya lalu menurunkan rem tangan.
---
“Permisi, Mas. Mau tanya. Ruangan pasien atas nama Yosia Anggraini ada dimana, ya?” tanya Glo saat baru tiba di bagian Nurses Station.
Laki-laki muda berpakaian serba putih yang menjadi narasumber Glo hanya mematung menatap balik Glo sambil memeluk papan scanner berbahan kayu. Lama menunggu, Glo menjentikkan jarinya.
“Halo, Mas. Are you there?”
Laki-laki berwajah oriental dengan rambut cepak tak terlalu tebal yang tingginya lebih pendek dari Glo itu mengerjapkan mata sipit hitamnya, baru sadar dari lamunannya.
“Oh... Iya, Mbak. Nanti terus aja, belok kanan, nomor dua puluh tiga ruangan Mawar.”
“Terima kasih,” ucap Glo hendak pergi.
“Oh, Mbak. Saya... sa... saya...”
“Iya?” Glo menghentikan langkahnya.
“Bisa minta nomor w******p-nya?” ucap Pria bernama Haikal itu sambil menyerahkan papan yang daritadi ia peluk lengkap beserta pena hitam yang selalu tersemat di saku bajunya.
Glo tertawa tak percaya. “Mas tahu siapa yang mau saya jenguk?” tanya Glo sambil memasukkan tangan kanannya ke saku celana sedangkan tangan lain sibuk memeluk keranjang buah besar.
“Pasien atas nama Yosia Anggraini,” jawab Haikal yakin.
Glo tersenyum. “Dia kakak ipar saya.” Glo menarik lagi tangan kanannya dan menampakkan jemari panjangnya. Ia memamerkan jari manis yang dilingkari cicin emas dengan berlian putih berbentuk bulat.
Pria itu memeluk lagi papan miliknya. Urung bertindak lebih jauh. Ia lupa, kebanyakan wanita cantik yang pernah ia temui rata-rata mereka sudah menikah.
Sesuai instruksi, Glo akhirnya menemukan papan nama yang bertuliskan nama Yosia di samping pintu masuk. Ia mengetuk dua kali, lalu masuk dengan sendirinya.
“Hai, Gilrs!” sapa Glo saat baru memasuki ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan.
Ruangan diisi dua gadis berwajah sama, sama-sama berkulit eksotis, berambut keriting yang mengembang, bertubuh kurus dengan bibir tebal, hanya baju yang membedakan mereka. Satu orang duduk di atas ranjang, berseragam pasien rumah sakit, bibir pucat dengan selang infus tertancap di punggung tangan kirinya, sudah pasti sang pasien. Satu lagi, atasan crop top merah muda dengan celana kulot loreng berbahan nilon sedang duduk di kursi samping pasien. Mereka sedang menonton televisi ketika mereka menoleh ke sumber suara yang mengejutkan mereka.
“Glo?”
“Masih kompak aja kalian,” ucap Glo takjub ketika mereka menjawab kompak.
Tanpa diminta, Glo menarik kursi dari ranjang sebrang yang kosong, lalu duduk di samping Yosa. Wajah sumringah Yosa menatap Glo sangat tampak. Ia tersenyum sambil memberikan Glo minuman kaleng soda yang ia simpan di kabinet di belakangnya.
“Kamu tahu darimana kalau aku di sini, Glo?” tanya Yosia yang terbaring lemah.
“Kak Keen,” jawab Glo singkat sambil menatap Yosia prihatin.
“Kamu kesini sendiri?” tanya Yosa.
“Oh, ini. Titipan dari Kak Keen,” ucap Glo sambil memberikan oleh-oleh yang ia bawa kepada Yosa.
“Keen? Masih hidup aja, tuh orang?” ucap Yosia ketus.
“Masih. Kemarin dia masih masuk kerja, kok,” jawab Glo.
“Glo,” tegur Yosa.
“Kalau kamu sama Keen aku ikhlas, kok, Glo,” ucap Yosia sambil perlahan-lahan menegakkan punggungnya.
“Maksudnya?” tanya Glo tak mengerti ketika ia diserang tiba-tiba.
Lama tak menjawab, Yosia menatap Glo dengan tatapan redup. “Aku tahu kalau kamu salah satu dari perempuan-perempuan itu. Tapi kamu tenang aja, Glo. Aku nggak bisa marah karena kamu temanku.”
“Yo,” panggil Glo.
“Iya?” sahut kedua gadis di hadapannya, kompak.
“Yosia,” ralat Glo menunjuk pasien. “Aku dan Keen nggak ada hubungan apa-apa dan sama sekali aku nggak kepikiran buat sama dia. Keen itu pacar kamu,” ucap Glo menekankan kata ‘sama sekali’.
Yosia menarik napas panjang. “Waktu kalian di kondangan kemarin, kalian cocok banget.”
Mata Glo menyipit, alisnya bertaut karena keningnya yang mengkerut. “Kita datang ke acara client kita, as a partner.
“Partner makan siang?”
“Sebagai Sekretaris. That’s it.”
“Keen punya Sekretaris sendiri. Tapi nggak masalah, sih. Keen bukan pacar aku lagi sebelum pernikahan itu.”
“Aku datang untuk mewakilkan Tian.”
“Oh, ya? Kenapa Tian nggak tahu kalau kalian bakal datang?”
Kening Glo semakin berkerut. “Kamu bicara sama Tian?” tanya Glo terkejut.
Yosia mengangguk tanpa mengetahui betapa kesalnya hati Glo mengetahui jawaban yang ia lontarkan, “Sudah hampir satu bulan ini kita saling berhubungan.”
Senyum Glo direnggut amarah. “Did he say something?” tanya Glo dengan nada yang nyaris tak terdengar.
Yosia kembali mengangguk. “Dia minta aku untuk luangkan waktu bulan depan,” ucapnya sambil tersenyum.
Tatapan selidik Glo semakin menajam. “Tanggal berapa?”
“Tanggal empat belas.” Glo menelan jawaban Yosia yang sudah ia duga.
“Dan kamu jawab apa?” tanya Glo hati-hati.
“Yes,” ucap Yosia lebih sumringah bak ia menjawab lamaran dari seorang pria.
“Itu alasannya kenapa kamu bilang kalau aku boleh sama Kak Keen?” tanya Glo dengan senyum sinis.
“Gimana rasanya kalau punya kamu diambil teman kamu sendiri?” tanya Yosia tak kalah sinis.
“Punya aku? He’s free. Dan kamu sendiri yang bilang kalau kamu dan Keen udah putus lebih dulu sebelum acara pernikahan itu. Itu artinya dia juga free. Jadi aku nggak ambil punya siapa-siapa.”
“Aku bisa jauhi Tian kalau kamu juga jauhi Keen,” pinta Yosia tiba-tiba.
Glo menatap nanar. “Kamu temanku. Tapi Keen juga temanku. Apalagi dia yang gantiin Tian kalau Tian nggak ada.”
“Atau mentang-mentang aku dan Keen udah putus, kamu dekati dia lagi karena dulu kamu pernah suka Keen, kan?”
“Guys, tolong berhenti.” Yosa yang daritadi menyimak mulai ketar-ketir. Takut perdebatan saudara dan sahabatnya berkembang menjadi perkelahian. Namun, usahanya gagal. Tak ada yang mau mendengar.
“Oke. Kamu duluan yang nyinggung tentang masa lalu.” Glo tak mau kalah. “kamu tahu dulu aku suka Keen, tapi kamu malah pacaran sama dia? Jadi di sini siapa yang ambil punya siapa? Dan kamu kira aku nggak tahu kalau kamu suka sama Tian dari dulu.”
“Kenapa? Kamu juga suka Tian?”
Tak ada jawaban dari Glo.
“Kalian cuma sahabatan. Tian bukan sahabat buat aku. Dari dulu aku nggak pernah anggap dia sahabat. Jadi memang aku akui kalau aku nggak pernah dekati dia dengan kedok persahabatan.”
“Tian juga bukan sekedar sahabat. He’s more. Dia udah jadi bagian dalam hidup aku,” tukas Glo, dingin.
“So?” tanya Yosia dengan nada menantang.
“So, kamu pikir Tian itu orang yang mudah?”
Yosia mengangguk ragu. “Iya. Dia memang orang yang mudah. Yang sulit itu sahabatnya. Saya.” Glo menunjuk dirinya sendiri.
Yosia masih terdiam, menunggu penjelasan Glo.
“Kamu nggak tahu seberapa besar peran saya di kehidupan Tian, kan? Dia nggak bakal jadi seperti saat ini kalau waktu itu aku bilang ‘Tidak’.”
“Jangan merasa yang paling hebat, deh.”
Glo tesenyum lebar. “I know everything about him. Kamu bahkan nggak tahu tanggal empat belas Februari itu hari apa, kan?”
“Of course. It’s Valentine’s day.”
Glo tertawa, membuat saudara kembar di hadapannya menatap Glo bingung, apa yang lucu dari kalimat Yosia. “Tian itu orang yang anti-romantic.”
“Lalu, hari apa itu?” tanya Yosia penasaran.
Menjawab dengan senyuman, Glo mengambil tas hitam dengan ornamen berwarna emas miliknya, lalu bangkit dari duduknya.
“Sudah aku bilang. Aku lebih tahu tentang Tian daripada kamu, atau kalian berdua. Sudah waktunya pergi. Jemputanku udah sampai.”
Yosa juga ikut bangkit, hendak mengantar Glo sampai pintu masuk.
“Aku bisa sendiri.”
“Hati-hati, ya, Glo. Terima kasih sudah mau jenguk. Kamu dijemput sama siapa?” tanya Yosa.
“Kalian nggak perlu tahu. Bukan siapa-siapa, kok. Orang ini nggak bakal bisa buat Tian marah. Jadi, nggak perlu dilaporkan, ya. Cukup aku aja. Aku, kan Sekretarisnya,” sindir Glo sengaja suaranya dikeraskan agar Yosia yang masih tak berdaya di atas ranjang mendengar.
“Sorry, Glo.” Yosa berbisik ketika ia menutup pintu dan berdiri di lorong bersama Glo yang hendak pergi, mengucapkan kata penutup.
Glo tersenyum sambil mengangguk.
“Kita masih teman, kan?” tanya Yosa memegang lengan Glo.
“Masih, dong. Walau sebenarnya saingan berkedok pertemanan.”
“Glo,” panggil Yosia enggan melepaskan tangannya.
Glo menarik lengannya paksa dengan kuat, lalu pergi melenggang meninggalkan rumah sakit. Ia melampiaskan amarahnya dengan berjalan cepat dan dengan ketukan heels yang nyaring. Di parkiran mobil yang lapang tak beratap, ia memaki kecil. Suaranya teredam semilir angin sore yang lebih berisik menghantam dedaunan di pinggir jalan. Ia menemukan mobil Avanza silver dengan plat warna merah. Ia membuka pintu penumpang depan dengan kasar, lalu menutupnya dengan keras.
“Ada apa lagi ini?” Mobil berbeda dengan mobil yang mengantar Glo tadi, artinya pria di dalam yang bertugas menyetir juga berbeda.
Glo membungkam mulut rapat. Namun, udara yang ia hempaskan dengan kuat keluar dari sela-sela bibir yang tak kuat menahan hantaman keras CO2 dari paru-paru Glo membuat poninya berterbangan.
“Semoga aja nggak sembuh-sembuh itu orang,” gumam Glo yang tentu di dengar Fajar yang masih menunggu cerita kesal yang ditahan Glo.
“Tadi kamu pergi ke rumah sakit sama siapa?” tanya Fajar mencoba mengalihkan. Namun, saat menyebut namanya, Glo malah semakin kesal.
“Keen.”
“Oh, Pak Arkana. Terus kamu kenapa marah-marah begini? Gara-gara teman kamu yang sakit?”
“Iya. Gara-gara Tian.”
“Jadi, Tian sakit?”
“Iya. Sakit jiwa. Kesal banget, deh.”
“Udah. Jangan marah-marah lagi. Kita pergi aja dari sini,” ajak Fajar sambil tersenyum, membujuk Glo.
---
“Sebastian!” pekik Yosa ketika panggilan baru dijawab. Ia berjalan mondar-mandir di depan kamar Yosia. Ia begitu senang dan kesal secara bersamaan ketika Tian baru menjawab setelah lima kali dihubungi.
“Ada apa?”
Sesantai itu Tian menjawab, nada bicara Yosa semakin meninggi. Jika tidak diingatkan oleh perawat yang lewat kalau ia sedang berada di rumah sakit, mungkin ia akan lebih histeris.
“Aku minta jangan lagi dekati Yosia. Bukan. Ini bukan permintaan, tapi perintah!” tukas Yosa tegas, langsung meralat ucapannya.
“Iya, memangnya ada apa?”
Yosa terdiam sesaat, memilah kalimat mana yang tepat untuk dilontarkan. Ia menyaring kalimat sarkas agar tidak lagi diberi peringatan untuk kedua kalinya. Ia memegangi kening lebarnya seolah-olah kepalanya akan terjatuh jika tak ditahan.
“Selama hampir dua dekade kita berteman, kenapa tiba-tiba kamu ngajak Yosia nge-date? Aku yang seharusnya tanya, memangnya ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Saya nggak ngajak Yosia kencan.”
Yosa mengacak pinggang. Ia memejamkan mata, menghempaskan napas kasar.
“Ternyata semua cowok itu sama aja,” gumamnya. “Cukup, ya, Tian. Cukup Keen aja yang nyakitin dia. Jangan kamu lagi. Kamu mau hubungan pertemanan kita selama belasan tahun hancur begitu aja?”
“Saya nggak ada niat nyakitin Yosia. Memangnya ada apa, sih?”
“Bulan depan,” tukas Yosa kesal. “Hari Valentine. Apa lagi? Kamu ngajak dia kencan, kan?”
“Sudah saya bilang berkali-kali. Saya nggak ngajak dia kencan.”
“Kenapa kamu nggak ajak Glo aja?”
Pertanyaan yang tak bisa langsung Tian jawab.
“Kamu nggak lihat secara langsung gimana Glo dengan percaya dirinya bilang, kalau kamu bakal lebih dengarkan dia.”
“Glo? Datang ke rumah kamu?”
“Bukan. Yosia masuk rumah sakit. Usus buntu, dan Glo datang buat jenguk. Mereka malah berdebat gara-gara kamu tahu nggak?”
“Me? Why?”
Yosa mengerutkan dahi. “Lho, Glo nggak bilang kalau dia mau ke sini?”
“Yosia masuk rumah sakit aja saya nggak tahu. Saya di Jakarta, sibuk. Jadi nggak tahu apa-apa di kampung halaman.”
“Udah, deh. Pada intinya, mereka lagi rebutin kamu. Kamu ini sebenarnya suka sama siapa, sih? Pilih salah satu. Jangan serakah!”
“Apa? Rebutin saya? Hahaha. Ada-ada aja.”
“Bisa-bisanya kamu tertawa. Kamu pasti tahu kalau Yosia itu suka kamu. Aku nggak tahu kamu juga suka atau nggak. Kalau kamu memang mau sama Yosia, tolong bilang ke Glo. Jangan menghalang-halangi. Dia nggak bakal semudah itu biarkan kalian berhubungan. Ngerti? Kalau kamu nggak suka sama Yosia, tolong bilang juga ke Yosia kalau kamu nggak ada perasaan apa-apa supaya dia nggak berharap banyak sama kamu? Ngerti?” Yosa menghirup udara kasar setelah berbicara panjang dengan satu tarikan napas.
“Apa lagi yang Glo bilang?”
“Aku tahu hubungan kalian itu lebih dari sekedar sahabat. Glo sendiri yang bilang kalau kamu itu bagian dari hidupnya dia. Jadi, tolong. Jangan hancurkan hubungan persahabatan antara kalian bertiga. Kalian itu teman-teman terbaikku tahu, nggak?”
“Hmmm... oke. Noted. Terima kasih informasinya. Nanti aku kabari lagi.”
Yosa menjauhkan ponsel dari wajahnya setelah panggilan terputus, heran.
“Kabari apa? Yang mana? Tentang Glo supaya nggak menghalang-halangi atau tentang Yosia supaya dia nggak berharap lebih? Sial. Aku juga digantung.”
Kemeja merah marun beserta dasi hitam bermotif garis abu masih lengkap Tian gunakan walau ia sudah pulang satu jam lalu. Ia menatap macetnya jalan sore Jakarta dari balik kaca besar apartemen miliknya. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana bahan hitam. Selama dua puluh menit setelah percakapannya dan Yosa berakhir, perlahan Tian tersenyum.
“Hahaha. Jangan menghalang-halangi?” Entah apa yang lucu, tawa Tian semakin keras sampai dagunya terangkat.
Ia salah tingkah. Menyeka keningnya yang tak berkeringat, menggaruknya pelan. Tian baru sadar, selama hampir sebulan ia di Jakarta, baru hari ini ia merasakan senang. Dadanya kembali berdebar sampai ia harus menepuk-nepuknya karena tak bisa mengontrol cepatnya jantung memompa darah.
Merasa pegal, ia lempar ponsel ke atas meja kayu lalu membantingkan tubuhnya ke atas sofa. Rasa senang mengalahkan rasa sakit di bagian belakang tubuhnya. Matanya terpejam. Dengan percaya diri Tian membatin, She must be jealous.