The Moonlight Boy

2532 Kata
2009 “Nice catch!” pekik pria tinggi besar berambut abu-abu dari pinggir lapangan. Pria yang identik dengan baju jersey yang dipasangkan celana training dan selalu mengalungi peluit lebih heboh dari para penonton yang berjejer mengelilingi stadion lapangan basket. Kini ia menggunakan jersey hitam beruliskan ‘Couch’ di punggung. Stadion penuh oleh para pendukung dari berbagai sekolah. Atribut seperti balon tepuk dan terompet membuat ruangan yang tertutup semakin meriah. Ada dua kubu yang menggunakan warna baju yang berbeda. Di sebelah kanan dari pintu masuk, pendukung yang menggunakan baju serba hitam dengan balon tepuk putih, pendukung yang melebarkan spanduk bertuliskan Glory United dari SMA Pandu Utama. Sedangkan sisi yang bersebrangan, pendukung dari SMK AirLand yang menggunakan baju serba merah dengan selendang rajut putih melebarkan spanduk tim Magic Wand. Pertandingan final basket puteri dibilang sengit. Dua tim yang berhasil masuk adalah tim terbaik yang sudah mengalahkan sepuluh tim lainnya. Kedua tim sama kuatnya. Dan kedua sekolah berasal dari kota yang sama dengan kota tempat dilaksanakannya pertandingan final, Balikpapan, Kalimantan Timur. Glory United memimpin dua poin, 45, dan 42 untuk lawan. “Yes!” Suara dari kubu hitam kembali mengeras ketika wanita bernomor punggung 17 dengan nama Glorya kembali memasukkan bola basket ke dalam ring. Ia menggunakan wirst band hitam yang senada dengan jersey miliknya untuk menandakan bahwa ia sang kapten. “That’s My Girl,” salah satu anak laki-laki tinggi lebih dari seratus delapan puluh menggenggam pagar besi pembatas di kursi penonton kubu hitam. Tak seperti anak-anak yang menggunakan atribut heboh, ia hanya menggunakan jaket hitam dengan kaos putih polos sebagai dalaman dan celana training hitam bergaris putih dan sepatu kets hitam-putih. Namun, hal itu justru membuatnya memiliki fans club di dalam fans club. Banyak dari para gadis dari kubu yang sama dengannya atau dari kubu lawan yang malah fokus menatap makhluk indah hasil karya Tuhan. Karena tak pernah absen dari awal pertandingan, kubu musuh selalu hapal bahwa pria berwajah blasteran dengan rambut cepak kecokelatan yang alami akan berdiri dengan gelisah di barisan paling depan. Para gadis dari sekolah yang sama akan berebut untuk ikut berdiri di barisan yang sama dengannya. Untuk fans dari sekolah lawan, biasanya mereka akan menyamar dan mengendap-endap bergabung di kubu hitam. Seperti saat ini, kubu hitam merasa asing melihat wajah yang seperti bukan dari sekolah mereka. Wajah kotak simetris hasil gym dengan alis tebal yang lebih hitam dari rambut ditambah hidung yang tinggi, apalagi kulit kecokelatan membuat para kubu lawan lebih mementingkan untuk memenangkan hati sang pujaan hati daripada kemenangan sekolahnya. Para gadis semakin berteriak histeris saat pria tampan yang menjadi pusat perhatian menyisir rambuntnya frustasi ketika salah satu anggota tim ber-jersey merah darah bernomor punggung 18 berhasil membuat timnya menyusul ketertinggalan poin. Ia mengacak pinggang, menatap salah satu pemain sambil menggumamkan “It’s okey. You can do it.” Pemain yang mendapat sinyal dari Tian mengangguk lalu memanfaatkan waktu luangnya yang sempit untuk membenarkan kunciran rambutnya yang longgar. Gadis berkulit putih yang banjir keringat menggigit karet gelang lalu menyisir rambut hitam panjangnya sambil berlari mengikuti arah bola, membuat Tian menatap lekat dan tanpa sadar mulutnya terbuka setengah. Gadis yang tak pernah lepas dari fokus pandangannya. Tersenyum miring karena ia menahan agar tidak mengembangkan senyumnya. Lagi-lagi para gadis berteriak histeris ketika melihat lesung dalam di pipi sebelah kirinya. “Akh! Dia senyum! Jarang banget lihat dia senyum!” “Mr. Moonlight! Senyum sekali lagi, dong,” pekik para gadis jauh di sebrang bersahutan. Pemilik julukan hanya menggigit bibir bawahnya. Ia mulai merasa panas bercampur gelisah. Berdiri di tengah-tengah kerumunan adalah ketakutan terbesarnya. Ia tak kalah banyak berkeringat dengan para pemain. Tangannya di genggam kuat di pembatas besi berbentuk silinder untuk menyalurkan rasa tidak nyamannya. Di tengah-tengah pertandingan di babak ketiga, terjadi insiden di tengah lapangan membuat Tian semakin tegang. Menatap tajam para gadis yang saling berdebat. Sang kapten dari Glory United dibantu berdiri setelah ia jatuh dengan keras ke lantai mengkilap. Terdengar sakit, membuatnya merintih ketika berdiri. Ia diberi semprotan pengurang rasa sakit. Merasa dicurangi, ia mengejar kapten lawan yang membuatnya tersungkur. Ia menarik rambut pendek sebahu milik wanita berwajah oriental lalu membentaknya. “Apa-apaan! Dasar licik!” “s**t,” gumam Tian spontan. Tian menarik napas sambil menggelengkan kepala. Glorya, dia memulai perkelahian lagi, batinnya. Di tengah-tengah kerumunan penonton, Tian menerobos agar bisa lewat menuju tangga dengan susah payah. Ia menutup telinga karena para kubu hitam yang merasa pertandingan tidak adil mulai berteriak memaki kubu lawan. “Wah! Curang! Curang! Diskualifikasi!” “Dis! Dis! Dis!” ucap kubu hitam kompak secara berulang kali. Saat Tian sudah berhasil memijakkan kaki di anak tangga, wasit sudah melerai kedua regu yang berkelahi dan menghentikan pertandingan sementara. Sang kapten dari masing-masing tim yang terlibat perkelahian diminta untuk masuk ke ruang ganti untuk menenangkan diri. Tian yang mengendap-endap berhasil menemukan gadis yang sedang berjalan bolak-balik di depan loker sambil mengacak pinggang. “Glo,” panggil Tian membuat pemilik nama menoleh karena terkejut. “Tian? Gimana kamu masuk?” ucap Glo setengah berbisik agar tak ketahuan. Tian menoleh kanan-kiri untuk memastikan tak ada orang. “You good?” tanya Tian khawatir. Glo menghela napas kasar, tak bisa menjawab pertanyaan Tian, karena pertanyaan yang sama juga ia tanyakan pada dirinya sendiri. Kakinya sudah baik-baik saja, namun hatinya yang lebih sakit. Ia tidak suka jika bertanding dengan pemain curang yang masuk ke lapangan. Tian memegang kedua bahu Glo untuk menenangkan kegelisahannya. Lucu, dirinya bahkan juga harus ditenangkan. Tangan Tian yang lembab tersamarkan karena tubuh Glo yang benar-benar sudah dilapisi keringat. “Calm. Kamu harus bisa kontrol emosi kamu. Kalau tadi wasit nggak pisahkan kalian, kamu yang bakal didiskualifikasi. Ingat, ini pertandingan pertama kamu sebagai perwakilan sekolah. Walau ini bukan pertandingan basket pertama kamu.” Glo melepaskan tangan Tian dari kedua pundaknya. Walau ucapan Tian benar, hatinya merasa bertambah kesal. Ia membuang pandangannya, enggan melihat Tian yang sama sekali tidak membantu. “Tapi, untung aja wasitnya nggak bubarin kalian pakai batang daun pepaya,” tambah Tian. Glo mengulum bibirnya, menahan tawa. Ia melirik Tian, tersenyum. Hanya dengan kata kunci yang membuatnya mengingat hal lucu yang dimiliki mereka berdua, akhirnya Glo bisa meredakan amarahnya. “Calm, okey?” Glo mengangguk dan membalas pelukan Tian sesaat. Di luar, perang antar kubu semakin sengit. “Pakai baju hitam-hitam, mau melayat, ya?” tanya kubu merah. “Kok, tahu? Iya, kita mau melayat kalian,” sahut kubu hitam tak mau kalah. “Dukun! Dasar dukun kalian!” balas kubu sebrang lagi. “Nama tim kalian, tuh Black Magic! Sekolah di Hogwarts, ya?” ucap kubu hitam sambil mengejek nama tim mereka yang menggunakan kata Magic. “Mirip kotoran cicak tahu nggak pakai hitam-putih.” “Kalian dari kutub utara pakai syal?” Wasit sudah mengeluarkan putusan. Kapten tim merah bernama Sysil didiskualifikasi karena terbukti menjagal kaki Glo dengan maksud untuk menciderai. Untuk itu, tidak dibolehkannya pemain pengganti Sysil masuk ke lapangan. Hal itu menguntungkan tim Glory United karena tim lawan tersisa empat orang. Merasa menang, kubu hitam semakin gencar mengejek kubu merah. Pada akhirnya, SMA Pandu Utama membawa piala kemenangan. Sambil menyanyikan yel-yel yang diciptakan oleh ketua tim supporter, para pendukung keluar gedung stadion dengan rapi dan dengan wajah berseri. Tak seperti yang lain berwajah ceria ketika sekolahnya menang, justru Tian hanya memasang wajah datar. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Ia berdiri di samping pintu keluar selama hampir satu jam. Ia berdiri di samping pot besar rumah bagi tanaman bunga kertas ungu yang bermekaran. Terlalu bosan menunggu, ia menendang-nendang kelopak bunga yang sudah berjatuhan agar masuk ke dalam parit kecil di antara mereka. Tian sengaja menutupi dirinya dibalik daun-daun yang rimbun agar tidak terlihat. Namun, hal itu percuma. Para penggemarnya selalu bisa mencium keberadaannya bak ada GPS yang tertanam di jantung Tian membuatnya terus menerus mendengus kesal. Sifatnya yang cuek dan mengacuhkan pertanyaan para penggemar, justru membuat ia terkenal. Ia baru kelas sepuluh sembilan bulan lalu. Tapi, rumor cowok dingin tampan rupawan membuat para gadis yang menggunakan seragam bukan dari sekolahnya selalu berdiri di depan gerbang sekolah setiap sore hanya untuk memastikan apakah rumor itu benar atau tidak. Setelah mengetahui tentang kebenaran keberadaan Tian, mereka akan datang setiap sorenya membuat Tian harus menunggu sampai senja di dalam kelas sampai mereka semua bosan menunggu dan pergi. Ia bosan dengan pertanyaan seperti, “Namanya siapa?” “Pin BBM, dong.” “Boleh kenalan?” “Kamu punya pacar?” “Pulang bareng, yuk.” Tak henti mendapat teror surat cinta dan BBM dari banyak orang yang tidak dikenal, Tian pernah membuat dunia per-Mr.Moonlight-an heboh ketika ia memasang foto Glo yang sedang makan bakso di kantin diambil tanpa sepengetahuannya sebagai foto status di BBM miliknya. Banyak chat masuk untuk menanyakan siapa gadis itu ke ponsel Tian. Patah hati lokal membuat Tian justru mendapat masalah. Glo selalu menemani Tian yang duduk di kelas walau kelas sudah usai sampai sore. Imbalannya, ia juga akan dijemput mobil Fortuner mewah milik Tian. “Bosan. Pinjam BB, dong,” ucap Glo yang sudah bosan meletakkan kepalanya di atas meja. Dengan cepat Blackberry curve 8250 yang baru Tian beli berpindah tangan. Glo menggulir apapun yang menarik. Tak seperti Tian yang justru menikmati kesunyian kelas, membuatnya bisa beristirahat. Tian memejamkan mata. “Oh!” pekik Glo yang membangunkan Tian. Glo menatap layar ponsel dengan mulut menganga. Tian menepuk kening dengan keras. Ia tahu apa yang membuat Glo menggertakkan gigi putih rapinya. “Pantas aja aku selalu terima SMS atau teror telepon! Ini alasannya!” bak seorang pacar yang tengah menyidak pasangannya yang ketahuan berselingkuh, Tian menunduk. Sedangkan Glo mengacungkan ponsel Tian sambil terus menyecarnya dengan pertanyaan. “Aku udah pernah bilang, jangan pasang fotoku di sosial mediamu. Aku nggak mau berurusan dengan fans-fans gilamu itu.” Tian tetap menunduk, menelan ludah. Berpikir apa yang harus ia lakukan agar Glo berhenti. “HP-nya buat kamu,” ucap Tian dengan santai sambil menatap Glo dengan mata berbinar. Benar, strateginya berhasil. Glo terdiam, masih tak percaya dengan apa yang Tian ucapkan. Wajahnya masih marah. Napasnya senin-kamis. “Oke,” ucap Glo sambil tersenyum kembali memainkan ponsel lagi. Tian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Begitu mudah membuat Glo berhenti mengomel. Sebastian Albus Branwyn. Anak tunggal dari keluarga Branwyn. Kakek buyutnya asli orang Manchester, Inggris. Itulah alasannya kenapa ia memiliki paras blasteran. Ia hanya mewarisi sedikit dari sang ibu yang berasal dari Banjarmasin-Kalimantan Selatan. Bulu matanya lentik. Sisanya, ia benar-benar menjiplak wajah ayahnya. Bahkan ia juga kidal, seperti Mr. Branwyn, pemilik perusahaan Brainwyn Company. Perusahaan yang bergerak di bidang insdustri. Brainwyn Company melahirkan SmartMart, supermarket super lengkap yang memiliki banyak cabang. Keberhasilan Mr.Branwyn sudah ia raih diumur dua puluh tiga tahun tanpa memegang gelar sarjana. Kecerdasannya menurun pada sang putera. Bahkan jiwa kepemimpinan yang sering diajarkan sang ayah membuat Tian menjadi ketua OSIS di semester genap kelas sepuluh. Terlalu sibuk bekerja, membuat Tian jarang bertemu sang ayah. Hari-harinya dihabiskan bersama ibu yang perhatiam namun tidak bisa memasak. Tidak masalah, di rumah tiga lantai mewah milik Tian, total terdapat sembilan asisten rumah tangga. Tiga orang bagian membersihkan seisi rumah, dua orang di bagian dapur, satu tukang kebun, dan masing-masing supir untuk tiga orang anggota keluarga Branwyn. Sang ayah dulu juga anak tunggal, ayah dari sang ayah pun sama. Otomatis ketika keluarga Branwyn meninggal, hak waris jatuh ke satu-satunya ahli waris, yang membuatnya menjadi crazy rich. Dan total kekayaan keluarga Branwyn sudah tidak bisa dihitung menggunakan kalkulator. Tian semakin kagum dengan ayahnya ketika sang ibu selalu menceritakan betapa cemerlang suaminya dan sang ibu lah yang menemani Mr.Branwyn dari nol. Tian adalah Putera Mahkota di kerajaan Branwyn. Tanpa dipaksa, ia memang ingin menjadi seperti sang ayah. Mempimpin perusahaannya sendiri di usia muda. Namum, akhir-akhir ini ia sudah jarang sekali mendengar sang ibu menceritakan pencapaian sang ayah yang biasa dilakukan setiap malam sebelum tidur. Membuat Tian penasaran. Mr. Branwyn juga selalu murung setiap ia pulang ke rumah. Tak ingin menganggu, Tian akan bertanya jika Mr. Aidyn Albus Branwyn sudah merasa lebih baik. Ia bahkan selalu absen ketika sarapan pagi. Kebingungan Tian semakin membuncah ketika ia mengetahui tiga dari asisten rumah tangganya diberhentikan. Tak ada masalah yang memicu. Mereka orang-orang baik. Jujur dan tidak pernah mengeluh. Hasil kerjanya juga bagus. Mereka juga selalu betah. Gaji tujuh juta per bulan di luar uang bonus, dapat tempat tinggal dan tak perlu pusing tentang jatah makan, siapa yang tak tergiur. Lagi-lagi Mrs.Branwyn berhasil menenangkan Tian dengan mengatakan bahwa di dalam rumahnya terlalu banyak orang. Kenapa baru sekarang setelah bekerja bersama mereka selama enam belas tahun, bahkan dari Tian belum lahir? “Tian! Kamu nunggu lama?” Glo menyadarkan lamunan Tian. Masih menggunakan jersey, Glo mengguncang tubuh Tian. “Oh, kamu udah selesai?” “Menurut kamu?” Tian membuka jaket tipis miliknya, memberikannya kepada Glo lalu menarik tali tas olahraga biru tua berat milik Glo. Glo berjalan lebih dulu dengan setengah melompat. Tian menatapnya lekat. Ia benar-benar mengaggumi kekuatan fisiknya. Walau lelah, ia selalu melompat kalau suasana hatinya sedang senang. Dan ia selalu senang setiap hari. “Glorya!” Teriakkan wanita dari arah belakang membuat keduanya menoleh. Lima pasukan merah yang tersisa, tak lain regu lawan kompak menatap Glo tajam. “Terima kasih buat aku malu,” ucap wanita bermata sipit dengan ketus. “Sama-sama,” balas Glo. “Dan terima kasih sudah buat tim kamu sendiri timpang.” “Dasar, Jala—“ kalimatnya terputus ketika Tian berjalan mendekat. “Kalau kamu selesaikan kalimatnya, you’ll see,” ancam Tian. Sysil semakin tak berkutik mendengar bisikan Tian. Tak hanya Sysil, wanita mana yang tak grogi jika berbicara dengan Tian selai Glo? “Ke-kenapa? Kamu mau pukul perempuan?” ucapnya panik. “No,” ucap Tian dengan aksen British-nya sambil tersenyum. “Not me. But her.” Dengan tenang Tian tersenyum miring. “Dan itu kamu, kan yang suka kirim foto yang tidak senonoh ke BBM saya? You’re lucky ‘cause you sent it to me. Saya bukan orang jahat yang bakal nyebar foto kamu. Saya cuma penasaram kalau pelatih kamu, atau orang tua kamu yang tahu.” Wajah Sysil menjadi pucat. Ia benar-benar tidak berkutik. “Kamu pikir saya bakal suka? You disgust me,” ucap Tian datar namun berhasil membuat lutut Sysil lemas. Benar, ia beruntung karena Tian bukan pria m***m yang akan mudah tergoda dengan tubuh wanita. Ia langsung menghapus pesan masuk dari Sysil tanpa membuka isi chat dan langsung memblokirnya walau Sysil akan selalu menerornya dengan pin BBM yang baru. “Say sorry to her,” titah Tian. Sysil tidak langsung merespon. “One... two...” Tian mengeluarkan Black Berry hitam miliknya yang baru ia beli lagi. “Maaf, Glo. Karena aku sengaja jegal kaki kamu,” ucap Sysil lantang. Glo mengangguk heran mendengar musuhnya yang tiba-tiba meminta maaf. Tian berbalik, berjalan meninggalkan sekelompok gadis yang tidak bisa mengeluarkan kalimat lagi setelah memperlihatkan bukti Tian menghapus chat terbaru dari Sysil di depannya. Meyakinkan Sysil bahwa ia tidak main-main dengan omongannya. “Syl. Gimana, nih?” ucap gadis kurus tinggi berambut ikal yang lebih panik darinya. Mematung, Sysil baru bisa bicara setelah kedua punggung Tian dan Glo menghilang. “Apa julukan dia?” tanya Sysil dengan nada gemetar walau ia tahu jawabannya. “Mr. Moonlight,” sahut salah satu gadis di belakangnya. “Kenapa?” “Dia orang yang dingin, ketus, namun bersinar seperti bulan di malam hari. Itu yang aku tahu dari orang-orang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN