2022
“Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan...”
Suara operator wanita mengucapkan kalimat yang sama dua belas kali. Glo langsung mematikan setelah ia mendengar kalimat pertama saat ia mencoba yang ke-tiga belas. Ini bukan pertama kalinya Tian sulit dihubungi. Tidak mau bicara dengan Glo lebih tepatnya. Tian hanya membalas pesan atau e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan saja. Ketika Glo bertanya bagaimana hari Tian selama di Jakarta, ia akan langsung menekan tombol gambar telepon merah atau pesan w******p Glo hanya bercentang dua biru.
Glo mengintip jam tangan, jam 8:45 pagi, tepat dua minggu setelah kepergian Tian ke Jakarta. Operasi kantor tetap berjalan, tak ada yang berubah. Hanya Tian yang berubah. Glo menerka-nerka perbuatan apa yang telah ia lakukan sampai membuat Tian marah.
“Apa gara-gara tiket?” Glo menggelengkan kepala segera. Tian bukan orang yang mudah marah hanya gara-gara ia harus menunggu berjam-jam.
Glo menggulir chat room w******p miliknya bersama Tian yang kontaknya ia beri nama My Moonlight Boy. Tak ada yang salah. Ia justru menjadi kesal ketika sekali lagi membaca chat singkat yang Tian kirimkan.
Glo berdiri dari kursi empuknya, menatap sesaat pintu yang tertutup rapat. Ada tulisan Chief Executive Officer di tengah-tengah pintu dengan tinggi dua meter berwarna cokelat muda. Glo tidak memiliki ruangan. Hanya meja Sekretaris berbingkai baja dengan kayu jati kuat dan tebal dicat cokelat tua. Meja yang berjarak tujuh meter dari ruangan Tian di lantai delapan, lantai teratas di gedung Brainwain Company, lantai khusus pemilik perusahaan beserta Sekretarisnya. Sepi.
Glo berjalan menuju kaca cembung besar yang menjadi penghalang dirinya dengan matahari pagi yang penuh dengan vitamin D. Glo memeluk dirinya sendiri, mengusap lengan kiri dengan jempol kanan. Pikirannya melayang-layang hanya karena satu pertanyaan. Apalagi kali ini?
Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Arkana ketika ia melihat Glo tiba-tiba berdiri di depan ruangannya. Arkana terpaksa keluar dari sangkarnya ketika mendengar samar suara Glo dan Sekretarisnya yang berdebat.
“Ada apa?” tanya Arkana.
“Ini, Pak. Glo beri saya berkas untuk bahan meeting nanti.”
Wajah Arkana tampak bingung. Keningnya mengernyit sambil mengalihkan pandangan ke wajah memelas Glo. Ia menggendong tumpukan berkas dan laptop tipis abu-abu.
“Hari ini Bapak ada meeting dengan calom client satu jam sebelum makan siang untuk gantikan Pak Tian.”
“I know,” jawab Arkana sambil meletakkan map hijau yang sudah ia baca sebagian halaman paling depan. “Lidya sudah reminder ke saya tadi pagi. Proposalnya juga sudah di-e-mail ke saya,” jelasnya.
“Kamu ngapain bawa-bawa map begitu? Di kantor ini kan serba e-mail, jarang banget kita print-out berkas. Atau sistem kerja Tian yang memang manual?”
Glo menghela napas. Pundaknya menjadi semakin layu. Keringat sebesar biji jagung berbaris acak di keningnya yang tak lebar. Daritadi ia wira-wiri ke berbagai lantai dengan sepatu hitam dengan tinggi heels tujuh senti. “Setidaknya tolong bilang ke Pak Tian kalau saya sudah ingatkan kalian.”
“Tian?” Glo mengangguk, begitu juga Arkana yang mengerti mengapa Glo melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan Lidya sebagai Sekretaris pribadinya.
“Oke, kalau begitu kamu yang temani saya meeting nanti.” Arkana setengah tertawa menunjuk Glo, ia datang mendekat dan mengambil semua tumpukan map warna-warni yang Glo peluk daritadi. “Dan berhenti bawa ini. Kalau ada berkas apapun, cukup e-mail aja. Kita nggak boleh buang-buang kertas. Ingat, kita harus selamatkan pohon,” sindir Arkana membuat Lidya terkekeh.
“Tapi, Pak Tian...”
“Saya nggak akan bilang-bilang ke dia.” Pria berambut hitam pendek dengan otot langan besar itu mengacak pinggang. “dan berhenti kerjakan pekerjaan Lidya. Nanti dia kerja apa? Atau kamu sengaja, ya supaya gaji kamu double?”
“Jangan, dong Pak,” rengek wanita mungil yang tingginya sebahu Arkana karena heels delapan sentinya. Sedangkan Arkana memiliki tinggi 175 senti.
“Apalagi kali ini?” tanya Arkana pada akhirnya sambil membuka penutup cup es krim rasa vanila kesukaan Glo. Arkana beberapa kali menundukkan kepala setiap para karyawan menyapanya. Maklum, banyak karyawan heran menatap Arkana—Presiden Direktur, pemuda berumur dua puluh sembilan tahun, orang dengan jabatan tertinggi kedua setelah Tian sekaligus orang kepercayaan Tian—duduk di kantin kantor. Biasanya para petinggi selalu makan siang di luar gedung karena posisi kantor Brainwyn Company diapit mall terbesar di Balikpapan dan berbagai macam restoran yang menyajikan berbagai macam makanan di Asia dan Eropa.
“Pertanyaan itu juga aku tanyakan ke kepalaku sendiri,” ucap Glo ketus sambil menyuapkan sendok kayu yang ditempelkan di samping mangkuk es krim. “Hmmm... ini enak.”
Meeting dengan client baru sudah selesai dua puluh menit lalu. Hadiahnya, Glo dan Arkana mendapat banyak cup es krim berbagai rasa dan bentuk yang tadi dipakai sebagai sampel. Produk es krim mereka akan beredar di semua cabang SmartMart mulai minggu depan.
“Tapi aku takjub, sih.” Arkana hanya memutar cup es krim berbentuk silinder yang pas dengan tangannya, membaca tulisan yang tertera. “Gimana bisa ada orang yang awalnya baik-baik aja, tiba-tiba marah bahkan nggak mau ngomong sama sekali dan nggak mau kasih tahu alasannya tapi tetap bisa bahas masalah kerjaan like there is nothing happen? Profesional banget Tian.”
“Hal-hal di atas hanya dimiliki manusia jenis Tiansepiens.”
“Not suprise.”
“Selalu ada aja pekerjaan yang Tian kasih ke aku. Laporan ini, revisi itu, kenapa ini kurang? Kenapa bisa begini? Kok, begitu? Blablabla."
Tak ada percakapan untuk beberapa saat.
“Tapi apa, ya?” tanya Arkana tiba-tiba.
“Kamu masih mikirkan alasannya?”
“Memangnya kamu sudah tahu?”
Glo menggeleng. “Tapi kalau buat Tian mau hubungi aku diluar masalah kerjaan, aku tahu.”
Drrrttt...
“Panjang umur,” ucap Glo saat melihat layar ponselnya.
“Cek e-mail dari saya sekarang.”
“Oke, setelah ini. Aku masih istirahat makan siang.”
“Sekarang. Jam makan siang masih satu jam lagi.”
“Itukan karena kamu di Jakarta. Disini satu jam lebih cepat, Tian.”
“Balas sekarang, saya tunggu.”
“Tian,” panggil Glo pelan.
“Laporan meeting dengan client hari ini mana hasilnya?”
“Tian, dengar aku dulu.”
“Oh, iya. Untuk revisi—“
“Sebastian!” Glo menjerit membuat beberapa orang yang duduk atau berdiri di kantin kantor menatapnya. Mereka pasti berpikir, berani-beraninya Glo membentak orang yang suka membentak.
Tak ada jawaban dari sebrang sana. Sambungan telepon juga belum terputus. Arkana juga hanya bisa menatap Glo yang menatap ponselnya tajam seolah-olah tatapan membunuh itu bisa sampai ke Tian.
“You can punish me as much as you want. Kamu bisa kasih aku sebanyak apapun kerjaan sampai lembur atau mengharuskan aku nginep di kantor. But, don’t ignore me!”
Masih tak ada jawaban dari Tian sampai angka penghitung lama panggilan bertambah tiga puluh detik. “So?” tanya Tian santai.
Glo menggertakkan gigi kuat. Matanya terpejam begitu pula tangan kirinya yang mengepal kuat. “Tian... You...” panggil Glo lagi.
Tak hanya Tian atau orang-orang yang menguping menunggu jawaban dari Glo, Akana menyentuh pundak kanan Glo yang tegang agar ia mendengar kelanjutan kalimat Glo.
“A...B...C...D...E... F...U!” Glo menekan nadanya di huruf terakhir sambil mengacungkan jari tengahnya.
Dengan kasar Glo menekan tombol telepon berwarna merah, pertanda percakapan berakhir. Wajah Glo masih memerah, api di kepalanya tak bisa padam.
“Jadi, begitu cara kamu?” tanya Arkana.
Glo menatap Arkana, membuat Arkana ngeri ketika mata mereka bertemu. “Bukan.” Glo kembali membuang wajahnya ke depan.
“Awas aja. Kamu bakal ngemis-ngemis minta maaf, Tian!” Cecarnya sambil jari telunjuknya menuding pria di sebrang meja yang juga menatap Glo tanpa tahu apapun mengapa Glo menatapnya dengan penuh amarah.
Glo menghentakkan kaki setiap kali ia melangkah menuju lift. Ia menunggu beberapa detik sampai pintu besi terbuka otomatis. Tak lagi sendiri, tiga orang gadis dengan tinggi sama tertawa sampai suaranya lebih keras dari suara TV yang menyiarkan berita kenaikan harga barang. Glo menatap mereka sesaat, menegur mereka untuk diam hanya dengan tatapan, lalu kembali melihat siaran berita di TV yang diletakkan di pojok atas, sebrang meja resepsionis yang tak jauh dari pintu masuk lantai satu.
“...berbeda dengan SmartMart yang akhirnya membuka cabang di Jakarta. Walau banyak harga makanan pokok yang melonjak naik, hal tersebut tidak berpengaruh di supermarket serba ada ini yang tetap mematok harga normal. Dan di samping saya sudah berdiri pemilik Brainwyn Company yang secara langsung memotong pita sebagai tanda telah dibukanya SmartMart di Jakarta. Mas Sebastian Branwyn, apa alasan Anda yang tidak menaikkan harga seperti di tempat yang lain?”
Glo tersenyum miring ketika siaran langsung berita chanel TV swasta menyorot wajah tampan pria muda yang tersenyum bangga ketika usahanya dipuji sang reporter dan disiarkan di TV, yang berarti disaksikan oleh banyak orang di seluruh wilayah Indonesia.
“Ya, karena harga pangan naik karena efek pergantian tahun akhir bulan ini, bukan berarti saya juga harus menaikkan harga pangan untuk mencari banyak keuntungan. Anggap saja ini diskon spesial pembukaan cabang kami di Jakarta. Saya ingin keluarga di seluruh Indonesia tidak kekurangan bahan makanan di akhir tahun karena harga sembako melonjak. Kami paham akan pendapatan keluarga dari kalangan menengah, jadi saya harap Brainwyn Company bisa membantu meringankan sebisa kami. Saya sebagai pemimpin perusahaan mengerti dengan kebutuhan karyawan kami dan sebisa mungkin kami memberi upah yang layak dan cukup. Semoga hal itu bisa ditiru oleh para pemilik perusahaan lainnya.”
Glo memutarkan bola matanya. Selalu saja Tian memikirkan banyak gagasan agar mencapai perdamaian di seluruh dunia. Faktanya, ia selalu sensitif jika banyak karyawan yang membahas tentang masalah kenaikan gaji. Tapi setidaknya, Glo tidak lagi penasaran bagaimana keadaan Tian selama tidak bisa dihubungi. Ia tampak baik di TV.
“Saya sudah beri kalian gaji di atas UMK, kan?”
“Cuma beda dua ratus ribu.”
“Baik, saya akan naikkan gaji kalian tapi kalian harus bayar setiap kalian makan di kantin. Dan saya nggak akan beri uang makan siang atau uang makan malam kalau kalian lembur. Akan saya hapuskan juga sistem lembur di perushaan ini. Kalian nggak terima? Saya tunggu surat resign kalian di meja saya. Masih banyak di luar sana yang ingin di posisi kalian.”
Setelahnya, para karyawan tak ada lagi yang berani protes apalagi mengeluh di depan Tian.
“Pak Tian? Ya ampun. Aku pikir dia aktor yang lagi perankan tokoh pengusaha muda tahu nggak?” ucap salah satu wanita yang rambutnya pendek sebahu.
Glo merinding setiap ada orang yang memuji Tian di sekitarnya.
“Kamu Glorya Sekretaris Pak Tian, kan?”
Glo mentap mereka kesal. Setelah sekian lama mereka berdiri berdampingan, akhirnya ada yang mengenalnya. Glo hanya mengangguk.
“Sombong banget. Baru jadi Sekretarisnya doang. Modal cantik kamu pasti maksa Pak Tian supaya kamu dapat posisi itu, kan?” ucap wanita berkemeja merah muda terang yang berdiri di tengah. Glo hanya tertawa sinis sambil melipat tangan.
“Aku bakal dengan senang hati kalau kita tukaran posisi. Tapi Pak Tian nggak bisa ganti saya begitu aja. Maaf, ya. Oh, iya. Saya juga bisa maksa Pak Tian untuk keluarkan kalian sekarang,” ancam Glo membuat mereka tak berkutik.
Pintu lift akhirnya terbuka. “Kerja yang benar, ya. Bukannya bergosip. Saya duluan.” Glo menatap ketiga wanita yang merupakan staff bagian keuangan dengan tatapan penuh kemenangan sampai pintu lift kembali menutup.
Tak ada yang tahu Glo dan Tian adalah teman dekat sejak mereka SD. Sengaja, agar tidak ada yang menganggap Glo memanfaatkan keuntungannya karena memiliki hubungan yang lebih dari seorang Sekretaris pribadi. Ia tidak bisa membayangkan kalau semua karyawan mengetahuinya. Kejadian tadi hanya sebagai contoh dari banyak karyawan terutama karyawan wanita yang menatap iri Glo karena bisa lebih dekat dengan CEO muda yang tampan.
Namun, pada akhirnya hanya Glo yang sanggup menghadapi ucapan pedas Tian. Hanya Glo yang mampu meredakan amarah Tian dengan magic hand-nya. Hanya dengan membuka kelima jari yang menamppakkan telapak tangan lalu diangkat ke depan Tian sebagai isyatat untuk berhenti, Tian akan menurut dan berhenti. Mereka hanya mengagumi paras Tian, tidak dengan tabiat buruknya. Mereka hanya menyukai sisi baik Tian, lalu dengan cepat rasa kagum mereka hilang ketika tahu kekurangan Tian. Hanya Glo yang tetap tinggal walau tahu Tian tidak sepenuhnya sempurna.
Drrrttt...
Panggilan dari Mr.Mr, langsung di jawab Glo membuat panggilan dari Tian yang kebetulan juga menghubungi Glo tidak bisa masuk.
Sedang dalam panggilan lain. Tulisan yang Tian baca di layar ponselnya.