Gilbert meringkuk dalam ranjang besarnya. Seluruh tubuhnya terbungkus selimut tebal, ia memeluk dirinya sendiri, dengan kedua mata melotot plus pandangan horor. Sejak tadi, tubuhnya terus-terusan bergetar. Ia merasa begitu lemas, dan sulit sekali menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Gilbert benar-benar diserang trauma.
Nicolin kembali masuk dengan membawa teh, ia meletakkannya pada meja di dekat ranjang Gilbert. Ketika mendapati tubuh Gilbert yang tampak sangat terguncang, ia berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Gilbert. Keringat dingin yang sejak tadi menetes-netes di pelipis Gilbert diusap pelan.
“Tolong tenanglah, Tuan Muda.” Ujar Nicolin pelan.
Gilbert tidak menanggapi, ia bahkan masih terbenam dalam traumanya hingga tidak menyadari kehadiran Nicolin yang menemaninya. Nicolin sudah berulang kali menggunakan kekuatannya untuk menidurkan Gilbert secara paksa, dan ia rasa menggunakan hal itu terlalu sering tidak cukup baik untuk kesehatan Gilbert. Terlebih, jika digunakan dalam keadaan seperti ini.
Nicolin semakin mendekatkan wajahnya. Ia bisa melihat dengan jelas pandangan juga pikiran Gilbert tidak benar-benar ada di sana. Ia terlalu jauh tenggelam, dan Nicolin tidak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus.
“Tuan Muda, sebutkan namaku.”
Nicolin menggenggam telapak tangan Gilbert yang pucat dan mengepal dengan kaku. Nicolin bisa merasakan kulit tangan Gilbert begitu dingin. Tetapi hingga detik-detik berlalu, Gilbert sama sekali tidak menanggapi apa yang dikatakan Nicolin. Seolah seluruh inderanya benar-benar lumpuh. Nicolin melihat banyak trauma, banyak ketakutan, dan sejenisnya. Tetapi apa yang dialami Gilbert jauh lebih buruk. Selain membebani mentalnya, juga membebani fisiknya. Ia terlalu muda untuk menahan serangan mental dan fisik sekuat ini.
Gilbert bernapas pendek-pendek. Ia terus-menerus mengelapkan telapak tangannya sendiri. Kuasa atas dirinya sendiri benar-benar hilang, ia tenggelam begitu jauh di dalam traumanya sendiri, yang ia anggap bisa ia atasi padahal terus-menerus menekan jiwanya.
Gilbert membuka matanya. Sebuah cahaya kemerahan berpendar di hadapannya, mengaburkan penglihatannya. Ia memejam, menghalau serangan cahaya super terang yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Tidak lama setelah cahaya itu muncul, dan Gilbert yang masih dalam posisi memejamkan mata, ia merasakan sebuah tepukan halus di kedua bahunya.
“Kau kembali.”
Gilbert membelalakkan matanya. Sosok itu, yang telah dua kali masuk ke dalam pikirannya sekarang kembali berdiri di hadapannya. Sebuah senyum sendu tercipta. Gilbert tidak mengerti, mengapa pria itu selalu menampilkan senyum sepeti itu. Bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di dalam pikiran Gilbert.
“Kau… kau belum mengatakan siapa sebenarnya dirimu?”
Pria itu kembali tersenyum. Ia menarik pergelangan tangan Gilbert, membawanya berjalan di belakangnya. Yang Gilbert tidak mengerti, mengapa ia selalu saja menurut ketika pria itu menariknya, membawanya entah kemana padahal di sekitar mereka hanya ada kegelapan belaka.
“Kau sedang dalam tekanan, huh, Gilbert?”
Gilbert membelalak. Ia menarik paksa pergelangan tangannya, membuat si pria yang begitu mirip dengannya itu ikut berhenti dan berbalik menatapnya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Aku selalu mengikutimu, mendengarkan seluruh perkataanmu meski aku tidak paham apa maksudnya. Kenapa kau tidak bisa menjawabku sekali saja bahkan hanya untuk namamu?”
Pria itu kembali memasang senyum sendu. Gilbert mendecih melihatnya. Semakin sering dia menampilkan senyum itu, semakin muak Gilbert melihatnya. Ia bisa saja menghantam wajah pria itu, tetapi apa untungnya? Dia seperti sosok pria yang tidak akan menyerah hanya karena disakiti.
“Jika kau memang tidak benar-benar memiliki urusan yang penting denganku, berhentilah datang di pikiranku. Kau mengganggu!”
“Aku tidak berusaha untuk datang padamu, Gilbert. Kau yang selalu mencariku.”
Gilbert meradang. Ia bahkan tidak mengenalnya, bagaimana bisa Gilbert yang pertama menginginkan untuk bertemu dengannya. Sejak awal, pria di hadapannya inilah yang sama sekali tidak jelas. Berawal dari bayangan sekilas, lantas berlanjut seperti mimpi, kemudian terus berjalan seolah nyata.
“Aku tidak mengenalmu!” seru Gilbert murka.
Pria itu mengangguk. “Benar, tetapi itu tidak merubah fakta bahwa kau yang pertama mencariku.”
Gilbert mengernyit semakin bingung. Ia merasa dipermainkan. Namun meski begitu, mengapa sosok di hadapannya ini tampak sangat serius? Seolah apa yang ia katakan memang benar. apa maksudnya? Mengapa dia bersikeras bahwa Gilbert yang menginginkan pertemuan itu? Beragam pertanyaan berkecamuk di kepala Gilbert. Ia sudah cukup sakit kepala dengan banyaknya permasalahan di dunia nyata, mengapa sosok di dalam pikirannya ikut-ikutan menambah beban pikiran untunya? Membuatnya semakin sakit kepala.
“Aku tidak mengenalmu.”
“Tapi aku tahu kau mencariku.”
Gilbert meremat surai pirangnya. “JANGAN MEMPERMAINKAN AKU!”
“Aku tidak, Gilbert. Kendalikan dirimu, kau bukan orang yang mengutamakan emosi dalam berpikir. Ingatlah, kau yang pertama mencariku.”
Gilbert berjongkok, menyembunyikan wajahnya sendiri di antara lipatan lengannya yang berada di atas lutut. “Aku yang pertama memanggilmu?” bisiknya pelan.
“Iya. Kau yang pertama memanggilku, Gilbert.”
Gilbert terdiam, larut dalam pikirannya. Otaknya tidak pernah berhenti untuk dipaksa bekerja. Ia berusaha mengingat-ingat, mengapa dia yang memanggil pria itu. Mengapa Gilbert memanggil sosok yang bahkan tidak ia kenal? Siapa dia sebenarnya? Mengap—
Gilbert membelalakkan matanya dan langsung bangkit berdiri. “Kau… kau yang menulis buku harian?”
Pria itu tersenyum. “Kau mengingatnya. Sudah kukatakan, kau yang pertama menginginkanku. Berpikirlah secara tenang, maka kau akan mendapatkan jawabannya.”
Gilbert berkedip bingung. “Ji-Jika benar, maka kau adalah seorang…. Grey?”
Gilbert sudah mencurigainya sebagai seorang Grey sejak awal meski ia sama sekali tidak berpikir bahwa pria yang ada di dalam pikirannya ini adalah orang yang menulis buku harian tua itu. Pengalaman supernatural seperti bertemu dengan leluhur nampaknya bukanlah hal yang baru. Gilbert percaya itu karena dirinya bahkan menyewa jasa seorang iblis dengan bayaran jiwanya. Tapi seingatnya, bertemu dengan roh leluhur tidak bisa dilakukan hanya dengan sekadar membayangkan atau menginginkannya saja. Butuh ritual terlarang yang bahkan jika ketahuan pihak Kerajaan akan dituduh sebagai penyihir. Lantas, mengapa pria Grey yang menulis buku harian tua itu bisa begitu saja muncul di dalam pikiran Gilbert?
Gilbert menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tidak! Tidak! Bagaimana jika kau hanya bayangan dalam imajinasiku? Atau, kau sosok yang sengaja ditanam dalam ingatanku oleh orang-orang yang sedang melakukan ritual abu pemanggil itu, untuk mengalihkan konsentrasiku?”
“Mereka tidak bisa menembus jiwamu, Gilbert. Kau bukan manusia biasa, kau berbeda. Dan mereka tidak akan repot-repot merusak mentalmu dengan memasukkan ingatan palsu, karena hal itu sangat sulit dilakukan dan memakan banyak waktu. Kita terhubung, itulah mengapa aku dan dirimu bisa bertemu dalam ingatanmu begitu mudah.”
“Aneh. Jika kau benar-benar orang yang menulis buku itu, berarti kau terlalu jauh dariku. Ada beberapa keturunan di bawahmu sebelum sampai padaku. Bagaimana mungkin aku terhubung dengan leluhur yang bahkan tidak ada di catatan pohon keluarga?”
“Karena eksistensiku sengaja dihapus, Gilbert. Bahkan untuk keturunanku sendiri.”
-----