Selama dua hari penuh Gilbert sama sekali tidak beranjak dari ranjangnya kecuali untuk ke kamar mandi. Nicolin melayani segalanya sebagai dampak dari tumbangnya ia ketika melihat tempat paling traumatis dalam hidupnya. Bukan karena kondisi tubuh Gilbert lemah, namun karena pemuda bangsawan itu sendiri yang terus terdiam di atas ranjangnya dengan pandangan tajam setiap waktu. Ia bahkan tidak akan tidur jika Nicolin tidak memaksanya seperti biasa dan segera saja mengundang keributan kecil esok harinya.
“Nicolin, berikan buku yang kita temukan hari itu padaku.”
Nicolin yang tengah mengusap lengan sang Tuan Muda berhenti. “Setelah kuselesaikan membersihkan tubuhmu, Tuan Muda.”
Gilbert mendecih dan mendorong paksa telapak tangan Nicolin yang sedari tadi menyusuri tubuhnya. “Jangan membantah Tuanmu!” serunya tegas.
Nicolin menghela napas pendek dan segera menyingkirkan wadah air beserta kain yang ia gunakan untuk membasuh tubuh Gilbert. Segera ia meraih buku tua yang mereka dapatkan ketika berada di perpustakaan lama istana.
“Tuan Muda, sebelum membuka buku itu aku ingin memberitahukan bahwa aku menemukan serpihan abu di aula rahasia itu.”
Gilbert melebarkan matanya. “Huh?”
“Kurasa insiden kebakaran mansion Grey serta penculikan atas dirimu waktu itu terkait dengan ritual abu pemanggil yang sedang dilaksanakan oleh sekelompok orang itu saat ini. Rasanya tidak mungkin hanya kebetulan belaka kedua hal ini terjadi di tempat yang sama. Aku bisa mengidentifikasi abu itu, jelas itu bukan abu sisa pembakaran biasa.”
Gilbert meremat seprei kasurnya. “Kita harus kembali ke tempat itu.”
“Maaf?”
“Aku harus menemukan bukti bahwa itu bukan abu biasa. Jika memang mereka memakai jantung manusia untuk membuat abu itu, tidak mungkin mereka membuang mayatnya sembarangan. Terlebih, aula rahasia itu terhubung dengan perpustakaan lama yang jelas diketahui banyak orang di dalam istana. Aku yakin ada sesuatu yang bisa kutemukan jika kembali ke sana.”
“Tuan Muda, kau sesak napas dan pingsan ketika melihat tempat itu. Bagaimana mungkin kau membahayakan kesehatanmu hanya untuk kembali ke sana? Aku bisa mencarikan apa yang kau mau, lima pelayan yang kuberikan itu juga bisa memenuhi tugas ini. Kau tidak perlu kembali ke sana.”
Gilbert menatap nyalang pada Nicolin. Kedua alisnya menukik tajam dan iris ruby darah merpatinya nyaris membuat Nicolin mengalihkan pandangannya karena tidak bisa menatapnya begitu lama. Sampai sekarang, bahkan untuk Nicolin sendiri masih bingung mengapa dirinya tidak bisa begitu lama menatap kedua iris ruby milik Tuan Mudanya. Iblis sepertinya tidak memiliki rasa takut meski berperan sebagai pelayan. Rasanya, seperti ada tampilan lain dari dalam diri Gilbert yang sewaktu-waktu muncul terutama ketika ia tengah serius atau marah. Seolah Gilbert terbentuk bersama sosok lain yang terpendam jauh di dalam jiwa terdalamnya. Penuh misteri, seperti asal-usul garis keturunannya.
Gilbert meninju kepala ranjang kayu miliknya, menimbulkan bunyi berdebum keras. “Aku tidak butuh pelayan pembangkang.” Katanya tajam. “Aku sesak napas hanya karena aku terkejut, dan memang aku memiliki riwayat sesak napas ketika aku kecil. Kurasa, hal itu hanya bagian dari rasa keterkejutanku. Aku harus kembali ke tempat itu untuk mencari semuanya sendiri.”
Nicolin meletakkan telapak tangannya di d**a kemudian membungkuk. “Baik Tuan Muda.”
Pada akhirnya, rasa penasaran untuk melihat isi buku usang itu menguap begitu saja. Tidak butuh waktu lama bagi Nicolin untuk mempersiapkan Tuan Mudanya hingga layak untuk bertandang ke istana. Dengan penyamaran yang dilakukan dua iblis suruhan Nicolin sebelumnya, tidak ada kecurigaan apapun dari orang-orang di istana.
---
Gilbert beralasan untuk berkunjung seperti biasa ketika Yang Mulia Raja lagi-lagi menyempatkan untuk menemuinya. Terkadang, Gilbert benar-benar bingung mengapa keluarga Kerajaan sebegitu pedulinya dengan kedatangannya. Ia hanya seorang Marquess, tidak ada kewajiban untuk bangsawan yang levelnya lebih tinggi menyambutnya, terlebih untuk seorang Raja. Seolah mereka akan terkena sial saja jika tidak menemuinya.
Gilbert menangani sesi bincang-bincang dengan lancar seperti biasa. Tidak ada larangan untuk berkeliling ke seluruh istana atau pembatasan apapun selama ia tidak menyentuh area-area privasi keluarga Kerajaan—yang tentu saja Gilbert sudah tahu tanpa perlu diperingatkan.
“Pastikan tidak ada yang melihat kita masuk ke perpustakaan lama.” Bisik Gilbert.
Ketika mereka menemukan kembali simbol ouroboros kecil di salah satu rak buku di perpustakaan lama, simbol yang berperan sebagai tuas itu masih berfungsi digunakan untuk membuka ruang aula rahasia yang sebelumnya Gilbert temukan secara tidak sengaja.
Gilbert tanpa sadar menarik napas ketika ruang aula itu kembali terhampar, membuatnya membeku sesaat. Nicolin sudah berniat menarik bahunya untuk kembali sebelum Gilbert mengangkat telapak tangannya sebagai tanda bahwa ia tidak ingin Nicolin kembali menceramahinya.
Pelan-pelan Gilbert melangkahkan kakinya. Bulatan-bulatan cahaya berwarna kemerahan yang berpendar dari telunjuk Gilbert mengelilinginya, memastikan Gilbert mendapatkan penglihatan dengan jelas. Kilasan tragedi pemujaan itu kembali menyeruak masuk, berganti-ganti nyaris seperti potongan-potongan film yang dipercepat. Gilbert meneguk ludahnya sendiri tanpa sadar. Ia kembali merasakan bagaimana perutnya perlahan terasa seperti diaduk, rasa mual yang pelan-pelan menyerangnya.
“Tuan Muda?”
“Aku tidak apa-apa. Cari apapun yang bisa kau temukan.”
Nicolin memandang Tuan Mudanya sebentar, kemudian segera mengangguk dan melangkah berlawanan arah.
Sementara Nicolin memeriksa sisi kanan, Gilbert memeriksa sisi kiri bersama bola-bola cahaya mereah itu. Tiap jengkal tempat itu benar-benar diingat oleh Gilbert tanpa kecuali. Ia bahkan masih ingat di mana dirinya dimasukkan ke dalam kerangkeng besi berkarat dan bagaimana tubuhnya dirantai. Tiap langkah, telinganya seolah mendengar geraman keras dari berbagai sisi. Doa-doa aneh yang dilantunkan oleh para pemuja iblis itu. Gilbert meremat ujung pakaiannya, sebisa mungkin menahan tekanan rasa mual dari perutnya.
“Tuan Muda!” seru Nicolin keras.
“Apa?”
“Tuan Muda harus melihatnya.”
Nicolin menggiring Gilbert pada salah satu pintu kayu yang berada di sisi kanan aula itu. Pintu itu berada di pojok dan tersamar karena warnanya yang sama dengan warna dinding. Nicolin membukanya, dan bau busuk langsung menguar dengan kuat.
Gilbert mundur selangkah dengan menutup hidungnya. “Apa-apaan?” gerutunya.
Nicolin menunjuk isi ruangan itu. “Semua mayat dari tiap kategori ada di sini, Tuan Muda.”
Gilbert melebarkan mata. Sembari menahan bau busuk, Gilbert mendekat untuk melihat isi ruangan itu. Ruangan di balik pintu itu berukuran cukup kecil. Mayat-mayat tergeletak begitu saja tanpa posisi yang pasti. Beberapa bertumpukan dengan darah mengering yang berceceran di mana-mana. Sebagian mayat bahkan memiliki kulit yang sudah menghitam dan mengeluarkan bau yang sangat busuk. Satu hal yang sama dari seluruh mayat itu; bagian d**a kiri mereka berlubang dengan jantung yang sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Gilbert menatap pemandangan di hadapannya nyaris tak berkedip. “Heeh, mengerikan.” Gumamnya pelan.
-----