Liontin nenek moyang

1621 Kata
"Gadis," gumam Nicho hampir tanpa suara saat wanita iyu benar-benar duduk merapatkan kedua paha mulusnya yang terbuka, membuat sesuatu di pangkalnya yang hanya tertutup benda segitiga berwarna hitam dengan renda di pinggirannya, semakin membuat penasaran iris kebiruan Nicholas yang sesaat meliriknya. Pemuda itu membetulkan posisi duduknya menyadarkan punggung di kursi yang ia duduki, susah payah menelan saliva yang mendadak mengering, sepertinya ia memerlukan donor saliva dari wanita yang kini menatapnya dengan sorot mata sensualnya. "Bagaimana? Kamu masih tidak tergoda padaku?" bisik Gadis sambil menyentuh bibir bawah Nicholas dengan ujung telunjuk kirinya sedangkan tangan kanannya melingkari tengkuk Nicholas yang terasa meremang. Nicholas hanya menyeringai, tapi kedua matanya lekat menatap apa yang terpampang nyata di depan matanya, sepasang gunung kembar mulus yang tidak sepenuhnya tertutup Bra. Dari yang terlihat Nicholas tahu jika ukurannya pasti pas di genggamannya, Gadis menyunggingkan senyum melihat mata Nicholas yang tidak berkedip menatap kedua aset berharganya, ia tahu jika omongan lelaki itu yang mengatakan tidak akan tertarik padanya hanya isapan jempol belaka. Gadis hampir terpekik girang saat perlahan Nicholas mengulurkan tangannya, seolah ragu. Tapi Gadis tahu jika ia harus bersikap tenang, bersikap anggun nan erotis untuk menggoda lelaki dalam pelukannya, maka sedikit ia gigit bibir bawahnya dengan mata yang ia kerlingkan nakal saat Nicholas sekilas menatapnya seolah meminta ijin untuk menyentuh miliknya. Jangan tanyakan bagaimana degupan jantung Gadis yang hampir melompat dari tempatnya, ini pertama kalinya ia begitu dekat dengan seorang pria dewasa, terlebih lagi dengan keadaan yang mengenakkan seperti ini, ia merasakan bagaimana tangan kiri Nicholas hinggap di punggung terbukanya tepat di mana pengait branya berada. Gadis menahan napas ketika tangan Nicholas perlahan menyentuh kulit mulusnya, rasanya hangat hingga membuat darah yang mengaliri tubuh wanita itu semakin memanas. Jemari Nicholas perlahan bergerak pada bagian atas d**a Gadis yang membusung, Gadis menutup rapat kedua matanya bersiap menghayati setiap sentuhan Nicholas pada dirinya, bibir ranumnya sedikit terbuka juga bersiap jika Nicholas perlahan mulai menciumnya. "Ini begitu indah, dari mana kamu mendapatkannya?" Kedua mata Gadis mengerjap saat mendengar ucapan Nicholas, bukan bisikan parau khas lelaki yang tengah menahan hasrat, tetapi nada bicara serius menuntut sebuah jawaban. "Hah? Ini?" tanya Gadis memastikan apa yang Nicholas tanyanya, pandangan Gadis turun, melirik tangan Nicholas yang menggenggam liontin dari kalung emas yang ia kenakan. Gadis menghela napas berat, karena kecewa ternyata bukan tubuhnya terkagum tetapi kalung yang ia kenakan, ia yakin tadi pagi pun saat di kamar kedua mata Nicholas tertuju pada kalung itu, bukan pada tubuhnya. "Ini pemberian orang tuaku, kakak dan adikku juga memilikinya. Kata mereka ini adalah perhiasan turun temurun dari nenek moyang kami," jawab Gadis dengan suara manjanya, ia kembali meneruskan aksinya untuk menggoda Nicholas juga untuk menuruti rasa penasarannya pada rasa yanh selama ini ia pendam, rasa bercinta. Terdengar suara bell rumah berbunyi. tanda seseorang telah menunggu untuk dibukakan pintu. "Sekarang turunlah, aku sama sekali tidak tertarik padamu!" sekilas Nicholas melirik tubuh polos Gadis yang masih duduk di pangkuannya lalu tersenyum miring seolah mengejek wanita itu. Gadis kembali menghela panas kasar, merasak kesal dengan Nicholas yang mengejeknya ia bangun dan membiarkan Nicholas berdiri meninggalkan ruang makan, dengan kesal Gadis mengambil sepotong sandwich lalu makannya dengan kasar, kesal. "Hei! Pakailah bajumu, atau kamu ingin memamerkan tubuhmu itu pada semua orang?" sindir Nicholas sebelum berjalan menuju pintu depan. Gadis segera memungut kaus yang tadi ia lemparkan asal lalu berjalan ke kamar. "Enggak tertarik padaku gimana? Jelas-jelas aku bisa merasakan miliknya yang membesar dan berdenyut saat aku mendudukinya tadi!" sungut Gadis sambil menutup pintu kamarnya, tetapi ia tetap merasakan hatinya menghangat ternyata Nicholas perhatian juga dan tidak membiarkan orang lain melihatnya seperti itu. Setidaknya itu cukup baginya. * Dita Andriyani * Nicholas duduk di sebuah sofa yang berada di kamarnya, tepat di samping jendela terbuka membuat udara yang bertiup segar di pagi menjelang siang itu bisa memasuki kamarnya. Dia memang sengaja membangun rumah dia atas tanah luas di kota penopang Ibu kota itu, selain ingin ketenangan dalam waktu istirahat ia juga ingin paru-parunya tidak terus menghirup udara berpolusi kota Jakarta. Rambutnya masih basah, walaupun hari belum begitu terik tapi ia sudah dua kali mandi apalagi kalau bukan karena ulah Gadis yang menggodanya tadi, bagaimana pun dia adalah lelaki normal yang tidak mungkin tidak tergoda pada Gadis yang menawarkan keindahan yang terpampang nyata di depannya. Tetapi sebajingan apapun Nicholas ia tidak mungkin menyentuh Gadis yang jati dirinya belum Nicholas ketahui, hingga mau tidak mau ia harus menuntaskan hasratnya yang terpendam di dalam kamar mandi. Dan, tentu saja dengan mata terpejam dan wajah Gadis menari-nari dalam ingatannya. Nicholas menaruh tangan kanannya pada sandaran kursu dengan jemari yang mengelus dagunya yang terasa agak kasar karena lupa bercukur pagi tadi, ia melemparkan pandangan jauh ke luar jendela. "Gadis, dia pasti bukan wanita biasa!" gumam Nicholas. Lamunannya buyar saat mendengar kegaduhan di luar kamarnya, seperti ada sebuah benda pecah, lelaki itu segera berjingkat bangun dari duduknya menaruh bingkai foto yang sedari tadi tangan kirinya pegang di atas meja. Bingkai foto yang menampakkan foto seorang wanita yang menggendong seorang bayi, ada sebuah kalung mirip dengan kalung yang melingkar di leher jenjang Gadis, melingkari leher wanita di foto itu. * Dita Andriyani * "Astaga! Gadis! Apa-apaan kamu?" Suara bariton Nicholas menggelegar, membuat tubuh Gadis yang berdiri mematung menjadi semakin kaku. Rasa takut menguasai sanubarinya, tentu saja rasa bersalah sudah lebih dahulu ia rasakan ditambah dengan mendengar bentakan Nicholas yang baru keluar dari kamarnya. "Ma—maaf, Nich, aku tidak sengaja," ujar Gadis tergagap, pandangan Nicholas tidak lepas dari sebuah guci keramik yang sudah pecah berserakan di dekat kaki Gadis. "Bagaimana bisa pecah?" tanya Nicholas sambil mendekatinya. "Aku lagi bersih-bersih, enggak sengaja guci itu kesenggol," jawab Gadis sambil menundukkan kepalanya tidak berani menatap mata Nicholas yang melotot. "Kamu ini, bisa kerja enggak, sih? Masa bersih-bersih sampai nyenggol guci sampe pecah!" geram Nicholas tertahan. "Maaf, Nich, aku akan menggantinya, aku janji!" ujar Gadis cepat seraya mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah Nicholas, ia ingin Nicholas melihat kesungguhannya. "Ganti? Pake apa emang kamu punya uang? Ini juga bukan guci sembarangan! Ini peninggalan dinasti Ming, aku dapetnya langsung di kota Cing Te Cen, kamu tau?" Gadis hanya menggeleng pelan, Nicholas benar, ia tidak punya uang sekarang jangankan untuk ke kota Cing Te Cen, untuk ongkos ke Cimahi saja sepertinya uang yang ia bawa saat kabur tidak akan cukup, satu-satunya benda berharga yang ia miliki hanyanya kalung yang ia pakai. Air mata sudah menggenangi pelupuk matanya, tidak mungkin, 'kan, jika ia menelepon orang tuanya untuk meminta dikirimi uang bisa hancur rencananya untuk menaklukkan hati seorang Nicholas. "Maaf, aku akan bekerja padamu tanpa gaji sebagai ganti guci ini!" Nicholas malah tampak terbengong mendengarnya. "Memang siapa yang berniat menggajimu? Kamu aku pekerjakan di sini cuma-cuma sebagai balas budi karena telah menyelamatkan kamu dari bapakmu yang akan menikahkan kamu dengan juragan—," Nicholas menggedikkan dagunya tanda bertanya siapa nama juragan yang akan dinikahkan dengannya itu, dan sialnya Gadis juga lupa nama siapa yang kemarin ia sebut saat mengarang cerita. "Hem ... jadi ... aku harus mengganti ini dengan apa?" tanya Gadis mengalihkan perhatian Nicholas yang masih menatapnya tajam. "Biar nanti kupikirkan, sekarang lebih baik kamu bersihkan saja ini semua," jawab Nicholas membuat Gadis bisa bernapas lega, ia segera ke belakang mengambil sapu dan serokan sampah, sedangkan Nicholas duduk di sofa sambil melipat kaki menaruhnya di atas kaki yang lain. mengambil sebuah buku lalu membacanya. Sesekali Nicholas melirik Gadis yang sedang serius memunguti pecahan keramik dan memasukan ke dalam tempat sampah yang juga ia bawa, bibir ranumnya tampak tersungut sesekali membuat lelaki itu gemas dan ingin mengulumnya, tetapi apa tidak bagai menjilat ludah sendiri jika begitu, bukankah tadi dia sendiri yang bilang jika tidak tertarik pada Gadis. "Guci begini aja belinya ke kota Cing Te Cen, jauh-jauh ke China. Padahal di desa Kasongan, Jogja aja banyak, bagus-bagus dan murah!" gerutu Gadis, tentu saja tidak bisa Nicholas dengar, pemuda itu malah tersenyum melihat bibir Gadis yang cemberut dan sesekali bergerak menggemaskan. Nicholas kembali berpura-pura membaca saat Gadis meliriknya, lalu berjalan ke belakang membaw tempat sampah, lirikan mata Nicholas tidak berhenti mengikuti setiap gerak-geriknya. Setelah dari belakang, Gadis kembali untuk menyapu pecahan kecil dari keramik itu, wanita itu agak membungkukkan tubuhnya memegang gagang sapu yang tidak terlalu panjang, membuat kaus pendek yang ia kenakan sedikit terangkat di bagian belakang, Nicholas tampak merauh wajahnya dengan gelisah melihat apa yang ada di depan matanya, ia bisa melihat dengan jelas belahan pangkal paha Gadis dari belakang. Nicholas menghela napas kasar, ia bisa frustasi jika terus seperti ini, sedangkan Gadis malah mengulum senyum seolah menggodanya. "Kenapa? Tadi katanya tidak tertarik?" Sindir Gadis membuat fokus Nicholas pada kedua paha mulus Gadis yang bergerak-gerak saat menyapu menjadi buyar. "Enggak, enggak mungkin itu!" kilah Nicholas sedangkan sang gadis sama sekali tidak menggubrisnya, berjalan ke belakang sambil membawa sapu dan serokan sampahnya. "Gadis, ke sini!" Suara Nicholas terdengar datar memanggil Gadis yang sedang meminum air dinginnya di depan kulkas, ternyata membersihkan rumah dan menyapu sangat menguras tenaganya, karena hal itu tidak pernah ia lakukan sebelumnya, jika saja bukan karena impiannya bersanding dengan Nicholas tentu saja ia tidak mau melakukannya. "Ada apa?" tanya Gadis seraya berjalan mendekati Nicholas yang masih pada posisi semula. "Duduklah!" pinta Nicholas sambil menatap sofa tunggal yang ada di sampingnya, tapi Gadis malah duduk di sampingnya, nyaris tidak berjarak, membuat Nicholas menahan napas sepersekian detik saat merasakan paha mulus Gadis bersentuhan langsung dengan pahanya yang juga terbuka karena ia hanya pengenakan celana pendek saja. "Ini untukmu." Nicholas memberikan beberapa paperbag yang sejak tadi ada di sampingnya pada Gadis. "Apa ini?" tanya Gadis dengan kening mulusnya yang sedikit berkerut. "Pakaianmu, tadi sekertarisku yang membelikan dan mengantarnya ke sini," jawab Nicholas datar. Wajah Gadis berbinar sambil membuka paperbag itu dan melihat-lihat isinya. "Terima kasih, Nich!" Gadis menghambur memeluk Nicholas yang masih termangu, tidak lama Gadis mengurai pelukannya sedang tatapan Nicholas tetap tertuju pada kalung yang Gadis kenakan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN