Tissu

1537 Kata
Lelaki yang masih tampak gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda itu terlihat penuh amarah saat mendapatkan laporan dari kesepuluh ajudannya bahwa mereka tidak bisa menemukan putrinya, padahal sudah terhitung tujuh hari sejak kepergiannya yang entah ke mana. Mbak Sri yang awalnya tidak ingin membuka suara akhirnya berbicara juga karena turut mengkhawatirkan keadaan sang ndoro putri, tetapi keterangannya yang menceritakan pembicaraan terakhirnya dengan Gadis pun tidak membantu apa-apa, itu cuma pembicaraan biasa tentang keingintahuan Gadis tentang siapa tamu yang datang. Ponsel Gadis yang entah sengaja atau tidak sengaja ditinggal pun tidak memberi petunjuk berarti, riwayat pencariannya hanya menunjukkan tentang berbagai macam keindahan dunia yang ingin Gadis jelajahi. Jika ia nekad kabur untuk menjelajahi dunia pun rasanya tidak mungkin karena semua kartu identitasnya masih utuh di dalam lemari, tidak ada satu pun barang yang ia bawa dari rumah itu, selain caping atau topi dari ayaman bambu milik pegawainya yang dilaporkan hilang. Penculikan? Itu lebih tidak mungkin lagi mengingat keadaan penjagaan rumahnya yang begitu ketat. Seorang wanita yang memiliki garis wajah serupa dengan Gadis menangis tersedu, seraya mengelap air matanya dengan sapu tangan berwarna kuning mudanya. Dua wanita muda duduk berdampingan sambil berpegangan tangan, juga seraya mengusap air matanya pelan dengan sapu tangan mereka masing-masing. Sungguh pelajaran etika dan tata krama benar-benar telah mendarah daging dalam diri mereka hingga menangis pun mereka masih terlihat anggun, sungguh berbanding terbalik dengan seorang wanita nun jauh di sana yang juga sedang menangis duduk bersila di atas ranjangnya mengelap air mata dan ingusnya secara kasar dengan selembar tissu yang entah sudah ke berapa dan melemparnya asal hingga kamarnya terlihat seperti tempat sampah raksasa yang dipenuhi tissu bekas. "Tetap lakukan pencarian, sebar lebih banyak orang bahkan sampai ke luar kota, putriku harus segera kalian temukan dalam keadaan baik-baik saja!" titah sang tuan besar yang langsung dipatuhi oleh para ajudannya, mereka semua membubarkan diri dari ruang tamu yang sangat luas itu setelah berpamitan penuh penghormatan pada keluarga tempat mereka mengabdikan diri itu. "Duh, gusti ... lindungilah putriku di mana pun dia berada," rintih sang Nyonya besar, hanya doa yang selalu ia panjatkan agar putrinya baik-baik saja. "Gendis, bagaimana hubungan kamu dengan Nicholas?" tanya Wengi sambil menatap putri sulungnya yang terlihat terkejut mendengar pertanyaan ini. "Hubungan? Maksud Romo?" tanya Gendis dengan suara lembutnya. "Ya ... apakah kalian sering saling telepon?" selidik Wengi. "Dia tidak pernah menghubungiku, Romo," jawab Gendis apa adanya. "Sudah seminggu kalian bertukar nomor telepon dan dia sama sekali belum pernah menghubungimu?" Gendis hanya mengangguk. "Kalau begitu kamu yang harus menghubunginya!" ujar Wengi yang tampak sedikit kecewa. "Ta—tapi, Romo, bukankah tidak pantas jika seorang wanita menghubungi seorang pria terlebih dahulu?" tanya Gendis mengingatkan akan tata krama keluarga yang sudah ia ajarkan sejak putri-putrinya masih bayi. "Ini pengecualian, untuk lelaki seperti dia kita tidak perlu mengingat tata krama! Hubungi dia, Romo ingin dia takluk dibawah kecantikanmu!" perintah Wengi tegas. "Iya, Romo," jawab Gendis patuh, meski di hatinya timbul berbagai tanda tanya besar. Wengi meninggalkan ruang tamu dengan langkah lebarnya diikuti sang istri yang berada di belakangnya. "Mbakyu, Romo itu kenapa, ya? Di saat seperti ini, Mbak Gadis belum ketemu, tapi sempet-sempetnya mikirin Mas Nicholas ...." Gendis hanya menggeleng mendengar pertanyaan sang adik bungsu yang tidak ia ketahui jawabannya. "... Dan, yang lebih mengherankan lagi, Romo nyuruh Mbakyu Gendis buat menghubungi dia lebih dulu, padahal selama ini Romo selalu mewanti-wanti kita untuk mempertahankan harga diri seorang wanita setinggi angkasa!" Gendis mencebik, mendengar Gandarum yang berbicara panjang lebar membuatnya semakin merindukan Gadis, karena biasanya adiknya itu yang selalu banyak bicara di rumah ini. "Mbak juga enggak tau, Ganda! Kenapa Romo ingin Mbak, membuat Mas Nicholas jatuh cinta. Kalau soal harta, itu tidak mungkin, keluarga kita, 'kan, sudah kaya tujuh turunan, soal kekuasaan juga tidak mungkin karena Mas Nicholas bukan seorang pejabat. Untung saja Mas Nicholas itu ganteng!" Gendis terkekeh mengucapkan kalimat terakhir. "Oh, iya, Mbak. Mungkin karena itu, Romo ingin cucunya bule!" timpal Ganda juga sambil terkekeh, beruntung sudah tidak ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka. * Dita Andriyani * Nicholas baru saja kembali dari kantornya, ia terheran melihat keadaan rumahnya yang masih gelap gulita. Lampu halaman, lampu teras, bahkan sepertinya lampu dalam rumah pun belum menyala. Lelaki itu segera mengetuk pintu, berharap Gadis segera membuka pintu dan menjelaskan apa yang terjadi, tidak mungkin, 'kan, saluran listrik terpadam karena sekertarisnya lupa membayar tagihan. Beberapa kali Nicholas mengetuk pintu dan tidak juga ada tanda-tanda seseorang akan keluar, lelaki itu mendengkus kesal lalu membuka tas kerjanya di sana selalu terselip kunci cadangan rumahnya. Ia segera membuka pintu, menyalakan lampu dan segera menutup kembali pintu rumahnya yang terlihat sepi. "Gadis." Nicholas memanggil wanita ynag biasanya selalu menyambutnya dengan berbagai celotehan tidak penting jika ia pulang bekerja, seminggu tinggal bersama Nicholas sudah mulai terbiasa dengan kecerewetannya bahkan kini saat ia tidak menyambutnya dirinya merasa ada sesuatu yang kurang. "Jangan-jangan dia kabur?" gerutu Nicholas kesal, tetapi juga merasakan rasa tidak rela jika Gadis benar-benar pergi. Lalu, samar-samar indera pendengarannya menangkap sesuatu yang janggal, seperti sebuah isakan yang terdengar sangat pilu dari kamar Gadis, kedua mata Nicholas terbelalak. "Jangan-jangan rumah kemalingan, terus Gadis disekap di kamarnya!" Nicholas langsung berlari membuka pintu kamar dengan dramatis, menggebrakkan begitu saja daun pintu yang masih tertutup rapat, menyisir dengan pandangan pada kamar yang masih tertata rapi, tidak seperti tempat yang baru saja dimasuki pencuri. Lelaki tampan itu berjalan mendekati lemari pakaiannya setelah sebelumnya menghempaskan tas kerja yang ia bawa di atas ranjang, ia membuka pintu lemari yang masih terkunci, lalu mencari sebuah anak kunci di bawah tumpukan pakaiannya, dan membuka laci di mana tersimpan sebuah benda berharganya, sebuah kalung yang tidak akan ia jual berapa triliun pun orang ingin membelinya karena itu adalah peninggalan sang ibunda tercinta. Nicholas menghembuskan napas lega karena benda itu masih tergeletak aman ditempatnya, ia kembali mendorong laci lalu menguncinya dan meletakkan anak kunci di tempat semula. "Kalau rumah tidak kemalingan, Gadis kenapa?" gumam Nicholas yang lalu menepuk jidatnya menyadari kekonyolannya, seharusnya ia langsung ke kamar Gadis saat mendengar tangisannya, tapi dia malah berlari ke kamarnya sendiri untuk memriksa barang berharganya. "Ya, mau bagaimana lagi, itu adalah barang yang sangat berharga bagiku!" Nicholas menjawab sendiri kata hatinya. Lelaki itu segera berjalan ke kamar Gadis, lalu memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci lalu membuka daun pintunya dengan perlahan. "Gadis?" Nicholas memanggil wanita yang terdengar masih terisak itu. pandangan Nicholas langsung ia tujukan pada ranjang di mana sepertinya tangisan itu bersumber. Namun, setelah daun pintu terbuka sempurna, Nicholas malah terpekik. "Astaga Gadis!" Gadis terperanjat mendengar suara Nicholas yang lengking. "Apa yang kamu lakukan? Aku memintamu tinggal di rumah ini untuk menjaga dan membersihkannya, tapi kenapa kamar kamu jadi seperti tempat sampah begini? Hah?" omel Nicholas sambil berjalan masuk lalu berdiri berkacak pinggang di samping ranjang di man Gadis duduk bersila di tengahnya. Mendengar omelan Nicholas, Gadis malah semakin meraung, lalu mengambil tissu yang sudah semakin menipis dalam kotaknya, mengelap air mata dan lendir yang mengalir dari kedua lubang hidungnya bahkan mendorongnya kuat-kuat dengan napas dan tenaga dalamnya. Nicholas bergidik, lalu melotot ketika Gadis melempar asal tissu bekas pakainya. "Astaga! Gadis!" Nicholas terlihat sangat geram, tapi detik kemudia merasa bersalah saat melihat Gadis yang terisak-isak. "Kamu kenapa? Katakan padaku?" tanya Nicholas membuat Gadis mendongakkan wajahnya yang basah dan menatap Nicholas dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. "A—ak— Aku ... aku ... hiks ... hiks ...." Gadis kembali menarik tissu mengelap air mata lalu melemparnya asal, benar kata Nicholas kamar itu terlihat seperti tempat sampah sekarang. "Berhentilah menangis kamu semakin mengotori rumahku!" tegas Nicholas. "Kamu boleh keluar, ini kamarku!" jawab Gadis dengan napas tersengal-sengal. "Tapi ini rumahku, kalau kamu lupa! Sekarang katakan apa yang membuat kamu menangis seperti ini?" Nicholas mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Berapa kotak tissu yang sudah kamu habiskan, hah?" Gadis lebih memilih menjawab pertanyaan Nicholas alih-alih membahas tentang kotak tissu. "Aku ... Aku ... Aku merindukan ibu, hiks ... hiks ...." Nicholas tidak bisa berkata-kata, ia juga merasakan bagaimana rasanya merindukan seorang ibu. Lelaki itu duduk di tepi ranjang Gadis setelah sebelumnya menyingkap selimut agar tissu bekas yang tercecer di atasnya tidak ia duduki, tetapi sialnya selimut yang terbuka malah menampakkan kaki jenjang Gadis yeng terlipat, paha mulusnya dapat dengan mudah Nicholas lihat karena wanita itu hanya mengenakan sebuah hot pants berwarna merah hati, berpadu dengan kaun oblong milik Nicholas. Sepertinya Gadis menyukai kaus itu hingga tidak berniat mengembalikannya pada sang pemilik. "Kamu merindukan ibumu?" tanya Nicholas, sambil membelai kepala Gadis merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Gadis mengangguk cepat, ia merasakan hatinya menghangat. "Kalau begitu besok aku minta sopir untuk mengantarkan kamu pulang ke kampungmu, ya!" ujar Nicholas Gadis malah menggeleng cepat, Nicholas mengerutkan dahinya. "Enggak mau!" jawab Gadis tegas. "Kenapa? Kamu takut dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tuamu?" tanya Nicholas tidak mengerti. "Bukan!" jawab Gadis masih di sela isakkannya. "Tapi kenapa? Kalau kamu merindukan ibumu seharusnya kamu pulang selagi bisa. Selagi kamu masih bisa bertemu dengannya!" jawab Nicholas tegas bahkan terdengar kasar, bukan karena dia membenci Gadis, tetapi hanya untuk menutupi luka yang kembali terasa meremas d**a. "Aku ... aku enggak mau pulang, karena aku mencintaimu!" Dengan sekali tarikan napas perkataan itu keluar dari mulut Gadis, membuat Nicholas semakin mengerutkan keningnya. Belum hilang rasa aneh yang menyelimuti hatinya, lelaki itu merasa semakin terkejut karena kini Gadis memeluk dirinya dengan sangat erat sambil kembali menangis tersedu-sedu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN