Bara terpaku saat baru saja masuk ke dalam rumah dan melihat sang istri, berdiri menyambutnya dengan segelas air hangat seperti biasa di tangannya. Senyuman lebar Citra membuat Bara terdiam. Dia merasa sudah mengecewakan Citra walau hanya sekedar menolong Gritte dari Rendy yang selalu saja mengejarnya.
Mungkin bagi semua orang, itu hanya perkara sederhana yang tidak akan pernah terjadi apa pun ke depannya. Bahkan jika di pikirkan secara logika, Citra pasti tidak akan pernah marah, dia malah merasa senang saat tahu Bara sudah membantu orang lain ke luar dari masalahnya. Namun ini berbeda. Tidak pernah ada satu wanita pun yang duduk di dalam mobil Bara kecuali Citra atau pun keluarga sendiri. Dan ini, Gritte, yang bukan siapa-siapa malah duduk di samping Bara hampir berjam-jam. Bara sendiri sempat bingung harus membawa Gritt eke mana. Ingin membawanya ke apartemen Gritte, namun Gritte melarang karena takut sendirian di sana. Menurut cerita Gritte, Mila sedang tidak ada di apartemen. Karena itulah Gritte meminta Bara membawanya ke tempat lain sampai Mila pulang. Alhasil, Bara membawanya berkeliling dan menepi di tempat makan yang sedikit jauh dari rumah dan kantor. Hal itu dilakukan Bara agar tidak ada yang melihatnya bersama Gritte. Anehnya, dia malah mati ketakutan padahal antara dirinya dan Gritte, tidak ada hubungan apa pun hingga harus menyembunyikan pertemuannya bersama Gritte dari semua oranng.
“Kenapa malah bengong, Sayang, sini?” panggil citra yang langsung membuat Bara tersadar dari lamunannya. Bara tersenyum, melangkah mendekat dan berhenti tepat di hadapan Citra, Citra menyodorkan gelas yang masih dia pegang yang langsung diambil Bara dan meneguknya beberapa kali tegukan, lantas Citra langsung mengambilnya kembali setelah melihat Bara selesai meminumnya.
Citra memanyunkan bibir, sembari mengetuk pelan jam tangan yang dia kenakan dengan jari telunjuk, “Sampai malam begini, dari mana aja sih?” tanya Citra dengan nada suara manja yang membuat degupan jantung Bara seakan berhenti seketika. Ingin rasanya dia berkata jujur pada wanita di hadapannya yang selalu tampak cantik dengan polesan make up yang natural. Caranya bermake up yang selalu disukai Bara sejak dulu. Tidak terlalu berlebihan namun masih tampak begitu mempesona dengan bibirnya yang tipis.
“Lagi banyak kerjaan tadi di kantor ya, gara-gara Panji lagi ke Jogja sama Viola?” tanya Citra lagi yang langsung dijawab anggukan oleh Bara. Bara sedikit lega mendengar Citra menjawab sendiri pertanyaannya. Dia benar-benar kehabisana kata-kata untuk sekedar mencari alasan yang tepat bahkan untuk sekedar jujur pada Citra. Aneh, hanya demi menghindari pertengkaran, Bara harus menutupi segalanya. Termasuk yang berhubungan dengan Gritte. Padahal dia sama sekali tidak tertarik dengan wanita seksi itu.
“Kamu udah makan?” tanya Citra yang lagi-lagi membuat Bara bingung bukan main.
Bara jelas sudah makan, bahkan sudah dua kali makan bersama Gritte. Siang dan malam. Rasanya perutnya saat ini masih benar-benar kenyang bukan main. Namun dia tahu, Citra pasti sudha memasak makanan enak untuknya seperti hari-hari biasanya. Bara tidak ingin mengecewakan Citra yang sudah terlalu lelah menyiapkan segalanya. Bara menggelengkan kepala yang langsung menghadirkan senyuman lebar di bibir Citra yang membuat Bara semakin jatuh cinta mendapati senyuman dengan lesung pipinya di kedua pipinya yang tirus.
“Bagus deh, soalnya aku dari tadi nungguin kamu buat makan bareng,” jawab Citra sembari menggandeng tangan kanan Bara. “Aku masak ikan bakar kesukaan kamu hari ini, aku udah ngebayangin kamu bakalan tambah-tambah nasi nanti.” Citra mengajak Bara untuk berjalan menuju meja makan bersamanya. Terus bercerita semua kegiatannya sepanjang hari di rumah yang sejujurnya membuat Bara tak tega mendengarnya. Dia menyelesaikan segalanya. Walau sudah menjadi kewajibannya menjaga rumah minimalis yang dibeli Bara dua tahun lalu, namun dia tahu Citra pasti sudah melakukannya secara optimal. Pekerjaannya di kantor tidak ada apa-apanya jika dibandingkan Citra di rumah. Walau belum ada anak hingga usia pernikahannya yang sudah mencapai empat tahun, namun Citra pasti sudah kelelahan dengan semua rutinitasnya di rumah, ditambah lagi jualan online tas yang dia lakoni hampir tiga tahun belakangan ini yang sudah cukup banyak memiliki pelanggan setia dan beberapa reseller.
“Ini nasi kamu, Sayang,” ucap Citra sembari memberikan sepiring nasi dan ikan bakar di atasnya. Citra juga menambahkan beberapa sayur lalapan yang dia sengaja buat untuk sekedar pendukung. Bara tersenyum, lantas memperhatikan nasi yang cukup banyak di atas piringnya.
“Kok bengong lagi?” tanya Citra yang kembali membuat Bara kaget lantas mengarahkan tatapan ke arahnya. “Kamu gak suka ya aku masak ikan bakar hari ini?”
“Bukan begitu, aku hanya terharu ngelihat kamu selalu memasak makanan kesukaanku setiap harinya. Kamu pasti capek,” ucap Bara berusaha tetap tenang walau sebenarnya darahnya mendidih karena terus menerus berusaha menutupi apa yang dia lakukan dari Citra. Selama ini dia tidak pernah melakukannya. Apa pun yang dia kerjakan di luar rumah, selalu saja dia ceritakan setiap kali berada di meja makan atau di kamar. Keduanya selalu saja membagi kesibukan melalui cerita-cerita seru saat bertemu di malam hari. Namun kali ini, untuk pertama kalinya Bara tidak melakukannya. Dan hal itu terasa sulit baginya yang selalu menceritakan segalanya di depan istrinya itu.
“Gak ada yang mau kamu ceritakan hari ini, Sayang?” tanya Citra di sela-sela makan malam berlangsung.
Bara menggelengkan kepala, “Cuma gitu-gitu aja, sama kayak biasa saat Panji gak kantor. Sibuk ketemu klien,” jawab Bara seadanya yang lanngsung dibalas Citra dengan anggukan kepala. Bara kembali memasukkan suapan ke sekiannya ke dalam mulutnya. Perutnya benar-benar kenyang saat itu, namun rasanya dia benar-benar tidak tega jika harus menghentikannya sebelum nasinya habis.
“Kalau aku… ada,” jawab Citra yang secara tiba-tiba menunjukkan wajah sedihnya. Dia tertunduk, tak berani menatap Bara yang kini mengarahkan tatapan padanya. Bara menghentikan gerakan tangannya, meraih tangan kiri Citra dan menggenggam tanganya erat hingga berhasil menarik tatapan Citra ke arahnya.
“Ada apa?” tanya Bara lagi yang sesaat dibalas Citra dengan senyuman miris. Tidak ada kesenangan di wajahnya seperti senyumannya yang terlukis di bibirnya. Bara tahu, sang istri pasti sedang memendam sesuatu yang cukup membuat hatinya benar-benar terluka. Bara semakin mempererat genggamannya yang membuat Citra merasa aman bersamanya.
“Tadi ibu kamu datang,” cerita Citra yang membuat Bara berdehem pelan. “Dan dia mengatakan sesuatu tentang pernikahan kita.”
“Anak?” tanya Bara yang langsung dijawab Citra dengan anggukan pelan. Bara menghela napas kesal. Dia sebenarnya sudah tahu arah cerita Citra kali ini. Sudah bertahun-tahun Bara dan Citra harus menghadapi situasi dan sindirian yang sama. Dan smeua itu berasal dari ibu Bara yang selalu ingin memiliki cucu dari Bara dan juga Citra.
“Kan udah aku bilang, gak perlu di dengar apa yang dikatakan ibu tentang anak, aku udah gak peduli lagi mau kita punya anak atau enggak, ngapain masih di dengarin,” ucap Bara dengan nada sedikit kesal. Bukan pada citra melainkan pada sang ibu yang selalu saja menekan Citra dengan masalah yang sama.
“Aku gak bermaksud mendengarkan atau memikirkan apa yang dikatakan ibu, Bara. Tapi tadi situasinya berbeda.”
Bara menatap Citra bingung, “maksudnya?” tanya Bara bingung.
Citra menghela napas pelan lantas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Selembar kertas yang langsung dia berikan pada Bara yang kini memegang kertas itu dengan tatapan bingunng. Bara membukanya, yang ternyata isinya hasil pemeriksaan dokter yang membuat Bara menatap Citra kembali.
“Ibu terkena jantung, sama seperti bapak kamu dulu,” ucap Citra yang hanya dibalas Bara dengan sikap diam sembari memperhatikan lagi kertas hasil pemeriksaan itu. “Dan ini ternyata sudah serangan kedua.” Citra kembali menundukkan kepalanya dengan ekspresi sedih yang membuat Bara terdiam.
Bara masih ingat benar apa yang menjadi keinginan terbesar dari ibunya itu, apa lagi setelah kematian sang ayah secara mendadak. Bara yang hanya anak satu-satunya di keluarga, selalu dituntut memiliki seorang anak dari pernikahannya bersama Citra. Terlalu sering dia menanyakan apakah Citra sudah hamil atau belum, dan sudah terlalu sering dia memaksa Citra untuk berobat ke sana dan ke mari. Baik obat dokter mau pun alternatif. Dan hampir semua yang dia sarankan selalu diikuti Citra hingga terkadang, membuat Bara tak tega melihatnya kelelahan. Walau pun Citra tidak pernah mengeluh, tapi tetap saja Bara tahu bahwa istrinya itu sudah terlalu lelah menghadapi semua tuntutan perihal kehamilannya.
“Bar, kalau seandainya aku minta sesuatu, apa kamu mau mengabulkannya?” tanya Citra yang kali ini terlihat serius bertanya. Bara memperhatikan keseriusan di wajahnya. Dia jarang sekali terlihat seperti itu. Ada kesedihan di kedua matanya yang tertangkap oleh kedua mata Bara. Seolah ada hal besar yang selama ini dia pendam seorang diri dan baru kali ini ingin dia utarakan.
“Apa?” tanya Bara tetap tenang, walau sebenarnya hatinya takut bukan main akan permintaan Citra yang sejak dulu, jarang sekali meminta apa pun darinya.
“Menikahlah dengan wanita lain,” ucap Citra yang jelas saja membuat Bara kaget bukan main. Permintaan aneh yang tidak akan pernah mungkin dia kabulkan itu, membuat Bara melepaskan genggamannya yang dengan cepat, ditarik kembali oleh Citra. Citra gentian menggenggamnya erat seolah ingin mengatakan bahwa dia sendiri pun tak ingin melepaskannya.
“Bar, aku ikhlas jika kamu melakukannya, semua ini demi ibu,” mohon Citra lagi yang membuat Bara menggelengkan kepala sembari menunduk sedih. “Ini demi ibu, Bara.”
“Tapi aku tidak mau, Citra!” ucap Bara cepat yang membuat Citra terdiam mendengarnya. “Aku tidak pernah sekali pun berpikir untuk mengkhianati kamu, aku gak berpikir ingin menikah lagi untuk kedua kalinya dalam hidupku.”
“Aku tau itu, tapi ini semua demi pernikahan kita.”
Bara menggelengkan kepalanya lagi, “Enggak, ini semua bukan demi pernikahan kita. Ini semua demi keinginan yang aku sendiri sudah gak mau lagi berusaha untuk mendapatkannya!” Bara berusaha meyakinkan Citra bahwa dirinya sudah tidak lagin membutuhkan seorang anak dalam hidupnya. “Apa semua ini permintaan ibu? Apa ibu yang memaksa kamu untuk memintaku menikah lagi?”
Citra menggelengkan kepala, “Ibu tidak pernah memintaku melakukannya.” Citra meneteskan air mata yang membuat Bara semakin tidak tega melihatnya. “Tidak pernah sekali pun Ibu memintaku melakukannya.”
“Jadi kenapa kamu harus berpikir seperti itu, Citra, padahal kamu sendiri tau, kalau aku benar-benar mencintai kamu. aku gak pernah mau melakukan hal itu bahkan sejak kita pacarana dulu.”
Citra menundukkan kepala yang membuat Bara menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Dia tidak ingin membuat hati Citra bertambah sakit karena kemarahannya. Dia tahu, Citra sendiri pun tidak menginginkannya. Dia sangat menjaga hubungannya bersama Bara, jadi rasanya mustahil jika Citra akan ikhlas melihat Bara bersama wanita lain. Berdekatan dengan rekan kerja saja, Citra cemburu bukan main. Mana mungkin dia bisa bertahan jika harus berbagi suaminya sepanjang waktu.
“Citra, tolong, jangan lagi berpikir seperti itu,” pinta Bara sembari memegang kedua pipi Citra dan sedikit memaksanya untuk melihat ke arahnya. “tidak aka nada wanita lain dan tidak aka nada lelaki lain di dalam pernikahan kita. Ada atau tidak adanya anak, bagiku gak masalah. Kita menikah untuk hidup bersama selamanya. Aku tidak mau lagi membahas soal anak,” lanjut Bara dengan nada suara menenangkan. “Aku akan bicarakan hal ini sama ibu, agar ibu bisa mengerti kalau hadirnya seorang anak, itu atas izin dari Tuhan, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Yang terpenting kita sudah berusaha, selebihnya kita serahkan segalanya. Oke?”
Citra menganggukkan kepala. Bara memeluknya erat yang membuat Citra begitu merasakan ketenangan di dalam pelukannya. Air matanya kembali menetes. Dan kali ini bukan air mata kesedihan yang jatuh melintasi pipinya. Tapi air mata haru karena memiliki suami yang begitu sangat mengerti perasaannya.
***
Viola menghela napas kesal saat mengetahui siapa yang menghubungi Panji tengah malam begini. Panji yang mengerti sang istri cemburu, langsung menarik tubuh Viola dan memeluknya erat. Dia sendiri pun tidak menyangka, Luna akan kembali menghubunginya setelah sekian lama hilang komunikasi. Dan dengan nada suara manjanya, Luna terus saja menggoda Panji seolah lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu masih berstatus single seperti dulu.
Viola sendiri sebenarnya sudah tertidur nyenyak sebelum suara deringan handphone itu terdengar. Sialnya, handphone itu berada di dekatnya. Viola yang sebelum tidur sempat meminjam handphone Panji untuk memindahkan beberapa foto liburan ke handphoneneny, harus mendengar pertama kali deringan handphone itu dan mendengar Panji berbicara dengan Luna yang senagja dia loudspeaker-kan. Dan sialnya, Luna kembali seeprti dulu. Viola benar-benar geram dibuatnya. Andai saja Viola mengetahui kalau luna akan kembali mengusik kehidupannya dan juga Panji seperti dulu, mungkin saja dulu Viola sudah mengajak Panji untuk tinggal jauh dari Luna, mengganti nomor handphonenya bahkan semua akun media sosialnya yang berteman dengan Luna. Agar wanita itu tidak terus mengusik kehidupannya seperti ini. Terutama kehidupan Panji yang notabene sudah menjad suaminya yang sah. Sayangnya, Viola lalai akan hal itu dan malah menjadikan Luna lebih bebas menghubungi Panji kapan pun diam au.
“Cemburu?” tanya Panji yang masih memeluk Viola erat.
“Menurut abang?” tanya Viola kesal sembari melepaskannya. Panji tertawa melihatnya cemburu, dia sangat suka jika Viola memanyunkan bibirnya manja seperti saat ini terjadi. “Ya jelas cemburulah, wanita itu lagi yang ganggu hidup kita. Udah tau yang diganggu udah nikah, udah punya istri, masih aja usil ngeganggu. Tengah malam pula. Kayak gak punya sopan santun aja gangguin suami orang tengah malam!”
Viola terus mengomel tanpa henti. Omelannya yang membuat Panji malah tertawa karenanya. Dia benar-benar gemas melihat Viola seperti itu, berulang kali mencubit pipi Viola yang membuat Viola bukannya berhenti mengomel malah memukul pelan tangan Panji.
“Aduh, sakit!” seru Panji berpura-pura.
“Lagian, orang lagi kesal malah dicubit-cubit, apaan sih!” ucap Viola kesal bukan main. “Lagian dia ngapain sih ngehubungi abang tengah malam gini. Jangan-jangan sebelum ini abang sudah komunikasi lagi sama tuh cewek, benar kan?!”
“Ich, mana ada!” bantah Panji cepat agar Viola tidak terus menerus menuduhnya seperti itu. “Kalau ngomong jangan suka ngasal!” ucap Panji sembari menarik hidup Viola gemas.
“Jadi ngapain coba dia hubungi abang tengah malam begini, pakai acara manja-manja gak jeas lagi! Buat kesal aja!”
“Ya mana abang tau, Dek,” ucap Panji berusaha membela dirinya sendiri. “Tadi kamu dengar sendiri kan, saat kita tanya mau apa, dia malah gak mau jawab. Malah bilang rindu, terus abang hatus apa coba?”
“Ya marahin dong!” bentak Viola yang langsung membuat Panji menutup mulut istrinya dengan tangan kanannya karena suaranya terlalu besar. Takut jika Nek Uti atau pun Dharma terbangun karenanya. Viola sendiri yang masih kesal, langsung menarik tangan Panji agar tidak terus menerus menutup mulutnya.
“Jangan kuat-kuat suaranya, Dek, kasihan kalau nenek sama Om Dharma dengar!” seru Panji yang semakin membuat Viola kesal. Dia melipat kedua tangannya di d**a dengan bibir semakin di manyunkan ke depan.
“Biarin, biar semua orang dengar dan tau kalau abang komunikasi lagi sama Luna, terus nenek langsung marahin abang kayak dulu saat masih kecil!” ucap Viola yang malah membuat Panji sesaat tertawa sembari mengusap kepala istrinya itu. “Awas aja kalau sampai dia nyusulin abang ke sini, Vio tarik tuh hidung mancungnya yang palsu, biar makin panjang kayak pinokio.”
“Waduh, panjang amat!” ledek Panji yang langsunng mendapatkan oukulan bertubi-tubi dari Viola. “Aduh, ampun, sakit, Dek!”
“Habisnya, orang lagi serius malah dibecandain. Apaan sih!” bentak Viola yang kembali melipat kedua tangannya di d**a.
“Iya maaf,” balas Panji. “Jadi abang harus gimana coba, kan dia sendiri yang kayak gitu sama abang, abang gak mungkin gak jawab teleponnya kan?”
“Ya bisa aja gak usah dijawab, ngapain juga pake dijawab segala tuh teleponnya!”
“Abang kira kan ada masalah, Dek, soalnya selama ini yang kkita tau dia udah berubah, kan?” tanya Panji mencoba mengingatkan. “ya abang gak tau lah kalau kejadiannya kayak gini.”
“Tapi kan abang udah dengar langsung dari Mawar kalau kami ketemu dia, ters dia maki-maki Vio di depan semua orang.”
“Kenapa kamu gak bilang?” tanya Panji yang membuat Viola terdiam. “Kenapa bukan kamu yang bilang langsung sama abang, kenapa harus Mawar?” tanya Panji lagi yang membuat Viola yang tadinya rebut tanpa henti, kini menundukkan kepala. “Mau sampai kapan nyembunyikan hal-hal yangn seharusnya abang ketahui langsung dari kamu?”
“Viola Cuma gak mau buat abang kepikiran.”
“Tapi abang malah taunya dari Mawar, kan? Bukannya lebih menyakitkan kalau abang taunya dari orang lain dan bukan dari kamu?” tanya Panji yang merasa bahwa Viola masih belum bisa menceritakan apa pun masalah yang dia hadapi padanya. Viola menundukkan kepala sembari menggenggam ujung selimut yang membuat Panji menyadari, bahwa kali ini Viola merasa bersalah. Panji menghela napas panjang, menarik kedua tangan iola lantas menggenggamnya erat. Viola kembali menatapnya teduh.
“Abang mau Viola kembali seperti dulu, sebelum kita menikah,” ucap Panji dengan nada suara pelan. “Viola cerita apa pun yang Viola rasakan. Viola jadikan abang tempat berkeluh kesah, Viola ceria panjang lebar tentanng semua hal. Bukan kayak gini, semuanya ditutup-tutupi. Abang harus dengar dari orang lain. Padahal jelas-jelas Viola istri abang. Istri yang seharusnya tidak ada yang disembunyikan. Abang kan jadi merasa kalau abang gak dianggap jadi suami yang mampu membantu istrinya dalam berbagai hal.”
“Bukan gitu maksud Viola, Bang.”
“Iya, abang tau maksud Viola yang gak mau buat abang khawatir. Benar, kan?” tanya Panji yang langsung dijawab Viola dengan anggukan kepala. “tapi biar gimana pun, kita ini suami istri, Vi. Apa pun masalah yang kita hadapi, harus kita bagi satu sama lain. Gak bole di pendam-pendam kayak gitu, Sayang. Kamu mengerti maksud abang kan?”
“Iya. Maafin Viola ya, Bang.”
“Iya, abang maafin,” ucap Panji. “Sebaiknya kita tidur sekarang ya. Kamu butuh tenaga lebih ekstra besok.”
“Emangnya kita mau ke mana?” tanya Viola heran mendengar ucapan Panji barusan.
“Gak ke mana-mana. Cuma… siapa tau Luna besok tiba-tiba datang, kamu kan harus punya tenaga ekstra buat sabar ngehadapin dia,” canda Panji yang kembali mendapat serangan bantal dari Viola. Panji berusaha mengelak, namun sialnya gerakan tangan Viola lebih cepat yang membuatnya tak lagi bisa mengelak setiap pukulan bantal dari Viola.
***
Alia menyiapkan sarapan Herman dengan menuangkan nasi ke dalam piring sang suami. Herman sendiri tampak meneguk s**u putih buatan Bik Simi. Keduanya terlihat harmonis sembari sesekali becanda tentang obrolan ringan seputar kerjaan. Bik Simi sendiri datang mendekat, menuangkan air mineral ke dua gelas kosong, lantas kembali pergi meninggalkan keduanya di ruang makan sembari menyantap sarapan nasi goreng yang dibuatkan Bik Simi sejak subuh tadi.
“Apa gak sebaiknya kita nyusulin anak-anak d Jogja, Mas?” tanya Alia yang langsung membuat herman tertawa kecil.
“Jangan berlebihan, mereka itu lagi pengen liburan berdua. Kalau kita nyusulin mereka, itu namanya bukan bulan madu. Tapi liburan keluarga!” sindir Herman yang langsung membuat Alia manyun. “Lagian kamu ini, anak-anak sudah menikah dan punya kehidupannya sendiri, masih saja diurusin sampai segitunya. Kan kasihan mereka, Al, mereka pasti merasa dikekang kalau kamu terus menerus kayak gini.”
“Aku kan Cuma khawatir, Mas,” ucap Alia dengan ekspresi khawatir. “Apa lagi Viola. Sejak kecil dia gak bisa hidup kalau tanpa aku, Mas.”
“Kamu salah,” jawab Herman dengan tawa kecil. “Dia bahkan dulu sebelum menikah, bisa hidup hanya dengan Panji doang. Masa kamu lupa.”
Alia menghela napas pelan. Apa yang dikatakan Herman memang ada benarnya, Viola memang lebih dekat dengan Panji sejak kecil dari pada dengannya. Dan semua itu terbukti saat Alia lebih sibuk di urusan pribadinya di luar rumah dulu dari pada bersama Viola sekedar menemaninya. Alia menundukkan kepala sedih, yang membuat Herman menyesali ucapannya. Herman menggenggam tangan kri Alia yang langsung menarik tatapan Alia kembali padanya.
“Kali ini, kita biarkan aja mereka liburan berdua ya. Jangan diusik terus,” ucap Herman.
Alia menganggukkan kepala, yang membuat Herman kembali melanjutkan menikmati sarapannya. Alia yang masih saja menatapnya, perlahan menyandarkan tubuhnya di kursi sembari memikirkan sesuatu.
“Mas,” panggil Alia yang langsung menarik tatapan Herman kembali padanya. “Ap akita bisa punya cucu dari mereka, Mas?”
“Kenapa kamu sampai mikir kayak gitu?” tanya Herman yang merasa kalau Alia meragukan Viola dan Panji bisa memiliki anak dari pernikahan mereka. “Kamu ragu kalau mereka bisa punya anak, gitu?”
“aku bukan ragu sama mereka, Mas. Aku bukan meragukan kalau mereka bisa punya anak,” bantah Alia. “Aku Cuma merasa kalau kondisi Viola yang seperti ini, malah membuatnya tidak ingin punya anak. Kalau begitu, gimana kita bisa punya cucu, Mas.”
“Jangan paksa Viola saat ini, Al. dia butuh waktu untuk bisa menerima kondisinya,” ucap Herman mencoba menenangkan Alia yang masih saja kalut memikirkan semua hal itu. “Seharusnya kitab isa membantu dia untuk bangkit dan menerima kondisinya yang sekarang. Bukan malah menuntutnya dengan masalah baru yang malah membuatnya semakin terpuruk memikirkan semua masalahnya. Kasihan Viola kalau harus tertekan dengan semua itu, AL.”
“Aku tau, Mas, aku tau soal itu,” ucap Alia. “Aku hanya iris ama semua teman-temanku yang sudah memiliki cucu dari pernikahan anak-anaknya. Aku juga ingin bermain dengan cucuku. Aku ingin dipanggil nenek atau bahkan oma. Aku ingin mengajak cucuku jalan-jalan keliling komplek dengan cucuku, Mas. Kamu ngerti kan maksud aku?”
“Mas ngerti, tapi semua ini gak gampang. Saat ini Viola masih belum stabil keadaannya. Jadi kita gak bole ngebebaninya dengan masalah baru seperti ini, Al.” Herman menghela napas panjang melihat sikap istrinya yang selalu saja keras kepala. “Mas harap, kamu tidak ngebahas hal in di hadapan Viola. Mas berharap tidak ada percakapan tentang anak lagi di hadapan Viola mau pun Panji. Mas gak mau mereka sedih hanya karena pembicaraan soal anak kayak gini. Oke?”
Alia menghela napas panjang lantas menganggukkan kepala.
“Ya udah, habiskan sarapan kamu. Mas harus segera ke kantor, ada rapat dengan klien hari ini. Bisa-bisa Mas telat kalau terus diajak ngobrol serius kayak gini.”
Alia tertawa mendengarnya, melanjutkan makannya sembari bercerita ringan bersama sang suami yang sesekali terdengar tawa dari keduanya.