Mawar memegang hasil nilai ujiannya yang cukup mengkhawatirkan. Dia tidak menyangka, semua ini dia alami. Nilai yang dia harapkan bisa sedikit lebih tinggi agar bisa mendapatkan beasiswa, kini malah harus membuatnya terancam tidak lagi mendapatkannya. Hampir semua mata kuliah nilainya menurun, dan hal itu membuat MAwar cemas sejak tadi. Duduk seorang diri di depan ruang dekan yang sebenarnya harus dia masukin sejak atdi, namun Mawar masih saja memilih berdiam diri di luar sembari memegang kertas hasil nilai ujiannya.
Semua ini di luar dugaan. Mawar memang sadar, bahwa semester ini dia benar-benar tidak bisa fokus melakukan apa pun. Keuangannya menurun, dan mau tidak mau Mawar harus membagi pemikirannya yang semula hanya fokus ke mata kuliah, kini mau tidak mau harus memikirkan biaya hidupnya sendiri. Tidak ada yang bisa dia harapkan saat ini, bahkan keluarganya sendiri.
Suara handphonenya berdering. Mawar meraihnya dari dalam tas tangannya dan melihat sebuah nama tertera di layar yang sejak tadi terus mencoba menghubunginya. Aldo memang sejak pagi tidak bersamanya. Dia tidak ada urusan di kampus hari ini. Karena itulah Aldo lebih memilih tinggal di rumah dari pada keluyuran entah ke mana.
Mawar tahu, Aldo mengkhawatirkannya. Sejak tadi dia terus menghubunginya melalui pesan singkat sekedar bertanya tentang nilai kuliah yang ke luar hari ini. Mawar sendiri tidak bernai memberitahukannya, entah karena belum siap atau karena malu yang luar biasa. Dia yang sudah mendapatkan kabar kalau nilai yang diperoleh Aldo cukup terbilang memuaskan, membuat Mawar merasa rendah di mana Aldo. Mawar mengembalikan handphonenya ke dalam tas, saat suara pintu ruang dekan terbuka. Mawar spontan berdiri, menyapa sopan seorang lelaki yang ke luar dari dalam dengan tubuhnya yang sedikit besar namun tidak terbilang gendut. Dengan dadanya yang cukup bidang dan kumisnya yang tebal. Di balik kumisnya, dia tersenyum, meminta Mawar untuk masukke dalam dan mau tidak mau dituruti Mawar dengan perasaan kacau bukan main.
“Kamu sudah lihat hasil nilai kamu, Mawar?” tanya Bimo, yang langsung dijawab Mawar dengan anggukan kepala.
Ruangan ber-AC itu yang seharusnya cukup dingin, malah terasa panas bukan main untuk MAwar. Dia tampak gelisah. Sejak tadi dia menundukkan kepala, membiarkan kertas hasil ujiannya di atas meja dan hanya menggenggam tangannya sembari memberikan penekanan takut di sana. Bimo yang menyadari hal itu, hanya menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya yang semula bersandar di kursi lantas menatap Mawar yang masih belum berani menatapnya.
“Bapak tau perasaan kamu saat ini, Mawar, tapi inilah kenyataannya,” ucap Bimo yang membuat Mawar sedih bukan main. “Kamu sudah tau persyaratannya untuk mendapatkan beasiswa yang selama ini kamu dapatkan, sekali saja nilai kamu menurun, beasiswa itu akan hilang dari tangan kamu.”
“Tapi, Pak, ini baru kali pertama saya mengalaminya,” ucap mAwar dengan nada suara bergetar menahan tangis. “Selama ini saya bahkan tidak pernah mengalami hal seperti ini, nilai saya selalu tinggi dan memuaskan. Baru kali ini saja nilai saya mengalami penurunan yang signifikan. Saya minta tolong, Pak, tolong bantu saya untuk bisa mendapatkan beasiswa itu lagi. Saya janji, saya akan belajar lebih giat lagi untuk menaikkan nilai saya di semester depan. Saya minta tolong, Pak. Saya mohon bantuan bapak kali ini.” Mawar meneteskan air mata yang membuat Bimo tidak tega melihatnya. Dia tampak bingunng bukan main. Di satu sisi dia tertekan dengan peraturan yang ada, dan di sisi lain dia tidak tega jika melihat mahasiswinya yang selalu bisa membanggakannya itu, malah harus berhenti kuliah hanya karena kehilangan beasiswa yang menjadi tumpuannya dalam meniti karir di kampus.
“Mawar, bapak mengerti apa yang kamu inginkan. Bapak juga mengerti kondisi kamu saat ini. Cerita kamu tentang masalah keluarga kamu beberapa waktu lalu, membuat saya berusaha agar kamu bisa mendapatkan beasiswa ini,” ucap Bimo dengan nada suara yang cukup menenangkan. “Tapi kita semua tau, beasiswa ini cukup terbilang besar dari beasiswa yang lainnya. Dan banyak yang ingin mendapatkannya. Persyaratannya pun cukup ketat di bandingkan dengan beasiswa lainnya. Jadi, sedikit saja kamu tidak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk mendapatkannya, kamu bisa kehilangannya dengan sangat mudah,” lanjut Bimo dengan ekspresi yang cukup membuat Mawar khawatir.
“Tapi saya janji, Pak, saya akan berusaha untuk mendapatkannya lagi. Saya akan berusaha belajar lebih giat lagi agar bisa mendapatkan nilai terbaik semester depan,” ucap Mawar sembari merapatkan kedua tangannya dengan posisi memohon. “Tolong bantu saya, Pak. Saya gak tau lagi harus meminta bantuan pada siapa selain kepada bapak agar bisa mendapatkan beasiswa ini. Minimal, sampai saya mendapatkan pekerjaan untuk bisa memenuhi biaya hidup saya termasuk kuliah say aini, Pak.”
Bimo menghela napas panjang. Dia semakin bingung harus bagaimana lagi bisa menolong Mawar agar tetap mendepatkan beasiswa itu lagi. Bimo meraih kertas nilai Mawar, berharap ada yang bisa dibantunya jika dia mempelajari nilai-nilai Mawar yang cukup jatuh dari biasanya. MAwar sendiri menatapnya penuh harap. Ada kecemasan di wajahnya saat memikirkan dia harus kehilangan segalanya, terutama di bidang Pendidikan. Rasanya tidak sanggup untuknya mengatakan pada sang ibu tentang kabar buruk ini. Mawar yakin, sang ibu pasti sedih mendengarnya. Dia belum bisa move on dari kesedihan akibat perceraiannya yang begitu menyakitkan. Lukanya belum sembuh seutuhnya. Dan rasanya Mawar semakin tidak tega jika harus melakukannya kali ini, mengatakan apa yang terjadi padanya yang pasti membuatnya semakin sulit.
“Nilai-nilai kamu terlalu jauh menurun, Mawar,” ucap Bimo yang semakin membuat Mawar down bukan main. “Saya takut, kalau pemilik Yayasan malah membuat kita berdua terkena masalah jika terus memaksakan kehendak kita untuk mendapatkan beasiswa itu. Mahasiswa lain bisa-bisa memberontak akibat ketidakadilan yang terjadi jika kita lakukan hal ini, Nak,” ucap BImo yang membuat Mawar menundukkan kepala sedih bukan main. Harapannya seakan pupus saat mendengar semua yang dikatakan Bimo saat itu. Bahkan rasanya, bayang-bayang tentang tercapainya cita-citanya menjadi seorang dokter, kini hancur begitu saja.
“Saya minta maaf, Mawar, saya benar-benar tidak bisa membantu kamu kali ini. Ini sudah konsekuensi yang harus kamu dapatkan jika kamu mengalami penurunan nilai seperti ini,” ucap Bimo dengan nada suara pasrah akan situasi yang tidak bisa dia tolong saat ini. “Bapak yakin, kamu bisa mendapatkannya lain kali. Kejar beasiswa ini lagi di tahun berikutnya. Dan untuk tahun ini dan semester ini, kamu tidak bisa mendapatkannya lagi. Saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa membantu kamu ya, War?”
Mawar mengangguk pelan. Dia menyerah, berdiri perlahan dan meraih kertas nilai yang sudah dikembalikan Bimo ke atas meja. Mawar meminta izin pergi dari ruangan Bimo, lantas dengan langkah gontai, melangkah ke luar dari ruangannya sembari menutup kembali pintu dari luar. Mawar melangkah pergi, meninggalkan depan ruangan Bimo dengan perasaan kacau bukan main. Kali ini dia tidka bisa melakukan apa pun lagi. Semua harapannya benar-benar hancur dan tidak lagi bisa terselamatkan. Bahkan untuk sekedar berdampingan dengan Aldo yang notabene memiliki segalanya pun, Mawa kini sudah tidak sanggup lagi. Aldo terasa semakin jauh untuknya, dan semua itu membuatnya takut untuk melangkah dan membayangkan lebih jauh tentang hubungannya bersama Aldo.
***
Untuk pertama kalinya Viola bisa memasakkan makanan untuk Panji. Walau dengan bantuan Nek Uti dan seorang pekerja rumah tangga di rumah Nek Uti, Viola akhirnya bisa melakukannya. Ayam panggang yang dia masak sendiri, membuatnya terharu bukan main. Viola membawanya ke meja makan dengan bantuan dorongan dari Bik Arum, lantas meletakkannya ke atas meja makan dengan bendungan di kedua matanya.
Panji memang tidak pernah memintanya untuk melakukan hal itu sejak pagi. Dia malah meminta Viola untuk istirahat dan menyelesaikan sulamannya kali ini karena tahu, bahwa Viola sudah terlalu lelah kemarin seharian berjalan-jalan mendatangi beberapa tempat wisata di Kota Jogja. Panji yang sejak tadi pagi memilih lari pagi bersama Mas Dharma. Dan kesempatan itu diisi Viola dengan membuatkan makanan agar bisa memberikan kejutan untuk Panji. Dan semua berhasil sesuai yang dia inginkan. Viola benar-benar tidak sabar untuk melihat wajah Panji yang tampak bahagia melihat ayam panggang buatannya yang sudah tersedia di atas meja.
“Bik, tolong bawakan piring 4 buah dan gelas ya. Biar bisa sarapan nanti setelah Bang Panji dan Mas Dharma pulang,” pinta Viola dengan senyuman ramah.
“Baik, Mbak, sebentar bibik ambilkan dulu,” ucap Bik Arum yang langsung pergi meninggalkan Viola sendirian di dekat meja makan. Nek Uti yang baru saja ke luar dari dapur, langsung duduk di salah satu kursi di hadapan Viola, tersenyum bahagia melihat Viola yang untuk pertama kalinya, terlihat bahagia semenjak datang kembali ke Jogja pasca menikah dengan Panji. Sudah cukup lama dia merindukan senyuman Viola yang lepas seperti itu. Dia tidak menyangka, hanya dengan ayam panggang yang dia siapkan, Viola bisa sebahagia itu hingga menarik senyuman lebar di bibirnya dan rasa haru dalam dirinya.
“Kamu senang, Sayang?” tanya Nek Uti yang langsung dijawab Viola dengan anggukan kepala. “Kamu lihat sendiri, kan? Kamu bisa melakukan apa pun kalau kamu yakin. Selama ini, kamu selalu pesimis dengan semua yang bisa kamu lakukan. Kamu selalu menganggap kalau dengan kondisi kamu yang seperti ini, kamu tidka bisa melakukan apa pun seperti dulu,” ucap Nek Uti dengan nada menenangkan sembari menggenggam tangan Viola. “Tapi lihat buktinya, kamu bisa memasak makanan kesukaan Panji. Kamu bisa menyiapkannya dengan sangat sempurna. Dan nenek yakin, kamu bisa melakukan hal yang lain bahkan lebih banyak lagi.”
Viola menundukkan kepala. Air mata yang sejak tadi dia tahan, akhirnya tumpah juga. Nek Uti menarik kursi yang dia duduki untuk lebih dekat dengan Viola, memeluk Viola yang akhirnya menangis lebih kuat dari sebelumnya. Nek Uti ikut menangis karenanya. Seolah rasa sedih yang selama ini terpendam di dalam hati Viola, meresap ke dalam hatinya hingga membuat Nek Uti ikut menangis.
“Viola takut, Nek,” ucap Viola di sela-sela tangisannya. Tanpa diketahui keduanya, Panji dan Dharma yang baru saja pulang, mendengar semuanya. Lebih memilih bersembunyi di balik dinding penghubung ruang makan dengan ruang sebelumnya, untuk sekedar mendengarkan semua keluh esah Viola. Dharma sendiri menepuk Pundak Panji berusaha menguatkan.
“Kamu takut apa, Sayang?” tanya Nenek Uti yang masih memeluk erat Viola. Bik Arum yang berniat masuk, urung saat melihat keduanya saling berpelukan. Ditambah lagi saat melihat Panji memintanya dari kejauhan untuk tidak masuk mengganggu keduanya. Bik Arum memilih kembali ke dapur mengurungkan niatnya meletakkan piring ke atas meja makan seperti yang dipesankan Viola padanya.
“Viola takut kalau Bang Panji muak sama kondisi Viola,” ucap Viola yang masih terus menangis terisak. “Banyak banget wanita cantik dan sempurna di sekelilingnya, Nek. Wanita yang bisa membuatnya bahagia dan memberikannya kehidupan yang layak lebih layak dari saat bersama Viola. Viola benar-benar merasa rendah di hadapan mereka. Terkadang Viola berpikir ingin ngelepasin Bang Panji agar bisa hidup lebih pantas dengan wanita lain, tapi saat Viola memikirkan hal itu, Viola benar-benar tidak sanggup melakukannya.” Viola melepaskan pelukannya dan menundukkan kepala di hadapan Nek Uti. “Viola benar-benar tidak sanggup jika harus berjauhan dari Bang Panji. Apa lagi kalau harus melihat Bang Panji bahagia dengan wanita lain. Viola gak sanggup, Nek. Viola benr-benar bingung.”
“Sayang, kamu gak boleh berpikir seperti itu,” ucap Nek Uti sembari menghapus air mata Viola yang kembali jatuh meninggalkan lintasan di kedua pipinya. “Nenek yakin, Panji bukan tipikal lelaki yang akan melakukan hal itu hanya untuk mendapatkan kehidupan yang kata kamu sempurna. Panji sangat mencintai kamu, Viola. Dia tidak akan meninggalkan kamu bahkan saat kamu memaksanya untuk melakukan hal itu.” Nek Uti mengusap kepala Viola lembut. “Lihat, dia bahkan akan semakin jatuh cinta sama kamu kalau melihat ayam panggang buatan kamu ini. Dia pasti akan lebih memilih kamu dibandingkan wanita lain. Kamu percaya sama nenek, oke?”
Viola menganggukkan kepala yang membuat Nek Uti tersenyum lebar. Viola menghapus air matanya sendiri, begitu juga dengan Nek Uti yang ikut menghapus sisa air mata di wajahnya yang keriput. Di sisi lain, Dharma kembali menepuk Pundak Panji yang langsung membuat Panji mengalihkan tatapan padanya. Dharma mengangguk seolah memberikannya isyarat untuk masuk dan mendekati keduanya. Panji menghela napas, menghapus air matanya yang juga ikut tumpah melihat semua pemandangan menyedihkan itu, lantas bersikap seolah-olah tidak mendengar apa pun dengan melangkah masuk mendekati keduanya.
“Wah… aroma apaan ini, wangi banget!” seru Panji lantas mendaratkan kecupan sayang di kening Viola.
“Akhirnya pulang juga,” ucap Nek Uti. “Tuh, tadi Viola masak ayam panggang buat kamu katanya. Untung saja kalian cepat pulang, kalau engggak keburu dingin tuh ayam.”
“Wah, kamu yang masak, Sayang?” tanya Panji dengan kedua mata berbinar-binar.
Viola menganggukkan kepala, “Dibantuin sama Bik Arum dan juga Nenek,” jawab Viola.
“Mbak Viola bohong, Mas Panji!” seru Bik Arum sembari membawakan piring ke ruang makan dan meletakkannya di sisi meja masing-masing. “Bibik Cuma bantuin nyuciin ayam doang. Yang ngeracik bumbu dan manggang di oven ya Mbak Viola. Ya kan, Nek?”
“Benar sekali, semua ini kerjaan Viola. Dengan bantuan resep di internet,” ledek Nenek Uti yang membuat semua orang tertawa mendengarnya. “Ya udah ayo makan dulu, keburu dingin!”
Semua orang langsung duduk di kursi masing-masing. Seperti biasa, Panji menggendong Viola dan menurunkannya di kursi di sebelah tempat duduk Panji. Dharma pun duduk di hadapan Panji sedangkan nenek di hadapan Viola. Semua orang langsung menyantap makanan ayam panggang yang masih hangat di depan mata.
“Wih, enak!” puji Panji yang membuat Viola tersipu malu. “Ternyata gak ada yang gosong kayak telur ceplok yang dulu pernah kamu masak, malah hitam semua!” ledek Panji yang langsunng membuat Viola memukulnya pelan. Nek Uti dan Dharma ikut tertawa melihatnya.
“Jadi masih ragu sama masakan Viola, Ji?” tanya Dharma yang langsung dijawab Panji dengan gelengan kepala.
“Kayaknya kali ini mulai percaya deh, Mas, kayaknya bakalan minta Viola buat masak semua makanan yang aku mau.”
“Ich, Viola belum bisa semuanya, Bang. Ini aja kan karena Cuma dimasukkan ke oven doang, kalau harus goreng atau masak di atas kompor, Viola belum berani!” keluh Viola yang membuat semua orang tertawa mendengarnya.
“Ya… pelan-pelan dong, Sayang,” ucap Panji sembari mengusap kepala Viola. “Abang yakin, kamu pasti bisa masak semuanya nanti.”
“Nah, gimana sekarang, masih mau ngelirik perempuan lain?” ledek Nek Uti yang langsunng membuat semua orang tertawa kecuali Viola yang memanyunkan bibirnya akibat ledekan Nek Uti.
“Kayaknya gak bisa deh, Nek. Udah keburu terkunci nih hati Panji buat cucu nenek, gak bisa pindah ke lain hati lagi,” goda Panji yang lagi-lagi membuat Viola memukul Pundak Panji pelan. Panji berpura-pura kesakitan, yang kembali membuat semua orang tertawa.
“Ya iyalah, udah sempurna gini cucu nenek mana mungkin mau nyariin yang lain lagi,” ucap Nek Uti. “Malahan Panji yang harus waspada, bisa-bisa Viola yang nant disukai banyak lelaki lain.”
“Waduh, kacau kalau gitu, Nek. Mesti di gembok nih pintu hatinya biar gak dimasukin orang lain,” ucap Panji yang kembali membuat semua orang tertawa.
“Hari ini kalian mau ke mana?” tanya Dharma setelah tawa selesai.
Panji melirik ke Viola yang juga meliriik ke arahnya. Sebenarnya, Panji ingin mengajaknya berbelanja hari ini ke malioboro. Namun, keinginan yang sempat dia sampaikan ke Viola tadi pagi sebelum olahraga itu, malah mentah-mentah ditolak Viola. Panji kembali menundukkan kepala, pasrah dengan jawaban Viola yang pastinya kembali menolaknya lagi kali ini.
“Niatnya, Viola sama Panji mau belanja ke Malioboro, Om,” ucap Viola yang jelas saja membuat Panji kaget bukan main. Panji kembali mengalihkan pandangan ke Viola yang kin malah tersenyum lebar sembari menatapnya. “Ada beberapa barang yang mau kami borong, jadi hari ini seharian mau berburu belanjaan. Iya kan, Bang?”
Panji mengangguk dengan gerakan ragu. Nek Uti yang mendengar hal itu, lega bukan main. Padahal dia tahu bahwa Viola hari ini ingin di rumah saja, dan semua itu dia dengar langsung dari Panji sebelum berangkat olah raga tadi. Namun mendengar jawaban Viola, Nek Uti semakin yakin kalau kali ini, Viola akan kembali menjadi Viola yang dulu. Dan semua itu berkat kemampuannya menyelesaikan masakan pagi ini.
***
Gritte tampak panik. Mobil yang dia kendalikan, kini melaju cukup cepat membelah jalanan saat mengetahui ada sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. Semula gritte tidak menaruh curiga apa pun sama mobil itu. Gritte yang berniat ke perusahaan Panji, dengan santainya mengendarai mobil silver kesayangannya. Namun sialnya, semakin lama berjalan, semakin Gritte menaruh curiga pada mobil yang begitu dekat dengannya di belakang. Dia mulai yakin mobil di belakang mengikutinya sejak tadi. Hal itu membuat Gritte menambah lajuan mobilnya secepat mungkin, takut jika mobil itu berhasil menghentikannya dan berbuat nekat padanya.
Entah siapa pengendara mobil itu, kaca depannnya begitu gelap hingga membuat Gritte tidak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya. Entah itu wanita atau pun seorang pria. Yang ada di kepala Gritte hanya berusaha kabur dari kejaran mobil itu. Dia tidak ingin tertangkap. Siapa pun itu, dia benar-benar takut bukan main.
Gritte berusaha meraih handphonenya, mencoba menghubungi Mila, namun sialnya Mila malah tidak menjawab teleponnya. Entah siapa lagi orang yang bisa dia hubungi. Gritte yang menyadari kantor Panji mulai dekat, langsunng menambah laju mbilnya agar bisa berlindung di sana entah sama satpam atau pun siapa pun yang bisa menyelamatkannya dari orang gila yang masih saja mengejarnya. Entah kenapa yang ada di pikirannya adalah Rendy. Lelaki aneh yang terobsesi denganna itu benar-benar membuatnya kelimpungan. Gritte rasanya ingin membunuhnya saja saat ini jika benar orang yang kini mengejarnya memang Rendy.
“Siapa pun, selamatkan gue!” ucap Gritte takut bukan main, dengan cepat Gritte menarik kemudinya untuk berbelok ke kiri. Perusahaan Panji sudah berada di depan matanya. Gritte langsung mengarahkan mobilnya memasuki parkiran perusahaan panji dan dengan cepat ke luar dari mobil bertepatan dengan mobil hitam itu memasuki area perusahaan Panji. Gritte terus berlari menuju pintu masuk, dan tanpa sengaja malah menabrak seseorang yang ternyata Bara. Gritte bersembunyi di balik tubuh Bara yang terlihat risih dengan sikap gritte yang seenaknya memeluknya dari belakang. Semua pasang mata pun mengarah padanya. Bara benar-benar takut jika salah satu dari pemilik kedua mata yang kini terarah padanya, malah mengadukan hal itu pada istrinya yang membuatnya salah paham.
“Apaan sih!” bentak Bara berusaha menjauh dari Gritte. Namun sialnya Gritte malah terus mengikutinya ke mana pun Bara melangkah.
“Selamatin gue, Bara!” ucap Gritte dengan nada suara gemetar ketakutan yang membuat Bara mulai tak tega melihatnya.
“Selamatin dari siapa?” tanya Bara bingung. Menoleh ke sana ke mari berusaha mencar siapa yang kini ditakuti Gritte sampai terus saja bersembunyi di belakang tubuhnya.
“Mobil jeep hitam di sana!” seru Gritte sembari mengarahkan telunjuk kanannya kea rah luar tepatnya di parkiran.
Bara melihat ke luar. Sebuah mobil jeep hitam memang terparkir di sana, tepat mengarah di depan pintu masuk. Mesin mobil itu masih menyala, namun tidak ada yang ke luar dari sana. Bara kembali melirik Gritte yang semakin ketakutan, lantas menyadari semua pasang mata masih tertuju padanya, membuat Bara langsung mengajak Gritte masuk ke lift untuk membawanya ke lantai atas tempat ruangannya berada.
Bara memberikan segelas teh hangat yang sempat dia minta sama Office Boy setelah mengantarkan Gritte masuk ke dalam. Bara duduk di kursinya, menatap Gritte yang meminum gelasnya dengan memegangnya mengggunakan dua tangan. Dia tampak gemetar ketakutan yang membuat Bara tak tega melihatnya. Bara menghela napas panjang, mengecek handphonenya seekedar memastikan taka da pesan masuk dari sang istri yang mengetahui kejadian tadi entah dari siapa. Dan bersyukurnya, tidak ada sama sekali pesan singkat yang Bara takutkan itu. Bara menghela napas lega lantas kembali fokus ke Gritte yang masih meneguk teh hangatnya perlahan. Seteguk demi seteguk yang membuat Bara semakin tak tega melihatnya masih terus ketakutan. Bara menghela napas panjang.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Bara yang cukup penasaran dengan masalah yang dihadapai Gritte kali ini. Semula, dia benar-benar membenci Gritte akibat sikap tak sopan dan angkuhnya selama ini. Namun melihatnya dalam kondisi seperti ini, membuat Panji tak tega melihatnya. Rasanya gritte kali ini benar-benar butuh bantuan darinya, walau Bara sendiri tidak tahu bantuan apa yang bisa dia bantu untuk sekedar menolak Gritte ke luar dari masalahnya sendiri.
“Loe bisa cerita sama gue tentanng masalah yang loe hadapi,” ucap Bara lagi yang sama sekali belum dibalas Gritte, malah untuk sekedar melihatnya pun, Gritte tidak melakukannya. “Mudah-mudahan gue bisa bantu. Tapi kalau pun gue gak bisa bantu, ya… minimal loe bisa lega setelah cerita sama gue.”
“Rendy,” ucap Gritte tiba-tiba yang jelas saja membuat Bara bingung bukan main mendengar sebuah nama yang baru saja disebutkan Gritte. “Namanya Rendy,” lanjut Gritte lagi sembari menarik tatapannya ke Bara yang masih menatapnya menanti kalimat selanjutnya, tentang cerita di balik nama itu.
“Siapa dia?” tanya Bara lagi setelah beberapa detik menanti namun tak kunjung juga Gritte melanjutkan ceritanya.
Gritte menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan, meletakkan gelas ke atas meja dan kembali menatap Bara yang masih duduk di hadapannya. Gritte menatap Bara, dia benar-benar berharap Bara bisa membantunya kali ini terbebas dari Rendy. Gritte benar-benar kehabisan akal untuk menghadapi lelaki seperti Rendy yang tidak juga mengerti, bahwa dia muak dengan semua sikapnya yang cukup keterlaluan.
“Dia lelaki yang terobsesi gue sejak SMA,” lanjut Gritte lagi. “Sudah berulang kali gue tolak, dari mulai dengan cara halus sampai cara kasar, tapi dia gak ngerti juga dan terus saja mengikuti gue ke mana pun gue pergi. Bahkan saat gue memutuskan untuk ke London dulu, dia tiba-tiba juga datang ke sana dan terus mengusik gue selama di sana.” Gritte gemetar ketakutan menceritakan semua yang terjadi padanya.
“Dan dia juga ngejar loe saat loe kembali ke sini?” tanya Bara yang langsung dijawab Gritte dengan anggukan kepala. “Gila, loe ada nawarin dia apaan sih sampai-sampai dia sebegitunya sama loe? Pasti loe ada janjiin sesuatu sama dia sampai dia kayak gitu.”
“Gue gak ada ngejanjin apa pun sama dia!” ucap gritte kesal bukan main mendengar ucapan Bara. “Gue juga gak tau kenapa dia bisa kayak gitu. Jangankan janjiin sesuatu, ngobrol aja gak pernah. Gue gak pernah suka sama tuh anak.”
“Terus alasan dia ngejar-ngejar loe apaan coba?” tanya Bara. “Ya… oke, loe memang cantik, seksi, sempurna, tapi masa dia sampai segila itu ngejar-ngejar loe. Padahal udah jelas-jelas loe tolak. Seharusnya dia sadar dan bisa nyari wanita lain yang lebih dari loe, yang bisa nerima dia apa adanya, bukan malah terobsesi ngejar loe terus menerus sampai detik ini, kan?”
“Gue gak tau, Mas,” ucap Gritte yang jelas membuat Bara kaget mendengarnya memanggil dirinya dengan sebutan ‘MAS’. Selama ini Gritte malah memanggilnya loe atau nama. Namun kali ini dia benar-benar tampak berbeda.
“Apa gak sebaiknya loe lapor polisi?” saran Bara.
“Percuma, dulu gue sempat ngelaporin dia ke kantor polisi, tapi tetap aja dia gak jera juga. Pihak polisi malah menganggap bahwa dia tidak bersalah karena tidak pernah menyakitiku sama sekali.”
Bara menghela napas panjang. Berusaha mencari cara agar bisa membantu Gritte terlepas dari lelaki itu meski pun dia sadar, ini bukan urusannya. Namun melihat Gritte ketakutan seperti itu, membuat Bara tidak tega membiarkannya sendrian melawan Rendy yang menurutnya, sudah keterlaluan.
“Sebaiknya loe cari pacar deh, biar dia mundur,” ucap Bara lagi yang membuat Gritte menghela napas. “Karena kalau dia ngelihat loe udah sama orang lain, pasti dia sadar diri.”
“UDah pernah gue coba, tapi dia malah terus ngejar gue. Biar pun gak sampai ngeganggu hubungan gue, tapi dia tetap nungguin gue sampai putus,” jawab Gritte yang semakin membuat Bara bingung bukan main. “Loe bisa bantuin gue kan, Mas?” tanya Gritte lagi yang langsunng membuat Bara meragu. Dia bukanlah siapa-siapa. Dan rasanya terlalu berisiko baginya untuk bisa membantu Gritte terlepas dari lelaki itu. Pernikahannya terancam jika dia terlalu membanntu Gritte. Mengingat istrinya sendiri pun pencemburu kelas berat.
“Gue gak bisa banyak bantu, Te,” ucap Bara yang membuat Gritte terdiam, menundukkan kepala sedih bukan main. “Gue sudah punya istri, dan kalau gue terlalu ikut campur sama masalah wanita lain di luar pekerjaan, gue takut berakibat fatal sama pernikahan gue.”
“Tapi kan kita gak ngapa-ngapain, Mas!” seru Gritte berusaha meyakinkan Bara untuk bisa menolongnya terbebas dari Rendy.
“Gue tau kita gak bakalan ngapa-ngapain, tapi gue lebih tau sifat istri gue seperti apa, Te,” ucap Bara sembari mengingat wajah wanita yang sangat dia cintai itu. “Dia paling tidak suka jika gue terlalu dekat dengan wanita lain di luar pekerjaan gue, dan gue gak mau merusak kepercayaannya dan malah membuat dia terus menerus curiga sama gue. Gue harap loe bisa paham maksud gue ya, Te.”
Gritte menghela napas panjang. Penolakan halus dari Bara membuatnya benar-benar frustasi memikirkan cara terbaik untuk sekedar menyelamatkan dirinya dari cengkraman Rendy. Gritte meraih kembali minumannya, meneguknya hingga habis, lantas meletakkannya kembali ke atas meja. Meraih tasnya dan berdiri dari tempatnya duduk semula. Bara melihatnya tak tega.
“Kalau begitu, gue permisi dulu, maaf mengganggu,” ucap Gritte.
“Tapi dia masih ada di luar, bisa bahaya kalau loe ke luar sekarang,” ucap Bara sekedar mengingatkannya kalau Rendy pasti masih mnenatinya di luar saat ini.
“Mau sampai kapan gue di sini, lagian dia bakalan terus berada di sana selagi mobil gue masih terparkir di parkiran luar,” ucap Gritte yang langsung dibenarkan Bara dalam hatinya. “Lagian ini masalah gue, gue gak mau kalau orang lain terkena masalah karena gue. Gue permisi ya, makasih udah ngasih gue tempat sementara buat nenangin diri.”
Gritte berbalik, berniat pergi namun kembali terhenti saat Bara memanggilnya. Gritte berbalik, menatap Bara yang kali ini berdiri di dekat kursinya. Bara mendekatinya dan berhenti tepat di hadapan Gritte.
“Bahaya kalau loe pulang sendirian, biar gue yang antar pulang lewat jalan belakang,” ucap Bara yang membuat Gritte terharu. “Mobil gue di belakang, jadi kita bisa ke luar tanpa diketahui lelaki itu.”
“Mobil gue gimana, Mas?” tanya Gritte yang masih bingung memikirkan nasib mobilnya yang tidak mungkin terus menerus terparkir di sana. Biar gimana pun, dia juga butuh mobilnya untuk bepergian ke mana pun dia mau.
“Untuk sementara biar aja mobil loe di sana, nanti supir gue yang bawa pulang,” ucap Bara yang hanya dibalas anggukan oleh Gritte. Bara mengajaknya ke luar dari ruangannya dan pergi melalui lift barang di dekat tangga darurat.
***
Viola tertawa saat melihat Panji memakai topi kerucut di hadapannya. Entah dari toko mana dia membelinya, yang pasti hal sederhana itu berhasil membuat Viola tertawa terbahak-bahak. Sejak sejam yang lalu, Panji selalu berhasil membuatnya tertawa lepas. Ada saja tingkahnya, terkadang Panji menggoda cewek lain yang membuat Viola memanyunkan bibirnya sembari menarik telinga Panji dan kembali tertawa, terkadang dia bernyanyi bersama para pengamen, sekedar menghibur Viola dengan suaranya yang selalu saja dia sengajain lari dari nada. Dan terkadang Panji malah ikut duduk bersama orang-orang yang tidak dia kenal, seolah-olah sudah akrab. Viola benar-benar dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena tingkahnya. Bahkan lucunya, sudah satu jam keduanya berada di malioboro, tapi taka da satu pun barang yang mereka beli. Panji hanya terus mendorong kursi roda Viola, dari ujung jalan Maliobro, hingga ujung satunya lagi. Dan hal itu membuat Viola bingung sebenarnya dia mau apa diajak ke sini.
Panji datanng mendekat, membawa es krim yang baru saja dia beli dan memberikannya ke Viola yang sedang asyik duduk di atas kursi roda sembari melihat beberapa anak yang sednag mencari rezeki sembari bernyanyi menghibur para pengunjung jalan Malioboro. Viola terharu melihat perjuangan semua anak-anak jalanan itu, sembari menjilat esnya, Viola terus menikmati pemandangan itu hingga tanpa mengabaikan Panji yang terus bercerita tentang berbagai hal.
“Kamu dengarin abang, Dek?” tanya Panji sembari menyenggol tangan Viola yang membuat Viola tersentak kaget. “Kamu ngelamun?”
Viola menggelengkan kepala, “Aku Cuma lihat mereka, lucu ya… mereka serba kekurangan, tapi mereka malah terlihat lebih bahagia dibandingkan aku. Mungkin saja mereka tidak punya keluarga, tapi mereka tetap santai menjalani hari sembari bersyukur. Aku yang punya keluarga lengkap, malah tidak pernah bersyukur dan terus mengeluh karena kekuranganku.” Panji tersenyum mendengarnya, Viola menghela napas. “Kalau kita punya anak nanti, aku akan jaga mereka agar mereka merasakan keluarga yang utuh dengan kasih sayang penuh.”
“Aku juga akan membantu kamu,” ucap Panji yang langsung membuat Viola tersenyum lantas kembali menikmati es krim di tangannya sembari memperhatikan lagi semua anak-anak yang kini bernyanyi meredu lagu anak-anak yang mereka hapal dengan baik. Viola tertawa sesekali, yang membuat Panji tersenyum lebar melihat senyumannya merekah. Panji mengusap kepala Viola yang membuat Viola tersenyum ke arahnya tulus.