Gritte melempar tasnya ke atas tempat tidur. Mila yang asyik memainkan handphonenya, langsung kaget bukan main mendapatkan lemparan tas dari sahabatnya itu. Sudah seminggu dia bersama Gritte di apartemen milik Gritte, namun baru kali ini Mila mendapati sikap gritte yang seperti ini.
Mila menghentikan permainannya, duduk menghadap ke arah gritte yang sudah duduk di tepi tempat tidur sembari melepas sepatu hak tingginya. Dia benar-benar bingung bukan main, apa lagi saat melihat Gritte saat ini. Gritte yang dia ketahui pergi untuk berbelanja melepas penat akibat kejadian tadi malam di rumah Alia, malah pulang dengan mood yang semakin berantakan.
“Ada apa sih, Te?” tanya Mila sekedar memancing Gritte untuk mau ngobrol dengannya.
“Loe ingat Rendy?” tanya Gritte dengan nada suara emosi.
Mila tampak berpikir sesaat, “Cowok yang ngejar-ngejar loe di kampus dulu?” tanya Mila yang langsung dijawab Gritte dengan anggukan kepala. “Lha, dia kenapa? Ngehubungi loe?”
“Dia datang ke sini!” jawab Gritte dengan tekanan di nada suaranya.
“Loe serius?” tanya Mila kaget bukan main. “Dia nyusulin loe lagi ke sini?” tanya Mila yang kembali dijawab Gritte dengan anggukan cepat. “Wah, gila tuh anak, terobsesi banget sama loe. Dulu saat tau loe ke London, dia nyusulin loe ke sana. Sekarang dia malah kembali ke Indonesia buat nyariin loe. Heran deh gue, kok dia bisa tau loe di mana.”
“Gue juga gak tau!” jawab Gritte lantas mengambil tas tangannya lagi, memeriksa setiap sisi tasnya yang membuat Mila mengerutkan kening.
“Lagi nyariin apaan?” tanya Mila yang membuat Gritte melempar kembali tasnya ke atas tempat tidur, lantas meraih sepatunya dan mengeceknya lagi. “Te, loe nyariin apaan? Ada yang hilang? Biar gue bantu cari!”
“Bukan, gue cuma lagi ngecek apa ada kamera penyadap di barang-barang gue, sampai-sampai tuh anak bisa tau di mana pun gue berada!” ucap Gritte lantas memilih berbaring di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya diikuti Mila di sampingnya.
Keduanya sudah sejak SMA bersama. Namun semenjak Gritte memilih menetap di London, Mila harus tinggal sendirian di apartemen Gritte yang dia beli dari hasil kerja kerasnya sendiri. Nasibnya sama seperti Gritte, hanya bedanya Mila sejak kecil tidak tau siapa orang tuanya sebenarnya. Dia di buang di panti asuhan, sampai akhirnya diasuh oleh orang tua angkat yang semula baik, namun berubah menyeramkan saat sbulan dia tinggal bersama.
Orang tua angkatnya yang dia anggap setulus malaikat, ternyata hanya ingin memanfaatkannya untuk mencari uang dengan mengemis di jalanan. Mila akhirnya kabur, walau beberapa kali tertangkap. Namun akhirnya, Mila berhasil terlepas dari jeratan dua manusia tak punya hati itu berkat Gritte. Gritte harus membayar uang ke kedua manusia itu agar Mila terlepas dari cengkramannya. Dan alhasil, semenjak itu Mila tinggal bersama Gritte dengan fasilitas lengkap dari hasil kedua orang tua Gritte yang memilih tinggal di London untuk bekerja.
Gritte sendiri sebenarnya memiliki orang tua lengkap. Namun sayangnya kedua orang tuanya tidak pernah peduli dengannya. Gritte hanya diberikan uang dan uang saja, tanpa diberikan kasih sayang yang sebenarya dia butuhkan. Gritte selalu mencari cinta dari orang lain, salah satunya dari aplikasi yang menjadi tempatnya bertemu dengan Panji. Bersama Panji yang walau pun hanya sesaat, Gritte merasa nyaman bukan main. Dia tidak menyangka, Panji yang hanya dia kenal melalui sebuah aplikasi tanpa bertatap muka, malah berhasil membuatnya jatuh cinta teramat dalam hingga melupakan kenyataan, bahwa Panji sudah memiliki wanita di dalam hidupnya. Bukan pacar, melainkan istrinya seutuhnya.
“Gue sebel sama tuh anak, kok bisa dia nongol di mana pun gue berada,” lanjt Gritte masih dengan posisi berbaring di samping Mila. “Padahal udah berulang kali gue tolak, dari mulai secara halus, sampai kasar, sampai gue siram pakai air dingin. Tetap aja ngejar-ngejar. Heran gue!”
“Pesona loe luar biasa sih, makanya jangan cantik-cantik kali!” ledek Mila yang langsunng membuat Gritte tertawa mendengarnya.
Mila benar, jika dilihat oleh kaum lelaki, Gritte memang tipe wanita yang sempurna. Tinggi semampai, dengan tubuh langsing dan rambutnya yang panjang membuat semua mata lelaki angsung tertuju padanya. Tak terkecuali Rendy. Namun anehnya, Panji malah tidak tertarik padanya sama sekali semenjak pertama kali Gritte mengirimkan fotonya lewat aplikasi. Walau pun saat itu bukan Panji yang memintanya, namun saat itu Gritte sempat meyakini kalau Panji akan bertekuk lutut melihatnya tampil cantik dengan rok sedikit di atas lutut.
Tapi sayangnya tidak. Gritte malah diabaikan setelah pengiriman foto itu. Panji malah tidak pernah lagi masuk ke ruang obrolan. Bahkan untuk sekedar aktif di aplikasi itu pun, Panji tidak pernah lagi. Gritte serba salah. Mau nelepon tidak ada nomornya, terus menerus spam chat, tetap tidak dibalas. Hal itu membuat Gritte nekat pulang ke Indonesia berdasarkan alamat yang sempat diberikan Panji saat mengobrol dengannya.
“Kalau dia memang jodoh loe, gimana?” tanya Mila yang langsung menrik minat Gritte untuk mengganti posisinya. Gritte langsung miring ke Mila berada, menarik rambutnya yang membuat Mila menjerit kesakitan. Selalu saja, tidak pernah berubah. Gritte selalu saja suka menarik rambut Mila yang sebahu dan lurus hitam itu. Hal itu membuat Mila sering kesal melihatnya.
“Bisa gak sih jangan narik-narik rambut! Sakit tau!” gerutu Mila sembari menggosok-gosok kepalanya.
“Loe kelewatan, pakai nanya kayak gitu segala!” bentak Gritte lantas bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju cermin panjang di samping meja riasnya.
“Kan siapa tau, Te, bukan maksud ngedoain loe sama dia,” balas Mila sembari duduk menatapnya dari tempat tidur. “Lagian, tuh anak kayaknya baik, setia, dan tidak pelit sama sekali. apa pun yang loe minta, selalu dia wujudkan dengan susah payah. Bahkan barang-barang mewah sekali pun, dan dia gak mampu beli, pasti dia usahakan. Kerja ke sana ke sini kek biar bisa beliiin apa yang loe mau. Loe masih ingat saat dia rela jadi tukang bersih-bersih di café cuma demi beliin tas bermerk buat loe? Gila, gue salut banget sama tuh anak sampai segitunya!” seru Mila dengan kedua mata berbinar-binar mengingat kejadian itu.
“Kalau loe mau, ambil saja gih. Gue ogah!” ucap gritte lantas berlalu pergi memasuki kamar mandi yang juga berada di kamar itu.
Mila menghela napas panjang. Ada ekspresi sedih di wajahnya yang tidak bisa dilihat oleh Gritte. Sesaat dia menundukkan kepala, menyentuh cincin emas yang melingkar di jari manisnya lantas kembali menghela napas.
“Andai bisa, gue pun mau, Te. Tapi gue gak bisa,” ucap Mila dengan nada suara bergetar menahan tangis.