“Viola!” serunya. “Viola masuk rumah sakit, asmanya kambuh!”
Rasa kaget seketika menyerang Aldo. Dia berlari ke dalam kelas, dan merampas tali tasnya yang sejak tadi ada di atas meja. Berlari melewati Mawar tanpa basa-basi terlebih dulu.
Panji memainkan sendok berisi bubur di atasnya ke arah Viola. Viola yang sudah duduk bersandar di tempat tidur, hanya memanyunkan bibirnya setiap kali suapan Panji melesat bukan ke arah mulutnya berada. Tawa Panji terdengar di atas kekesalan Viola. Berulang kali Viola memukul tangan cowok tampan itu, namun tetap saja, cowok itu malah semakin usil padanya.
Panji kembali mengarahkan tangannya yang membawa sendok berisi bubur mendekati bibir Viola. Tatapan curiga melesat ke arahnya, yang membuat Panji kembali tertawa lucu. Viola membuka mulutnya dan bersiap menerima suapan Panji, namun sayangnya tidak segampang itu. Panji kembali memainkannya dengan melesatkan sendok ke arah hidungnya.
Viola merengek manja. Mengelus-ngelus hidungnya yang terdapat sisa bubur di sana. Panji tetap saja tertawa. Rambutnya sedikit bergoyang akibat getaran yang ditimbulkan tubuhnya akibat tawa yang tak tertahankan. Viola memanyunkan bibirnya dan langsung menggenggam tangan Panji yang masih memegang sendok berisi bubur di atasnya. Panji mendengus kesal saat Viola berhasil membawa tangannya mengarah ke mulutnya, sedangkan Viola tersenyum kemenangan akibat makanannya berhasil masuk tanpa keisengan Panji lagi.
“Bang, mama gak curiga?” tanya Viola sesaat setelah beberapa menit kehening-an menyapa.
“Gak, mama percaya kok kalau kamu nginap di rumah Mawar,” jawab Panji. “Dan beruntungnya, Mawar mau bantu.”
“Jadi Mawar tahu?” Viola mempererat pelukannya di boneka panda miliknya yang sejak tadi pagi, dibawa Panji. Panji memutuskan untuk pulang mengambil beberapa pakaian, lalu kembali dan membawa beberapa pesanan Viola yang di antaranya adalah novel dan boneka kesayangannya.
“Ya iyalah, Vi. Kalau dia sampai ditanyain mama sebelum kita ceritain apa yang terjadi saat ini, bisa gawat kan?”
Viola mengangguk pelan, “Tapi kan ….”
Suara pintu terbuka menghentikan kalimat Viola. Sosok Aldo berdiri di sana dengan wajah khawatir walau ada senyuman tergaris di bibirnya. Panji mendengus kesal sembari meletakkan piring bubur ke atas meja kecil di samping tempat tidur Viola. Sementara Viola sendiri, hanya tersenyum menyapanya.
“Aldo, kamu tahu dari mana aku dirawat di sini?”
“Dari Mawar,” jawabnya. “Siang, Bang.”
“Siang!” Panji berdiri dan mundur beberapa langkah, berniat keluar dan meninggalkan keduanya. Namun dengan cepat Viola mencegah. Panji tersenyum, sedangkan Aldo yang ingin berdua dengan Viola, menatap tak percaya.
“Abang jangan keluar, di sini aja.” Viola mengalihkan pandangannya ke Aldo. “Gak pa-pa kan, Al?”
Dengan berat hati, Aldo menggelengkan kepala. Viola tersenyum lebar sedangkan Panji melangkah lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar inap.
Suasana kaku terjadi. Aldo yang sejak hadir duduk di samping tempat tidur Viola, hanya bisa berbasa-basi menanyakan hal yang sebenarnya tak perlu ditanyakan. Viola sendiri lebih fokus ke Panji. Dengan antusias, Viola menceritakan tingkah Panji yang sejak tadi memain-mainkan sendoknya. Panji pun membalas kalimat Viola dengan mencoba membantah setiap kalimat Viola. Sedangkan Aldo, hanya tersenyum tipis sekedar menghargai.
Panji keluar dari kamar beberapa saat kemudian. Dia butuh udara segar untuk melapangkan sakit di dadanya. Entah rasa sakit apa itu, yang pasti rasa sakit itu menyulitkannya bernapas jika lebih lama berada di dalam. Menyaksikan adegan demi adegan mesra yang sengaja dilakukan Aldo pada Viola. Bahkan ucapan sayang dari Aldo pun, terasa begitu menyakitkan untuk dia terima. Panji memilih duduk di kursi panjang di depan kamar sembari memainkan handphonenya.
Tidak berapa lama, pintu kamar kembali terbuka. Aldo keluar dan duduk di samping Panji. Lirikan Panji menghadirkan senyuman di bibirnya. Kesempatan ini, tak ingin dia sia-siakan. Panji memasukkan handphone kembali ke dalam saku celana lalu menghela napasnya.
“Loe serius sama Viola?” Pertanyaan Panji mengagetkan Aldo. Dia tidak menyangka pertanyaan itu bisa keluar dari bibir Panji. Dengan sekali hembusan napas panjang, Aldo menyandarkan tubuhnya ke belakang lalu tersenyum tipis.
“Gue serius, Bang. Gue sangat mencintai Viola.”
Panji menghela napasnya. Mencoba tetap tenang walau hati kalut luar biasa, “Viola itu sangat berharga buat gue. Sekali aja gue ngelihat dia nangis cuma gara-gara elo, gue gak segan-segan ngebunuh loe!”
Aldo menelan ludahnya. Ngeri. Kalimat Panji jelas membuatnya takut tingkat tinggi. Hawa dingin yang keluar dari pendingin ruangan, tak mempan menepis hawa panas yang kini mengitari tubuhnya.
“Gue janji, Bang.” Hanya itu yang mampu dia ucapkan. Rasanya dia benar-benar harus serius menjalani hubungannya dengan Viola. Ancaman Panji membuatnya takut. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Yang dia sendiri pun, tidak tahu apa itu.
Panji mengangguk. Dia langsung bangkit dan kembali masuk ke dalam kamar sesaat setelah meminta Aldo untuk pulang. Aldo hanya mengangguk dan menatap Panji yang tidak lagi berpaling padanya. Dengan helaan napas yang cukup berat, Aldo melangkah pergi tanpa berpamitan lebih dulu dengan Viola yang saat itu, tertidur pulas.
***
Viola tertawa kecil saat tubuhnya dibaringkan Panji di dalam kamarnya. Sikap paksa Viola yang ingin keluar dari rumah sakit lebih awal, memang membuat Panji luluh juga dan memutuskan untuk mengabulkan permintaan Viola yang sejak dulu memang tidak betah berlama-lama di rumah sakit. Bau obat-obatan yang menusuk hidung serta nuansa horror yang selalu dibayangkan Viola seperti di film-film horror yang dia tonton, membuatnya enggan menetap terlalu lama di sana.
Panji menyelimuti tubuh Viola lalu berbaring di sampingnya. Menggenggam tangan kanannya dan tersenyum menatapnya, “Abang gak bakalan buat adek sakit lagi, janji deh,” ucap Panji yang berhasil membuat Viola tertawa geli.
“Iya-iya, kayaknya tuh kalimat udah seribu kali deh abang bilang, bosen!”
Panji menjepit hidung Viola dengan jemari tangannya. Viola terpekik kesakitan dan hal itu membuat Panji tertawa geli. Viola melirik kesal, lalu dengan sengaja ia memainkan jemarinya di perut Panji. Tubuh Panji menggeliat hebat menahan geli. Berulang kali dia menghindar, namun semuanya sia-sia. Jemari Viola semakin brutal di perutnya, yang membuat rasa geli semakin menghujam tanpa jeda.
“Udah dong, Vi!!!” jerit Panji yang mulai gak kuat.
“Malas, siapa suruh jepit-jepit hidung orang!”
Panji semakin menggeliat sampai akhirnya menarik tubuh Viola ke dekat tubuhnya. Kedua wajah itu begitu dekat, hingga napas Panji, terasa mengibas wajahnya. Viola terdiam. Degupan jantungnya terasa semakin lebih cepat dari semula. Panji menepis lembut rambut yang menutupi kening Viola hingga kedua mata itu beradu penuh keteduhan.
Waktu seakan terhenti. Keteduhan terpancar dari kedua mata Panji. Rasa nyaman hadir memeluk Viola yang sejak dulu, sangat menyukai pancaran mata itu. Begitu menenangkan hingga ia mampu melupakan segalanya. Dan hal ini, tidak pernah dia rasakan saat bersama Aldo.
“Abang cinta sama Vio.”
Viola menatapnya tanpa henti. Kalimat Panji jelas membawa hawa kaget ke dirinya. Dia tidak percaya dengan ucapan Panji. Cinta … rasanya kalimat itu membuat Viola melayang. Begitu bahagianya dia sampai-sampai melupakan sosok Aldo yang kini mengikatnya dengan hubungan pacaran. Panji tersenyum lalu mendaratkan kecupan hangat ke kening Viola. Cukup lama, hingga kecupan itu jelas membuat Viola merasa sangat dicintai oleh Panji. Viola hanya tersenyum saat kedua mata kembali terpaut. Dan Panji pun hanya bisa membalasnya dengan senyuman lebar sembari membelai kepala Viola tanpa henti.
Kejadian tadi malam membuat senyuman terus terukir di bibir tipis Viola. Langkahnya riang menyusuri koridor sekolah. Kedua matanya berbinar-binar. Rasa bahagia itu masih saja memeluk erat tubuhnya. Rasa berbeda itu masih terasa begitu kuat di hati hingga membuatnya tak kuasa menepis senyuman di bibir.
Aldo yang saat itu asik mengobrol dengan beberapa sahabatnya di depan kelas, terdiam membisu saat sapaannya ke Viola, sama sekali tidak digubris gadis pujaannya itu. Viola malah terus melangkah tanpa sekali pun melirik atau sekedar membalasnya. Beberapa sahabatnya menatap heran. Rasa malu mendera Aldo yang hanya bisa tertunduk menutupi wajah memerahnya.
Viola duduk di kursinya tepat di dalam kelas. Senyam-senyum lagi sambil mengingat kejadian tadi malam. Mawar yang baru saja hadir di kelas, terlihat kesal dengan sikap Viola pagi itu. Kalimat Aldo yang memberitahukannya tentang sikap aneh Viola hari ini, membuatnya benar-benar kecewa bukan main. Bahkan sampai dia duduk di samping pun, Viola sama sekali tidak memedulikannya.
“Loe kenapa?!” Suara Mawar menarik tatapan Viola menuju ke arahnya yang masih menatap kesal. Senyuman di bibir Viola, begitu lebar. Kedua matanya berbinar-binar seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Loe kenapa sih?” Pertanyaan yang sama kembali terulang di bibir Mawar. “Sampai-sampai teguran Aldo pun gak diopenin!”
“Aldo? Mana?” Viola celingak-celinguk mencari sosok Aldo yang sama sekali tidak dia temukan.
“Ya ampun nih anak, tadi tuh gue jumpa sama Aldo dan dia cerita semuanya kalau loe, gak balas sapaan dia!”
Viola menggaruk-garukan kepalanya. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Aldosaat itu. Bayangan Panji terus berputar di kepala yang membuatnya melupakan segalanya.
“Yeee, malah ngelamun lagi!” ucap Mawar sambil membuka tasnya dan mengeluarkan cermin yang selalu dia bawa. Memerhatikan wajahnya untuk memastikan bedak yang dia pakai, tidak terlalu tebal.
“Gue lagi seneng nih!” Viola mengarahkan tatapannya ke Mawar.
“Ya seneng kenapa?” tanya Mawar tanpa melihat ke Viola. Mawar masih sibuk menipiskan bedaknya yang tidak rata di bagian pipi sebelah kiri.
“Bang Panji perhatiannya pake bingit, gue seneng banget deh, War.” Viola berusaha menyembunyikan apa yang terjadi. Dia tidak ingin Mawar menaruh curiga hingga membuatnya membenci dirinya.
“Gitu aja?” Mawar mengernyitkan dahi. “Cuma gara-gara itu, loe nyuekin Aldo?”
Viola kembali tersadar. Sikapnya pada Aldo yang sama sekali tidak menaruh perhatian, memang cukup menyakitkan untuk Aldo. Bahkan sejak dia masuk rumah sakit sampai sekarang pun, bisa dihitung berapa kali Viola mengirimkan pesan singkat ataupun sekedar menghubunginya. Viola malah terlalu terpusat pada Panji. Hanya butuh perhatian dari Panji dan tidak membutuhkan sosok lain terutama Aldo yang seharusnya dia butuhkan.
“Loe harus sadar, Vi. Aldo itu pacar loe!” Viola mengalihkan tatapannya ke Mawar yang tampak emosi. “Dia bilang sama gue, loe kenapa berubah. Loe kenapa jarang hubungi dia. Bahkan dia selalu nanya kondisi loe sama gue. Perasaan loe di mana sih?!”
Viola menundukkan kepala. Tidak ada satu patah kata pun yang mampu ia ucapkan. Penyesalan hadir di hatinya. Rasa sakit yang dirasakan Panji, jelas pernah ia rasakan dulu, saat ia mulai jatuh cinta pada sosok tampan itu. Mencoba menarik perhatiannya dengan mengirimkan pesan basa-basi, salah nomor telepon sampai mengobrol di inbox f*******:, namun Aldo sama sekali tidak menggubrisnya. Viola menghela napas menyadari semua kesalahannya.