BAB 12

1348 Kata
            Viola menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Ini sudah ketiga kalinya dalam tiga hari berturut-turut Panji tidak menjemputnya di sekolah. Alhasil, Viola harus menanti bis di halte berjam-jam dan berdesak-desakan dalam bis. Cuaca yang cukup panas, membuat Viola benar-benar letih saat itu. Rasa lapar yang sebelumnya menderu, kini hilang berganti rasa capek yang teramat sangat.             Sebenarnya, Viola bisa saja meminta diantarkan pulang sama Aldo. Tapi rasanya, ada beban yang teramat sangat dia rasakan kalau sampai hal itu dilakukan. Panji bisa-bisa bertambah marah, bahkan bisa jadi tidak memaafkannya. Dan hal itu membuat Viola mengurungkan niat dan memilih pulang sendiri.             Sikap Panji masih sama. Dingin bahkan selalu menjauh darinya selama di rumah. Berulang kali Viola meminta maaf atau sekedar mengetuk pintu kamarnya, namun tetap saja sikap dingin menguasainya. Viola juga selalu mendapati Panji pergi lebih dulu saat pagi tanpa menantinya sarapan seperti biasa. Dan semua itu membuat Viola dilanda kesedihan.             Kedua matanya terpejam. Rasa kantuk menguasainya. Tanpa ia sadari, Panji masuk ke dalam kamar dan duduk di sampingnya. Menatapnya dengan wajah pilu. Belaian lembut di kepala Viola pun, tak mampu ia rasakan. Dia takut, Viola akan bangun hanya karena sentuhan tangannya.             “Maafin abang ya, Vi,” ucap Panji lirih sembari kembali bangkit dan keluar dari kamar Viola. Bersandar di pintu dengan sesekali menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Berat rasanya menjauhi Viola yang sejak dulu selalu mampu membuatnya tenang. Berat rasanya jika satu hari saja tidak mengobrol dengannya. Namun, kejadian itu kembali membuat Panji menegaskan tatapannya. Kehadiran Aldo benar-benar mengalihkan dunia indahnya. Mengambil seluruh tawa, yang seharusnya hanya untuknya.             Sore itu, Viola mencoba meminta maaf kembali ke Panji yang baru saja keluar dari kamar. Dia bertekad hari ini juga harus berhasil membuat Panji kembali seperti semula. Dia cukup lelah dan rasanya ada yang berbeda saat Panji marah padanya. Sejak kecil, hanya Panjilah yang selalu membelanya walau dia salah. Sama sekali tidak pernah keluar kata kasar dari bibirnya. Karena itulah Viola merasa ada yang aneh semenjak Panji membangun benteng tinggi yang sulit Viola tembus.             “Abang kenapa kayak gini sih, kan Viola udah minta maaf!” ucapnya sembari terus melangkah mengikuti Panji yang mulai menuruni tangga. “Bang, jawab dong!!!”             Panji tetap diam. Dia melangkah menuju dapur lalu meraih sebuah gelas dan menuangkan air minum ke dalamnya. Viola menatapnya heran.             “Viola tahu kalau Vio salah, tapi kan gak mesti kayak gini!” ucapnya lagi dengan napas memburu. Emosi kian menggerogoti dirinya.             “Ya udahlah, Vi. Ngapain juga mikirin abang, toh sekarang udah ada Aldo yang bisa merhatiin kamu. Jagain kamu. Buat kamu ketawa. Ya kan?” Panji mulai membuka suara setelah meletakkan kembali gelas ke atas meja. Seluruh isinya habis dia masukkan ke mulut. Ada rasa lega di d**a akibat aliran air itu, namun sikap dingin masih saja dia keluarkan.             “Tapi beda rasanya, Bang!” Viola menarik lengan Panji untuk menghadapnya.             “Apanya yang beda, sama aja kan?!” Panji kembali mengalihkan tatapannya menatap ke luar jendela dan membiarkan Viola berada di belakangnya.             “Bang, tolonglah jangan kayak gini. Abang kayak anak kecil lho!”             “Iya, mungkin abang memang kayak anak kecil!” ucap Panji. “Tapi bukannya kamu yang sejak dulu ngelarang abang buat punya pacar? Dan sekarang dengan gampangnya kamu punya pacar dan ngebagi waktu kamu ke dia. Iya kan?!” Panji menatap Viola dengan tatapan emosi. Napasnya seakan mampu menyentuh wajah Viola yang kini hanya berjarak sejengkal darinya. Ada garis emosi di wajah Panji yang mampu ditangkap Viola.             Viola menyentuh dadanya. Secara tiba-tiba sesak di d**a memburunya hebat. Napasnya terus tak mampu ia kuasai. Panji yang menyadari asma Viola kambuh, langsung menyentuh kedua lengannya. Mencoba menenangkannya, namun sayang … Viola malah semakin tak mampu menarik napas panjang. Dengan gerakan cepat, Panji mengangkat tubuh Viola dan membawanya ke lantai atas, tepat di kamar Viola. Mencari alat pernapasan yang selalu dipakai Viola, namun semuanya berakhir sia-sia. Obat itu habis. Dan Viola sendiri yang memang sudah cukup lama tak terserang asma, enggan membelinya.             “Sa, sa … sakit, Bang!” desah Viola sambil terus mengatur napasnya yang mulai menyesakkan. Tangan kanannya, menyentuh dadanya yang begitu perih dirasakan. Tanpa pikir panjang lagi, Panji langsung menggendongnya dan melarikannya ke rumah sakit terdekat.             Sikap khawatir jelas terlihat dari sosok Panji yang kini masih menanti seorang dokter keluar dari satu ruangan tempat Viola dirawat. Mondar-mandir di depan pintu sambil menghela napas berulang kali. Sudah hampir lima tahun Viola tak terserang asma, dan kali ini cukup membuat Panji tak bisa menahan gejolak kekhawatirannya.             Seorang dokter keluar dari ruangan tempat Viola dirawat. Panji mendekatinya dan langsung menanyakan keadaan Viola.             “Keadaannya udah kembali normal, dia hanya butuh istirahat saja.” Jawaban sang dokter melegakan hati Panji. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih sebelum dokter bernama Aryo itu berlalu dari hadapannya. Panji memutuskan untuk masuk dan mendekati Viola yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur.             Raut kesedihan terpancar dari wajahnya. Digenggamnya erat tangan kanan Viola, mendaratkan bibirnya di punggung tangan Viola lalu kembali menatapnya. Wajah pucat terlukis di wajahnya.             Masih teringat jelas kata maaf yang selalu terucap dari Viola. Berulang kali ia berusaha, namun dengan egoisnya, dia malah mengabaikannya. Andai saja saat itu dia sedikit memberi kelapangan hati untuk sekedar memaafkan atau malah menerima Aldo sebagai pacar Viola, mungkin saja hal ini tak kan pernah terjadi. Viola masih bisa tertawa bersamanya atau sekedar memuji masakannya seperti biasa.             “Vi, maafkan abang.” Lirih terdengar suara Panji yang kini duduk di samping tempat tidur Viola. Tak terdengar balasan kalimat Panji. Hal itu semakin membuat Panji dilanda kesedihan.             Kejadian lima tahun yang lalu saat asma kembali menyerang tubuh Viola sehabis kegiatan di sekolah berlangsung, kembali berputar di kepala Panji. Saat itu, Viola yang baru saja duduk di bangku SMP, selalu dikerjain beberapa kakak kelasnya akibat statusnya yang masih siswi baru. Viola disuruh lari keliling lapangan, membersihkan kamar mandi serta mencari beberapa nama senior yang mereka pinta, dengan sesekali membohonginya agar Viola semakin susah mencari.             Kejadian itu membuat Viola harus masuk rumah sakit. Panji yang tidak terima dengan sikap itu, langsung mendatangi pihak sekolah dan memaki tanpa ampun beberapa siswa, yang berhasil menyiksa Viola. Alhasil semenjak kejadian itu, semua senior Viola tidak ada lagi yang berani mendekat. Siapapun yang berani, bakalan berhadapan langsung dengan Panji yang gak akan segan-segan melayangkan tinjunya.             Lamunan tentang kejadian itu buyar saat Panji merasakan tangan Viola membalas genggamannya. Sesaat ia mengalihkan tatapannya ke tangannya, namun saat suara Viola terdengar lirih memanggilnya, Panji kembali mengalihkan tatapannya ke kedua mata Viola yang sudah terbuka. Panji tersenyum senang melihatnya dan langsung mencium kening Viola lembut.              “Maafin Viola.” Terdengar terbata-bata suara Viola saat itu. Air mata jatuh membasahi bantal tempat kepalanya berada.             Panji mengusap kepala Viola dengan bibir bergetar menahan tangis, “Viola gak salah, abang yang salah.”             “Tapi Vio udah ngecewain Abang.” Viola mengalihkan tatapannya ke Panji yang kini mencoba meneduhkan tatapannya.               “Gak pa-pa kok, Vi. Jangan pikirin itu ya. Abang udah gak peduli sama janji itu,” ucap Panji. “Mulai sekarang, Viola boleh kok pacaran sama Aldo. Abang gak akan marah dan gak bakalan kecewa.”             Viola terdiam. Ada satu rasa tak terima di hati kecilnya. Di satu sisi dia senang dengan izin yang diberikan Panji. Namun di sisi lain, Viola merasa bahwa keputusan Panji menerima hubungannya, sangat tidak ia inginkan. Perasaan aneh itu membuat Viola diam seribu bahasa. Sedangkan Panji terus membelai kepalanya lembut dengan senyuman di bibir.             Mawar berlari menyusuri koridor sekolah. Wajahnya panik. Sesekali ia menabrak beberapa murid, namun dia tetap saja tidak peduli. Tanpa meminta maaf, Mawar langsung berlari dan berhenti di depan kelas yang tertulis XII IPS-2. Kabar buruk yang dia terima tadi pagi, membuatnya tanpa buang-buang waktu langsung melesat menemui Aldo.             “Aldo!” teriaknya sembari mengarahkan tatapannya ke segalanya penjuru kelas. Mencoba mencari Aldo dengan napas yang masih memburu hebat. Beberapa murid, menatapnya bingung. Bahkan ada beberapa yang menatapnya kesal akibat teriakannya yang cukup mengganggu.             Aldo yang saat itu asik ngobrol dengan temannya, langsung menoleh dan melangkah mendekati Mawar. Deru napas Mawar yang masih tidak seirama, membuat Aldo dilanda ketakutan, “Ada apa, War?” Aldo menatapnya lamat-lamat. Mencoba tetap mengontrol ketakutan yang hampir menguasai hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN