Panji berdiri sambil mengelap bibirnya dengan sapu tangan, “Panji udah kenyang, permisi!” Panji melangkah melewati belakang kursi Viola. Berhenti sesaat dan menatap bagian belakang tubuh Viola. Viola meliriknya namun dengan cepat kembali memusatkan pandangannya ke arah piring miliknya.
“Panji, duduk!” perintah mama. Namun Panji tetap saja kembali melanjutkan langkah pergi tanpa berniat berbalik. Luna langsung menundukkan kepala. Berpura-pura sedih agar dapat perhatian dari mama dan juga papa.
Mama memutuskan untuk pamit dari ruang makan dan melangkah menyusul Panji. Papa yang bingung harus melakukan apa, hanya bisa meminta Aldo dan Luna untuk kembali melanjutkan makan malam. Sekilas Luna mengarahkan tatapannya ke Viola yang menatapnya penuh amarah. Namun kembali Luna menjulurkan lidah disusul senyuman sinis darinya.
Mama membuka kasar pintu kamar Panji. Terlihat Panji duduk di balkon kamarnya tanpa menoleh ke arah mama yang kini sudah di belakangnya. Berulang kali mama menghela napas memberi isyarat bahwa ia ingin bicara, tapi Panji sama sekali tidak juga berbalik.
“Kamu ini maunya apa, Ji. Mau buat mama dan papa malu di depan Aldo dan Luna. Iya?” Terkesan penuh emosi nada mama saat itu.
Panji menghela napas tanpa berbalik, “Mama ngapain pake ngundang Luna segala!”
“Kenapa, bukannya jelas kalau mama ingin ngedekatin kamu dan Luna biar bisa jadian seperti adik kamu.”
Panji berbalik. Menatap mama yang kini mengarahkan tatapannya tajam kepadanya, “Mama lupa sama perintah mama sendiri ke Viola?” tanya Panji. “Bukannya mama sendiri yang ngelarang dia buat pacaran sampai lulus kuliah? Tapi kenapa sekarang malah ngizinin!”
Mama gugup. Panji yang mendapat gelagat aneh mama, langsung mendekatinya dan menatapnya lamat-lamat, “Kenapa, Ma?” Panji kembali bertanya sesaat setelah berada di hadapan mama.
“Ya, karena mama ngerasa kalau … kalau Viola udah besar. Itu aja.” Mama masih tampak gugup. Dia enggan membalas tatapan Panji yang masih mengarah padanya. Demi menghindari pertanyaan demi pertanyaan yang bakalan menyusahkannya, mama memutuskan pergi. Panji sendiri menepis pukulan ke udara. Kekesalannya semakin bertambah dengan sikap mama malam ini yang tidak lagi mendukungnya.
Viola berjalan bersama Aldo di depan rumah. Acara makan malam yang berakhir kejadian tidak mengenakan dari Panji, membuat Viola bukan main tidak enak pada Aldo. Berulang kali Aldo berkata tidak apa-apa, namun Viola masih saja merasakan ada keganjalan di hatinya.
Viola menutup pintu rumah. Aldo yang baru saja pulang, menghadirkan rasa takut yang teramat sangat di hatinya. Dia takut menghadapi sikap Panji seorang diri di rumah. Mama dan papa yang secara tiba-tiba mendapat kabar bahwa Nenek Uti yang tinggal di Cirebon masuk rumah sakit, memuat keduanya pergi malam itu juga. Meninggalkan Viola yang hanya berdua dengan Panji di rumah.
Viola langsung menaiki tangga. Rasanya dia cukup lelah hari ini. Ingin menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Berharap Panji tidak berdiri menantinya di lantai atas dengan tatapan menakutkan. Namun sayang, sesuatu yang tidak diharapkan menusuk kedua matanya. Viola malah menemui Panji duduk di pinggir tempat tidur dengan kepala menunduk. Rasa takut memeluk erat Viola. Dia terpaku di depan pintu, tak berani mendekat.
“Tutup pintunya!” Kasar terdengar nada suara Panji.
Viola mengikutinya. Dia menutup pintu kamar lalu bersandar di pintu sambil meremas kedua tangannya seperti biasa.
“Sini!” Pinta Panji tanpa menoleh padanya. Viola kembali menurut. Dengan langkap berat, dia mndekati panji dan berhenti di hadapannya. Kepalanya menunduk, tidak berani bertatapan dengan Panji yang masih menundukkan kepala.
“Udah bisa ngecewain abang?” Terasa dingin nada suara Panji saat itu.
“Viola gak bermaksud kayak gitu, Bang. Lagian abang sendiri kan yang bilang kalau Viola terserah mau terima apa gak.” Viola mencoba membela diri dengan pernyataan Panji waktu itu. Berharap alasannya kali ini mampu diterima Panji dan dapat meredakan emosinya yang masih belum stabil.
“Tapi seharusnya kamu ngerti kalimat abang saat itu, Vi!” Panji menatapnya marah. “Abang bukan setuju, tapi abang kecewa sama sikap kamu saat itu!”
Air mata menetes keluar dari kedua mata Viola. Dia semakin memperkuat remasan tangannya sendiri. Rasa takut dan menyesal menjadi satu. Tidak pernah ia bayangkan kalau Panji akan marah seperti ini. Biasanya, Panji selalu mampu meredam emosinya walau pun kesalahan ada pada Viola. Dia selalu bersikap lembut. Bahkan untuk menasehati Viola pun, dia tidak pernah meninggikan nada suaranya.
Tangisan Viola yang sejak dulu selalu berhasil membuat Panji lemah, kini tampak kembali berhasil. Panji menghela napasnya lalu menatap Viola yang masih menundukkan kepala, “Cepat tidur dan jangan begadang!” Panji melangkah meninggalkan Viola yang terdengar memanggilnya. Panji sempat berhenti tanpa berbalik.
“Viola gak berani tidur sendirian, Bang,” ucapnya di sela isakan tangis.
“Udah besar kan? Tidur sendiri!” Panji membuka pintu dan pergi dengan setengah membanting pintu kamar. Viola duduk di pinggir tempat tidur sambil menangis. Ada rasa sakit di hatinya atas sikap Panji. Entah mengapa dia selalu lemah dan takut jika Panji marah. Namun kali ini dia telah membuat satu kesalahan yang pantas merubah sikap Panji kepadanya.
Viola melangkah di lorong sekolah dengan wajah ditekuk keesokan harinya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan dia tak tidur tadi malam. Melangkah gontai dengan sesekali menarik napas lalu menghembuskannya.
Sikap Panji berlanjut hingga pagi. Panji yang masih kecewa, memutuskan untuk pergi lebih awal dan meninggalkan Viola yang masih sarapan. Dengan sengaja, Panji meletakkan uang di atas meja makan untuk taksi, lalu pergi tanpa berbalik saat seruan Viola, menyerukan namanya.
Viola kembali menghela napas berat. Melangkah tanpa peduli semua orang yang berada di sekelilingnya. Bahkan saat Aldo berpapasan dengannya pun, Viola sama sekali tak sadar. Aldo sendiri langsung menatapnya bingung. Terlebih lagi ketika dia memanggilnya dan menghadang jalannya. Viola hanya tersenyum getir menyapanya..
“Kamu gak pa-pa?” Tampak jelas kekhawatiran tersirat di wajah Panji. Viola hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Jawaban itu, tidak serta merta menghadirkan kepercayan di hati Aldo. Dia tahu jelas kalau Viola, sedang dirundung masalah. Namun Aldo memilih untuk memercayainya dan mengusap kepala Viola sesaat.
“Nanti siang, kita makan siang bareng yuk?” ajak Aldo dengan senyuman.
“Maaf, Al. Aku malas hari ini,” ucapnya. “Bang Panji masih dingin samaku, jadi untuk beberapa hari ke depan, aku gak mau buat dia marah lagi. Bang Panji segalanya untukku, Al. Maaf ya?” Viola menatapnya dengan tatapan menyedihkan.
Aldo menghela napasnya lalu kembali menatap Viola dengan tatapan kecewa, “Bahkan jauh lebih penting dari pada aku?”
Viola mengangguk pelan dan kembali melangkah meninggalkan Aldo yang masih menatapnya tidak percaya. Segitu pentingnya Panji untuk sosok Viola hingga mengubah sikapnya yang semula penuh keceriaan dan perhatian, kini mendingin bak batu es.
“Dia memang gitu, Al,” ucap Mawar di kantin saat istirahat tiba.
Aldo yang bingung melihat sikap Viola, memutuskan mengajak Mawar untuk duduk di kantin. Menceritakan segalanya dan hal itu membuat Mawar menatapnya iba. Viola sendiri memutuskan untuk diam di kelas. Dia terus menolak saat ajakan demi ajakan diluncurkan Mawar.
“Sejak kecil, Viola gak pernah punya teman. Dulu dia egois banget. Gak pernah mau kalah kalau lagi main. Makanya dia dijauhin. Nah, Bang Panjilah yang selalu ada buatnya.” Mawar menghela napas. “Bahkan sampai saat ini, demi Viola, Bang Panji gak pernah pacaran.”
“Sampai segitunya?” Aldo menatap heran ke Mawar yang kini membuka bungkusan roti miliknya.
“Ya, kalau pacaran dia takut gak punya waktu buat Viola.”
Aldo terdiam, penjelasan Mawar jelas membuat dirinya paham betul betapa berartinya Panji untuk sosok Viola. Mungkin jika dia di posisi Viola saat ini, dia juga akan melakukan hal yang sama. Lebih memilih berdiam diri tanpa melakukan apapun sampai kemarahan Panji mereda. Mawar meneguk air dalam botol minumannya, lalu kembali menatap Aldo dengan tatapan menyedihkan.
“Jangan buat Viola stress ya, Al. Aku takut penyakitnya kambuh.” Mawar menundukkan kepala. Ingatan tentang penyakit Viola yang tiba-tiba kumat saat kecil dulu, membuatnya cukup dirundung rasa takut jika hal itu terjadi.
“Penyakit?” Wajah Aldo berubah panik. “Penyakit apa?”
“Asma.” Mawar menatapnya penuh kesedihan. Lirih terdengar suara Mawar menyebutkan satu nama penyakit yang langsung membuat Aldo bungkam seribu bahasa. Dia tidak menyangka, sosok periang seperti Viola, ternyata memiliki kelemahan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mawar juga menceritakan kejadian saaat Viola harus dilarikan ke rumah sakit akibat sakit yang dideritanya. Dan cerita itu, membuat Aldo semakin yakin untuk terus menjaga Viola. Lebih ekstra dari penjagaannya semula. Termasuk menjaga perasaannya agar tidak terpuruk seperti saat Viola mengalami segalanya dulu.