Viola benar-benar kaget saat mendengar permintaan mama untuk mengundang Aldo makan malam di rumah. Hubungan keduanya yang baru terjalin tiga hari, dirasa Viola masih terlalu cepat untuk mengajaknya ke rumah. Apalagi harus bertemu Panji. Viola sendiri belum siap menerima sikap penolakan Panji. Bisa dia bayangkan sendiri bagaimana nantinya wajah abangnya itu saat mengetahui apa yang selama ini dia sembunyikan. Wajah penuh emosi, pasti mewarnainya saat makan malam berlangsung. Viola bergidik ngeri membayangkan wajah merah padam Panji dan kedua mata melotot mengarah tajam padanya.
Sikap keras mama, membuatnya terpaksa menemui Aldo saat pulang sekolah tiba. Duduk berdua di kantin sambil menikmati nasi soto buatan ibu kantin. Aldo mengalihkan tatapannya ke Viola yang masih mengaduk kuah soto miliknya. Aldo menghela napas, lalu menyentuh tangan kiri Viola yang sejak tadi berada di atas meja. Viola menatapnya sesaat. Menangkap kedua mata Aldo yang seakan bertanya apa yang ingin dia katakan. Viola menghela napas kasar sembari menghentikan gerakan tangannya.
“Mama ngundang kamu makan malam ke rumah.”
Aldo terpekik kaget saat mendengar kalimat bernada datar Viola. Genggaman tangannya terlepas. Viola menatapnya yang kini menundukkan kepala. Aldo sendiri bukan karena takut bertemu, melainkan dia belum siap jika harus ditanya-tanya yang tidak-tidak. Viola sendiri juga heran melihat sikap mama yang mengizinkannya pacaran bahkan mengundang pacarnya ke rumah. Biasanya mama tidak pernah memberi izin. Jangankan pacaran, dekat dengan cowok saja gak boleh.
“Kapan?” Pertanyaan Aldo berhasil menarik kembali tatapan Viola mengarah padanya. Masih terlihat jelas kebingungan tergaris di wajah Aldo.
“Terserah kamu, katanya sih harus dalam minggu ini.” Viola menggigit bibir bawahnya. Menatap Aldo yang kini terlihat bingung dengan situasi bayangannya seputar makan malam.
Aldo kembali terdiam. Kepalanya kembali ia tundukkan. Menyadari sikap Aldo, Viola langsung memanggilnya lirih hingga kembali menarik tatapan Aldo.
“Aku belum siap, Vi,” jawab Aldo, lirih.
Viola terdiam. Dia ingat satu kalimat Panji saat dia duduk di bangku SMP. Satu cowok sempat menembak Viola dan dengan polosnya Viola bertanya pada Panji yang ketika itu bersamanya. Panji melangkah mendekati cowok bernama Tyo itu dan dengan santai menanyakan satu hal yang langsung membuat cowok itu berbalik pergi.
“Berani ketemu sama mama papanya Viola, gak?” tanya Panji saat itu. “Kalau berani, minta langsung gih sama mama papa Viola, kalau elo mau jadiin dia pacar.”
Semenjak kejadian itu, Tyo tidak pernah lagi mendekati Viola. Dia malah selalu mundur dan pergi saat hampir berpapasan dengan Viola. Dan kini, kalimat itu kembali teringat. Viola menatap Aldo dengan tatapan kesal.
“Kamu gak serius pacaran sama aku, iya?!”
Aldo mengalihkan tatapan kaget ke Viola, “Kamu kenapa ngomong gitu, Vi?” Aldo terlihat tak terima. “Kamu meragukanku?”
“Salah kalau aku curiga?” Viola balik bertanya. “Kalau kamu memang serius sama aku, kapan aja pasti siap buat ketemu orang tuaku. Tapi buktinya ….”
“Aku siap!” potong Aldo yang langsung membuat Viola tersenyum. “Malam ini juga gak pa-pa.”
Viola menganggukkan kepala lalu langsung meraih handphonenya di saku seragam sekolah. Menghubungi mama dan tanpa basa-basi mama langsung menyetujui rencana Aldo untuk makan malam hari ini. Viola menyudahi pembicaraan dan kembali menatap Aldo yang kini memaksakan senyuman di bibirnya. Detakan jantungnya kian cepat memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam.
Panji keheranan saat melihat hidangan makan malam yang cukup banyak di atas meja. Senandung riang yang keluar dari bibir mama, juga semakin menambah deretan kebingungan di dirinya. Berulang kali dia melirik ke papa, namun lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu apa yang terjadi.
“Eit, jangan duduk di situ untuk malam ini!” cegah mama saat Panji hampir saja meletakkan pantatnya di kursi biasa. “Kita bakalan ada dua tamu special malam ini.”
“Dua?” Viola yang baru hadir, langsung kaget mendengarnya. Berhenti tepat di samping Panji dan menggenggam kepala kursi dengan tatapan bingung mengarah ke mama.
Namun belum sempat mama menjawab pertanyaan Viola, suara bel pintu berbunyi. Mama langsung berlari ke depan dan meninggalkan Viola, Panji serta sang papa dengan wajah kebingungan. Panji sendiri langsung pindah tempat duduk di deretan bangku mama dengan mengosongkan satu tempat duduk di antara kursi mama dan kursinya. Dan semua itu, atas permintaan mama.
Betapa kagetnya Viola dan juga Panji saat melihat siapa yang datang. Secara bersamaan, Aldo dan Luna hadir di belakang mama. Dan tanpa permisi, Luna langsung menghampiri Panji lalu menyapanya dengan sikap manja. Sedangkan Aldo, langsung menyalam tangan papa lalu duduk di samping Viola yang sudah terlebih dulu duduk di kursinya, tepat di depan mama dan di samping papa.
“Ma, maksudnya apa ini?!” Nada suara Panji sedikit meningggi. “Dia siapa?” Panji mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah Aldo yang membuatnya terpekik kaget.
“Dia itu Aldo, pacarnya Viola.” Mama menjawab dengan santai sambil mendaratkan pantatnya di kursi.
Viola tertunduk takut saat kedua mata Panji mendarat tajam ke arahnya. Emosinya naik seketika, namun mustahil untuknya kalau harus mengeluarkan hal itu di depan kedua orang tuanya. Panji hanya terus menatap tajam Viola tanpa henti.
Acara makan malam hari itu benar-benar membuat Panji jengah. Ingin rasanya dia pergi, namun ajaran kedua orang tuanya yang selalu mengatakan bahwa tidak sopan jika harus duluan pergi dari meja makan saat ada tamu, tidak mungkin dia langgar. Bisa-bisa sang papa marah besar padanya.
“Sejak kapan kalian pacaran!” Dingin terasa suara Panji saat itu. membuat Viola semakin menunduk tak berani menatapnya.
“Baru beberapa hari yang lalu, Bang,” jawab Aldo tenang. Sesaat dia mengalihkan tatapannya ke Viola.
“Wah, kalau gitu gak ada yang ngehalangi kita lagi dong, Ji.” Suara Luna jelas menarik tatapan Viola ke arahnya. Ekspresi marah tergaris, namun hal itu tidak membuat Luna takut. Dia malah menjulurkan lidah tanpa sepengetahuan mama dan papa.
“Kenapa gak bilang?!” tanya Panji, datar.
Semua menatap ke Panji dengan tatapan bingung. Semua orang tak tahu kepada siapa kalimat itu tertuju. Viola sendiri masih enggan menatap Panji. Dengan perlahan, dia menyantap makan malamnya, berpura-pura tidak mendengar.
“Viola!” Panji berseru hingga membuat Viola kaget dan menatapnya.
“Panji, apa-apaan kamu ini?!” Mama memotong.
Panji menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Emosinya benar-benar memuncak. Ditambah lagi sikap Luna yang selalu saja mencoba mencari perhatiannya dengan mengusap-ngusap tangan Panji untuk menenangkan. Berulang kali Panji menepisnya, tapi Luna tetap saja melakukannya.
“Bisa gak sih jangan sok lebay!!” bentak Panji yang membuat Luna terpekik kaget. Berpura-pura sedih agar dapat perhatian mama.
“Aku cuma mau ….”
“Aku?” potong Panji. “Gue bukan siapa-siapa loe, gak usah sok lembut!”
“Panji!” Kali ini papa membuka suara. Suasana mulai tidak bersahabat. Viola hanya meneguk air mineralnya, berharap desiran air ke dalam tubuhnya, mampu meredam kekalutan yang saat itu hadir merenggut ketenangan.