BAB 9

1457 Kata
            Panji meremas surat pemberian Aldo setelah selesai membacanya. Viola yang masih berdiri di dekat Panji, hanya bisa menundukkan kepala. Viola sendiri memang berniat memberitahukannya sepulang sekolah. Panji yang saat itu baru saja selesai mandi, harus menerima kenyataan pahit itu di dalam kamarnya sendiri.             Viola meremas kedua jemari tangannya. Rasa takut memeluknya erat hingga beberapa menit setelahnya. Panji masih saja duduk di pinggir tampat tidur tanpa bersuara sedikit pun. Hanya napas kasar yang didengar jelas oleh Viola. Selebihnya, hening.             “Jadi?” Suara Panji akhirnya terdengar.              Viola mengangkat kedua bahunya. Panji yang melihat hal itu, langsung menundukkan kepala. Viola hanya bisa diam dengan terus menatap Panji menanti persetujuan.             “Ya udah, kalau memang mau diterima, terima aja!” Panji bangkit dan berlalu dari kamar. Viola menangkap surat pemberian Aldo yang jatuh ke lantai. Perasaan kalut hadir di dirinya. Dikejarnya Panji yang saat itu hampir menuruni tangga. Viola menghadangnya hingga membuat Panji berhenti.             “Kalau Abang gak suka, Viola gak bakalan terima kok.”             “Hak abang apa ngelarang-ngelarang Vio?” Suara Panji masih tetap tenang. “Lagian Vio sendiri kan yang bilang tadi, kalau udah sejak kelas satu, Viola udah suka sama dia. Ya udah, ini kesempatan baik. Terima aja.”             “Jadi janji kita?”             Panji menghela napasnya. Tangan kanannya menyentuh pipi Viola lembut. Senyuman hadir di bibirnya. Tanpa berkata apa-apa, Panji berlalu dari hadapan Viola yang menatapnya dengan raut wajah penyesalan.             Sikap dingin Panji saat makan siang, membuat Viola tak berselera menikmati ayam goreng di depannya. Tidak ada canda tawa yang dihidupkan Panji seperti biasa. Dia hanya menundukkan kepala, menatap ke makan siang di piringnya tanpa berniat menatap Viola di hadapannya.             Malam pun demikian. Panji yang biasanya hadir di kamar Viola. Kini malah mengunci diri di kamarnya sendiri. Berulang kali Viola melewati kamarnya dan sesekali berdehem. Namun tak juga ada gelagat ramah dari Panji yang biasanya selalu membuka pintu. Viola bersandar di pintu kamarnya. Menatap kamar Panji yang tidak terlalu jauh dari kamarnya berada. Semua ini benar-benar membuatnya bingung.             Malam itu, rasa kantuk sama sekali belum hinggap di kedua mata Viola. Berulang kali dia memejamkan mata, tapi semuanya nihil. Viola malah bangkit dan turun dari tempat tidurnya. Menghela napas lalu keluar dari kamar.             Dengan ragu, Viola mendekati pintu kamar Panji. Mengetuknya pelan lalu memanggil nama Panji beberapa kali. Panji sendiri yang sebenarnya belum tidur dan masih duduk di depan laptopnya, melirik sesaat ke arah pintu. Suara Viola yang terdengar memelas, membuatnya tak tega. Tapi rasanya kejadian tadi, membuatnya enggan untuk bertemu dengan Viola beberapa waktu ke depan.             “Bang, jangan kayak gini kenapa sama Vio,” ucapnya dari luar. “Kalau Abang gak setuju Viola pacaran sama Aldo, Viola bakalan tolak kok. Tapi jangan diemin Viola dong, Bang.”             Panji masih saja diam. Dia menatap ke layar laptopnya. Membuka satu file yang berisi foto-foto dirinya dan juga Viola sejak kecil sampai pada waktu terakhir kalinya keduanya berfoto. Tepatnya saat Viola kelas dua, di Dufan. Viola tampak senang dengan balon yang digenggamnya. Sedangkan Panji meletakkan tangan kirinya di atas kepala Viola dan menatap lurus ke arah kamera berada.             Viola menghela napasnya. Melangkah menjauhi pintu kamar Panji dan menuruni tangga dengan langkah berat. Suara tv di lantai dasar, membuatnya mengarahkan tatapan ke sana. Terlihat mama duduk sendirian sambil menyaksikan salah satu acara tv yang entah apa itu. Viola mengarahkan kedua matanya ke jam dinding dekat dengan tangga. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.             Viola duduk di samping mama yang sesaat menegurnya kaget. Menyandarkan kepalanya di bahu mama manja. Mama mengusap kepala sang anak lembut.              “Ma, boleh gak Viola curhat sama mama?”             “Boleh, mau curhat apaan?”             Viola menjauhkan kepalanya dan merogoh saku celana tidurnya. Mengeluarkan surat pemberian Aldo dan memberikannya ke tangan mama. Tanpa diminta terlebih dulu, mama langsung membacanya. Tawanya tergerai membuat Viola mengerutkan dahi.              “Cieee, anak mama ditembak nih yee,” goda mama yang langsung membuat Viola manyun. Mama menghentikan tawanya dan menatap Viola lamat-lamat. “Terus apa masalahnya?”             Viola mengarahkan tatapannya ke lantai atas, “Bang Panji.”             “Lha, kenapa Bang Panji?” Mama mengerutkan dahi. “Bukannya yang nembak itu … Aldo?” tanya mama sesaat membaca kembali nama sang pengirim surat.             “Kemarin Vio sama Bang Panji buat janji, kalau di antara kami gak boleh ada yang pacaran, sampai Viola lulus kuliah.”             Mama kaget mendengarnya. Wajah kagetnya membuat Viola menggigit bibir bawahnya sambil menatap mama dengan ekspresi ragu, “Lama banget? Buat apa janji-janji gituan?”             “Supaya Viola bisa dapat nilai bagus. Makanya buat kayak gitu,” jawab Viola bohong.             Mama menganggukkan kepala, “Terus?”             “Ya … Abang kayaknya marah sama Vio gara-gara surat ini, Ma.” Viola menyandarkan tubuhnya di sofa, meraih remote tv dari tangan mama, dan mengganti asalacara tv.                    “Ya ampun.” Mama menggelengkan kepalanya lalu menatap Viola lamat-lamat. “Mama mau tanya deh, kamu ada rasa gak sama Aldo?”             Viola tersipu malu. Rona kemerahan, hadir di kedua pipinya. Mama yang menangkap gelagat itu, langsung tahu jawabannya tanpa harus dijawab Viola. Mama merangkul sang anak dengan penuh kasih sayang.             “Kalau memang suka, ya udah terima aja. Cinta itu pakai hati, Sayang. Kalau hati kamu bilang iya. Ya, lakukan.”               Viola tersenyum mendengar kalimat sang mama. Ia mempererat pelukannya dan mengucapkan terima kasih atas kalimat penenang yang kini menepis rasa gelisah di hatinya karena memikirkan Panji. Di pelukan mama, sesaat senyumannya menghilang. Dia menghela napas. Sosok Panji kembali melesat ke dalam kepalanya, namun semua itu kembali dia tepis dengan senyuman. Mencoba menenangkan dirinya dengan berpikiran positif akan kebahagiaan harinya bersama Aldo nanti.             Viola melangkah masuk ke lapangan basket, dan menemukan Aldo duduk di salah satu tempat duduk di pinggir lapangan yang terbuat dari batu. Memutar-mutar bola basket di jemari tangannya dan berhenti saat melihat sosok Viola mendekatinya. Berdiri menyambut Viola bak seorang pangeran menyambut Cinderella. Viola tersipu malu dibuatnya. Lalu duduk di samping Aldo yang juga ikut mendaratkan pantatnya di tempat semula.                                                                       “Sorry ya agak telat, tadi disuruh Ibu Intan bawa buku tugas ke ruangannya.”             “Iya, gak pa-pa kok.”             Sesaat hening. Baik Viola mau pun Aldo hanya berputar di pikiran masing-masing. Viola sendiri berulang kali meremas jemari tangannya. Kegugupan hadir menguasai diri. Hingga membuatnya tak berani melihat ke Aldo yang ada di sampingnya.             “Gimana, Vi?” Aldo memberanikan diri membuka suara lebih dulu.             “Eh, apanya?” Hanya kalimat itu yang terucap. Begonya, masa nanya lagi sih, Vio! Rutuk Viola dalam hati.             “Jawaban atas … suratku.”             “Em ….” Viola meragu. Bayangan Panji hadir di kepalanya. Sikap Panji yang dingin ditambah lagi keputusannya menerima Aldo, membuatnya menebak sendiri akan sikap Panji selanjutnya, yang mungkin akan semakin marah.             Aldo menoleh ke arah Viola yang masih menundukkan kepala. Sikap gelisah Viola, terlihat jelas dari gerakannya meremas tangannya sendiri. Aldo menghela napas dan mencoba menarik kedua sudut bibirnya.             “Kalau memang gak bisa, jangan dipaksakan, Vi. Gue gak ingin seseorang menerima gue karena terpaksa.” Senyuman getir hadir di bibir Aldo.             Viola menoleh ke Aldo yang masih melihatnya dengan tatapan teduh. Ada garis-garis kekecewaan di wajahnya yang mampu tertangkap Viola. Rasa bingung makin besar, Viola semakin gelisah karena pilihan di kepalanya sendiri.             “Gue memang cinta sama loe. Tapi gue juga gak bisa memaksakan keinginan gue. Gue terima kalau elo ….”             “Gue mau, Al!” potong Viola. Membuat Aldo yang semula menarik tatapannya dari Viola, kini kembali menatapnya kaget. Kedua matanya terbelalak. Dia benar-benar tidak percaya dengan semua yang didengarnya.             “Loe serius?” Aldo kembali memastikan apa yang dia dengar.             Viola mengangguk, “Udah sejak MOS itu gue juga suka sama loe. Tapi gue takut. Gue takut loe gak suka sama gue.”             Aldo memekik senang. Dia benar-benar berhasil mendapatkan hati cewek yang sejak dulu dia cinta. Viola sendiri yang melihatnya, hanya tertawa lucu. Sikap Aldo jelas seperti anak-anak yang baru saja dapat hadiah boneka.             “Kalau gitu kita resmi pacaran?” Aldo memastikan.             Viola mengangguk dengan senyuman di bibir. Lagi-lagi Aldo memekik senang. Viola mencoba menenangkannya, namun Aldo malah langsung menarik Viola untuk berdiri di hadapannya.             “Al, ussstt. Entar dengar orang. Gue kan malu.”             “Gue?” Viola menatapnya heran. “Masa udah pacaran manggilnya gue elo sih. Aku kamu dong.”             Viola tertawa mendengarnya sedangkan Aldo menggaruk kepala bagian belakangnya yang sebenarnya tidak gatal.             Viola menundukkan kepalanya malu. Aldo sendiri mengusap lembut kepala Viola. Viola menatapnya lamat-lamat. Ada keanehan di dirinya. Satu keanehan yang sulit ia ucapkan. Keanehan itu hanya mampu membuat lidah Viola kelu. Sorot mata Aldo, menghadirkan satu rasa yang semula tidak pernah ia pikirkan sama sekali.             Dari kejauhan, terlihat Mawar berdiri melihat semuanya. Senyuman getir hadir di bibirnya. Ia menghela napas dan berbalik pergi meninggalkan tempatnya semula. Tempat yang dia pilih untuk menyaksikan segalanya. Dua hati yang kini menyatu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN