“Tante, Luna jadi bingung harus gimana lagi ngehadapi Panji,” jawabnya dengan wajah menyerah. “Kayaknya Luna mundur aja deh.”
“Eh, jangan dong, Sayang. Tante gak mau kamu mundur!”
Kalimat mama berhasil menarik kedua sudut bibir Luna untuk tersenyum sinis tanpa sepengetahuan mama yang masih tampak panik.
“Tapi, Tante ….”
“Luna, dengarin tante!” potong mama. “Tante bakalan bantuin kamu untuk dapetin Panji. Tapi kamu juga harus usaha ya. Kamu harus ngasih perhatian kecil ke Panji. Karena sejujurnya, Panji sangat suka diperhatiin.”
“Tante serius?”
“Iya, Tante janji!”
Luna mengalihkan wajahnya ke arah lain. Senyumannya kembali tergaris penuh kemenangan. Sedangkan mama, mulai sibuk dengan Shinta yang tiba-tiba hadir memberitahukan ada pelanggan di luar menantinya.
Mama masuk ke dalam rumah saat sore tiba. Suara tawa Viola dan Panji di ruang tengah lantai dasar, membuat mama tersenyum simpul lalu bergabung dengan keduanya. Duduk di antara Viola dan Panji yang secara tiba-tiba berhenti becanda.
Viola memeluk mama manja, sedangkan Panji hanya menyandarkan kepalanya di bahu mama. Mama tersenyum sembari membelai kepala kedua anaknya penuh kasih sayang. Kecupan hangat juga dia daratkan di kepala kedua anaknya. Ucapan kata sayang juga terdengar disusul balasan dari Viola dan Panji.
“Tumben cepat pulang, Ma?” Viola membuka suara.
“Iya, mama kangen sama anak-anak mama. Makanya pulang lebih awal.”
“Yeee, pasti ada maunya nih.” Panji nyeletuk lalu menjauhkan kepalanya dari bahu mama.
“Ich, kok tahu sih?”
“Udah kebaca gelagat mama,” ucap Panji disusul menjulurkan lidahnya. Mama mendaratkan cubitan kecil di bahunya yang langsung membuat Panji merintih kesakitan. Mama menghela napasnya dan menatap lamat-lamat ke Panji. Keseriusan mulai terpancar di wajahnya yang membuat Panji menatapnya serius begitu pula dengan Viola yang langsung menegakkan kepalanya.
“Ji, mama mau ngomong serius soal kalian berdua.”
“Kami?” Panji mengarahkan tatapannya ke Viola yang mulai merubah ekspresinya. Seketika suasana hangat, berubah penuh keresahan di hati Viola. Kalimat mama, membuatnya takut bukan main. Senyuman mama, seakan menyiratkan sesuatu yang masih belum terang maknanya di kedua mata Viola.
“Iya,” jawab mama. “Tadi Luna datang ke toko mama, dan ….”
“Ngapain lagi sih tuh anak!” potong Panji. “Mau cari perhatian lagi?!”
“Bukan, tapi karena kalian.” Mama tetap tenang.
“Memangnya kami kenapa, Ma?” Viola menatap mama dengan tatapan teduh.
Mama tersenyum sembari menyentuh pipi kanan Viola, “Sikap kalian membuatnya cemburu. Dia mengira, kalian itu bukan sekedar abang adik, melainkan pacaran.”
Viola terdiam. Kejadian malam itu di kamar kembali berputar di kepalanya. Pelukan Panji dan kalimatnya telah berhasil menghadirkan rasa berbeda yang mampu menepis rasa untuk Aldo. Panji sendiri menundukkan kepala. Senyuman tipis, hadir di bbirnya tanpa sepengetahuan mama.
“Kalian itu sudah besar, jangan bertingkah seperti anak kecil gitu dong,” ucap mama. “Sudah seharusnya kalian punya seseorang yang bisa mengisi hati kalian.”
“Hati Panji udah terisi kok, sama Viola.”
Viola menatap kaget ke arah Panji, sementara mama tertawa mendengarnya.
“Ya, Viola kan sebagai adik, Ji. Tapi yang mama maksud itu pacar. Perempuan lain selain Viola dan mama.”
Panji menghela napasnya kasar, “Panji gak suka sama Luna, Ma!”
“Viola juga gak suka sama nenek sihir!” Viola ikut membela Panji. Dia tidak ingin mama terus memaksa Panji untuk mau nerima Luna. Kebenciannya pada cewek cantik itu, berhasil menutup semua celah kesempatan bagi Luna untuk mendekati Panji.
Mama tersenyum, “Luna kan baik. Kalian coba kenali dia lebih dekat dulu, siapa tahu suka nantinya.”
“Mama yang gak bisa mengenalinya lebih dekat. Dia itu gak sebaik yang mama lihat!” Panji mulai kesal.
“Jadi, Panji beneran gak suka gitu sama Luna?” Nada mama yang masih tenang, menarik tatapan Panji. Senyuman mama juga terus melekat di bibirnya. Membuat perdebatan kali itu terasa berbeda.
Panji menganggukkan kepala, “Biarkan Panji nyari sendiri ya, Ma.”
Mama mengernyitkan dahi, “Sudah sejak SMA mama membiarkan kamu mencari sendiri, tapi buktinya … gak dapat juga kan?”
“Tapi, Ma ….”
“Mama yang akan carikan. Mama bakalan nyari yang benar-benar terbaik.” Mama membelai lembut kepala Panji. Sikap mama begitu tenang. Keegoisannya memang masih hadir di setiap kalimat mama. Namun kali ini, kalimat demi kalimat egois yang mama keluarkan, begitu menuai kehangatan. Namun sayangnya, semua itu tidak mampu membuat Panji menyetujui apa yang menjadi permintaan mama.
Panji menarik napas panjang lalu menghembuskannya kasar. Dia berdiri dan meletakkan bantal kursi yang sejak tadi ia pegang ke sebelah mama, “Terserah mama aja. Panji tidur duluan!” Panji berlalu dari hadapan mama yang menatapnya heran. Viola sendiri langsung mencium pipi mama yang cukup dekat dengannya lalu beranjak dari sofa.
“Viola juga ke kamar duluan ya, Ma.”
Mama mengangguk lalu menatap kepergian Viola dengan menggelengkan kepalanya. Kedua anaknya memang sulit untuk bisa sependapat dengannya sejak dulu. Dia mama jelas menyadari hal itu. Setelah memastikan Viola sudah berada di lantai atas, mama langsung beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamar tidurnya yang tak jauh dari ruang tv berada.
Viola keluar dari kelas saat bel pulang tiba. Semua murid juga ikut berhamburan. Ada yang langsung pulang, dan ada yang memilih duduk-duduk sebentar untuk sekedar mengobrol. Viola sendiri melangkah menuju parkiran ditemani Mawar yang dengan setia di sampingnya.
Langkah Viola terhenti saat melihat Aldo keluar dari kelas dan menghampirinya. Senyuman yang hadir di bibir Aldo, langsung dibalas Viola walau terlihat enggan melakukannya. Mawar langsung mengundurkan diri untuk pulang lebih awal dan meninggalkan keduanya di koridor sekolah.
“Makan siang bareng yuk, Vi?”
“Em … aku … aku ….”
“Viola!” Sebuah seruan berhasil memalingkan wajah Viola yang semula mengarah ke Aldo kini sedikit bergeser menatap ke belakang cowok tampan di depannya. Panji melambaikan tangan lalu berlari kecil mendekatinya. Berdiri di sampingnya sembari menatap ke arah Aldo dengan datar.
“Jadi kan kita makan siang?” Panji menarik tangan Viola.
“Jadi kok.” Viola kembali menatap Aldo yang menatapnya pasrah. “Maaf ya, Al. Aku udah janji duluan sama Bang Panji. Gak pa-pa, kan?”
Sesaat ekspresi Aldo datar. Namun beberapa detik kemudian, senyuman hadir di bibirnya disusul gelengan kepala, “ Gak pa-pa. Aku duluan ya. Permisi Bang.”
Panji mengangguk singkat membalas kalimat Aldo. Viola menatapnya tidak enak hati. Ada perasaan tak tega di dalam hatinya. Pasti sakit rasanya ditolak mentah-mentah sama pacar sendiri, ketika keinginan ingin menghabiskan hari berdua hadir menyapa. Viola menundukkan kepala sembari memainkan jemarinya dengan meremas-remas secara bergantian, kanan dan kiri.
“Nyesal?” ucap Panji sambil melirknya.
Viola mengalihkan tatapannya ke Panji, “Cuma gak tega.”
“Ya udah kejar. Abang pulang aja.” Panji berbalik dan melangkah meninggalkan Viola. Namun teriakan Viola, membuat Panji kembali berhenti.
“Main tinggal gitu aja, tungguin!” Viola berlari dan langsung menggandeng tangan kiri Panji. Panji meliriknya dengan wajah kesal.
Hampir tiga jam ketiganya menghabiskan waktu di luar rumah sampai akhirnya, mobil Panji berhenti di halaman. Viola membuka pintunya dan turun dari mobil diikuti Panji dari pintu berbeda. Keduanya kembali tertawa saat menceritakan kejadian selama makan siang di luar. Viola yang tak sengaja menumpahkan gelas, harus mau tidak mau mendapati semua sorotan pengunjung yang juga berbisik-bisik menceritakan kecerobohannya. Panji terus meledek sementara Viola menepis-nepis tangan Panji yang sejak tadi terus saja menyerakkan rambutnya.
Keanehan terjadi. Viola dan Panji yang meyakini sang mama belum pulang, kini harus mendapati pintu rumah terbuka dan terlihat beberapa pasang sepatu wanita ada di depan pintu. Viola mengangkat kedua bahunya saat tatapan Panji mengarah padanya. Keduanya kembali melangkah dengan mengucapkan salam yang langsung dibalas oleh mama dan dua orang wanita di dekatnya. Yang satu sebaya mama dan yang satu tampak cantik dengan rambut panjang dengan sedikit berwarna kepirangan di beberapa helaian rambutnya. Bando berwarna pink menghiasi kepalanya. Pakaian serba pink dengan celana panjang hitam ketat juga menjadi pemandangan yang membuat Viola berdecak kagum. Bentuk wajahnya oval dengan bibir tipis berwarna pink. Begitu cantik hingga membuat Viola tak henti-hentinya memuji dalam hati.
“Eh, ini dia yang ditunggu dari tadi.” Mama menghampiri keduanya. “Dari mana aja sih, dihubungi malah gak aktif dua-duanya.”
“Handphone kami, lowbatt, Ma!” jawab Panji berbohong.
Viola sendiri masih menatap ke arah perempuan cantik yang masih duduk di sofa tamu dengan senyuman ramah menyapa tatapan Viola. Viola pun membalasnya.
“Ayo sini, kenalin dulu temen SMA mama.” Mama menarik tangan Panji dan juga Viola. “July, ini anak-anakku. Yang ini Panji dan yang ini Viola.”
Panji dan Viola langsung bersalaman dengan wanita yang dipanggil July itu secara bergantian. Mengucapkan nama sekali lagi sekedar memperjelas.
“Nah … yang ini namanya Nikita. Ayo kenalan dulu!”
Viola menurut. Dia langsung mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Nikita yang disambut dengan ramah oleh Nikita. Keduanya kembali menyebutkan nama masing-masing, lalu melepaskan jabatan dengan diiringi senyuman di bibir masing-masing. Panji pun melakukan hal yang sama. Dia mengulurkan tangannya yang langsung disambut Nikita. Keduanya kembali menyebutkan nama masing-masing.
Panji melepaskan tangannya. Nikita yang sudah berdiri di hadapan Panji dan juga Viola, hanya tersenyum lebar. Viola sendiri masih saja berdecak kagum. Tinggi Nikita hampir sama dengan Panji. Kakinya jenjang tak seperti kakinya yang lebih pendek dengan ukuran tinggi badan yang hanya 165 cm.
“Nah, gimana, Ji? Nikita cantik kan?” Mama memainkan alis matanya ke arah Panji.
Panji tersenyum tipis, “Cantik kok, tapi masih kalah manis sama adikku.” Panji merangkul Viola sambil menarik-narik poni depannya.
“Mereka memang gitu, Jul,” ucap mama yang langsung disambut tawa renyah dari wanita berambut pendek sebahu itu. “Kalau Nikita sendiri, gimana?”
“Terserah tante aja.” Ada rona kemerahan di kedua pipinya. Sikap Nikita yang malu-malu, membuat Panji melesatkan tatapan heran ke mama yang kini menuai senyuman. Kalimat Nikita seakan mengandung satu makna yang hampir bisa ditebaknya. Panji menuruni rangkulannya.
“Tunggu dulu, maksudnya terserah … apaan nih?”
“Panji … Mama dan Tante July sudah sepakat mau menjodohkan kamu dengan Nikita.” Mama menjawabnya dengan santai.
Panji terpekik kaget. Begitu pula dengan Viola yang bagai tersambar petir di siang bolong. Kalimat mama berhasil membuat Panji mendengus napas kesal. Dan hal itu membuat mama mendelikkan mata ke arah Panji sekedar memperingatkan untuk menjaga sikapnya. Viola sendiri langsung menundukkan kepala. Masalah baru muncul. Keduanya tidak pernah menyangka kalau mama begitu cepat menemukan pengganti Luna. Nikita begitu cantik dan tampak baik, hal itu membuat Viola semakin sulit untuk membentengi Panji agar tidak memilki pacar. Panji menggenggam tangan Viola tanpa sepengetahuan mama dan July yang asik mengobrol. Viola menatapnya yang langsung disambut wajah dingin dari abangnya itu. Nikita yang melihatnya, seketika merasakan sesuatu yang aneh dengan sikap keduanya. Ada yang tersembunyi di balik hubungan keduanya yang jelas hanya sekedar abang adik di mata semua orang.