BAB 19

1063 Kata
           Kehadiran Nikita, membawa angin kelabu antara Viola dan juga Panji. Viola yang merasa tersaingi dengan hadirnya Nikita, memilih untuk sedikit menjauh dari Panji yang berulang kali memberikan penjelasan, bahwa dia menolak perjodohan itu. Panji sendiri kini semakin terusik dengan kehadiran Nikita yang manja dan selalu saja bersikap manis di hadapannya. Namun berbeda dengan Luna, sikap manis Nikita begitu tulus. Dan hal itu membuat Viola yakin bahwa Nikita, adalah cewek terbaik untuk Panji.             Untuk melancarkan sikapnya menjauhi Panji, Viola lebih memilih ikut mama untup pergi sekolah dan menolak ajakan Panji. Berat rasanya melakukan hal itu bagi Viola, namun semua ini harus dia lakukan agar terhindar dari rasa sakit yang terlalu dalam di hatinya. Walau dia sendiri masih bingung mengapa dia merasakan semua itu.             Viola duduk di kursi kantin. Sebotol mineral dengan roti cokelat, menjadi pilihannya mengabiskan waktu istirahat. Namun sejak lima menit yang lalu, Viola tetap saja melamun tanpa menyentuh roti di hadapannya.             Dari kejauhan, Aldo tampak masuk ke dalam kantin bersama beberapa sahabatnya. Langkahnya terhenti saat mendapati sosok Viola yang duduk sendirian di sudut kantin sambil menatap lurus ke lapangan basket. Aldo melangkah meninggalkan sahabat-sahabatnya lalu berhenti tepat di samping Viola.             “Vi?” panggilnya yang langsung membuat Viola tersadar. Aldo duduk di sampingnya dan menatapnya lamat-lamat. “Ada masalah?”             Viola menggelengkan kepala. Menyentuh roti yang masih terbungkus rapi lalu memberikannya pada Aldo. Aldo menatapnya heran.             “Aku gak selera, makan gih.”             “Buat kamu aja ya.” Aldo kembali menggeser roti ke hadapan Viola. “Mawar tadi bilang kalau kamu belum sarapan, benar kan?”             Viola tertawa kecil. Menepis rambutnya yang menutupi kening, “Dia itu sok tahu, Al.”             “Jelas dia tahu, Bang Panji sendiri yang menghubunginya dan bilang kalau kamu belum ada sarapan.”             Viola menundukkan kepala. Helaan napas beratnya, semakin membuat Aldo meyakini bahwa kini sang pujaan hati sedang dirundung masalah. Aldo menggenggam tangan kanan Viola hingga tatapan teduh itu, menoleh padanya.             “Cerita sama aku, ada apa?”             Viola menyunggingkan senyuman tipis. Dia masih enggan bercerita pada Aldo seputar Panji yang kini menjadi pusat pemikirannya. Mustahil rasanya dia mengatakan di hadapan Aldo kalau dia tak rela melihat Panji punya pacar. Atau sekedar mengatakan kalau dia tidak ingin Panji menikah dan pergi dengan wanita pilihannya. Itu tidak akan mampu diterima Aldo.             Siapa pun akan menilai apa yang ia lakukan terlalu berlebihan. Setiap orang pasti menikah, tidak terkecuali Panji. Suatu hari nanti dia akan pergi. Entah itu bersama Nikita atau Luna. Bahkan mungkin wanita lain yang pastinya akan semakin menjauhkannya dari sosok pelindung itu. Namun andai semua orang tahu, bahwa perasaan ini tak mampu ditepis sejak dulu. Panji terlalu berharga bahkan sangat penting untuknya. Viola sendiri takkan pernah sanggup berpisah jauh dari Panji yang selalu menemaninya sejak ia kecil, hingga saat ini.              Aldo menghela napasnya, “Apa semua ini, karena Panji?”             Kalimat Aldo jelas mengagetkan Viola. Tangan kanannya yang masih digenggam Aldo, perlahan ia tarik keluar dari genggaman itu. Aldo tersentak kaget mendapati sikap Viola yang kini mulai berdiri.             “Aku ke kelas duluan ya.” Viola berlalu dari hadapan Aldo sebelum sempat ditahannya. Aldo hanya bisa menatapnya pilu. Ada rasa sakit yang menjalar di hatinya. Rasa cemburu yang sejak dulu dia rasakan, kini semakin memuncak tak karuan. Dari kejauhan tanpa Aldo sadari, Mawar melihat semuanya. Wajahnya tampak sedih menyaksikan Aldo yang terlihat terluka akan sikap dingin Viola.             Betapa kagetnya Viola saat melihat Panji berdiri di samping mobilnya bersama Nikita di sana. Viola yang berniat ingin berdamai dengan membicarakan rencana perjodohan mama terhadap Panji sepulang sekolah, kini buyar seketika saat kedua matanya menangkap sosok baru itu di samping Panji. Mawar yang berdiri di samping Viola, menyentuh bahunya yang berhasil menarik tatapan Viola mengarah padanya.             “Itu siapa? Cantik bener!”             “Nikita, calon Bang Panji,” jawab Viola lirih yang langsung membuat Mawar mengernyitkan dahi. Viola melangkah meninggalkan Mawar yang kini menatapnya heran. Aldo yang sejak tadi berdiri di belakang keduanya, langsung mendekati Mawar dan berhenti tepat di sampingnya.             “Jadi itu yang membuat Viola berubah?” Kalimat Aldo berhasil menarik tatapan Mawar ke arahnya. Kembali mengernyitkan dahi yang hanya dibalas Aldo dengan tatapan menyedihkan.             Viola sendiri berhenti dengan sedikit menyunggingkan senyuman di hadapan Panji dan Nikita. Panji yang tahu betul ekspresi ngambek sang adik, hanya bisa menatapnya seakan meminta waktu untuk berdua membahas segalanya. Namun Viola sama sekali tidak membalas tatapan itu.             “Kak Nikita, kok bisa di sini?”             “Tadi aku nyusulin Panji ke kampus sambil bawa makan siang. Tapi Panjinya gak mau nerima. Katanya mau makan sama kamu. Ya udah aku ikutan, boleh kan?”             “Kan udah gue bilang, loe pulang!” hardik Panji yang langsung membuat Nikita tertunduk sedih. Viola menatapnya marah lalu mendekati Nikita dan menggenggam tangan kanannya.             “Kakak boleh kok ikutan, jangan masukin ke hati ya kata-kata Abang. Dia memang gitu kalau lagi dapet.”             Nikita menatap kaget ke arah Viola. Kedipan mata kanan Viola membuat Nikita mengerti bahwa kalimat tadi, hanya ingin menghiburnya. Nikita tertawa dan langsung mengangguk manja. Panji sendiri mendengus kesal lalu melangkah mendekati pintu kemudi. Viola pun mulai melangkah ke pintu depan, namun menyadari kehadiran Nikita, ia langsung mengurungkan niat untuk masuk dan duduk di samping Panji.             “Kakak aja yah yang duduk depan sama Abang?”             Panji yang belum masuk, terlihat tak terima. Dia kembali mendekati keduanya dan menutup pintu seakan tidak mengizinkan Nikita untuk duduk di sampingnya.             “Abang apaan sih, kasihan Kak Niki kalau harus duduk di belakang.” Viola berusaha membuka pintu namun Panji masih saja menghalanginya.             “Adek sendiri tahu kan, kalau tempat duduk di samping kemudi itu cuma punya Viola. Sejak kapan abang kasih izin orang lain untuk duduk di samping abang? Bahkan mama sendiri gak abang izinin!”             Nikita menundukkan kepala dan hal itu membuat Viola semakin tak tega melihatnya. Viola menatap Panji dengan tatapan memelas seakan memohon agar Nikita bisa duduk di depan bersamanya. Namun Panji hanya mendengus kesal sambil mengalihkan tatapannya kea rah lain.               Viola menarik tangan Panji untuk sesaat menjauh dari Nikita, “Abang sayang kan sama adek?”             “Iya, tapi ….”             “Bukannya malam itu abang bilang kalau abang cinta sama Viola?” Panji menatapnya kaget. Viola sendiri sadar dengan ucapannya. Dia sendiri sekarang tidak bisa memungkiri bahwa kalimat cinta itu, membuatnya lebih sakit dari sebelum dia mengetahui rasa di hati Panji.             Panji menganggukkan kepala dan hal itu membuat Viola tersenyum, “Lakukan semuanya demi Vio. Mau yah?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN