Sejujurnya jauh di lubuk hati terdalam, Viola pun sangat ingin untuk kemballi berjalan seperti sebelumnya. Sudah sangat lama dia ingin berjalan, berlari, bahkan melakukan segalanya dengan kedua kakinya sendiri, tanpa bantuan orang lain yang hanya akan menyusahkannya saja. Viola merasa hidupnya tak ada artinya semenjak duduk di kursi roda. Kecelakaan itu merenggut sebagian mimpinya. Bahkan khayalan tentang keluarga bahagia yang utuh, malah harus hancur hanya karena ketidaksempurnaanya. Walau pun selama ini, Panji sendiri tidak mempermasalahkan tentang hal itu.
Viola tertunduk di hadapan Mawar yang kala itu hadir dan mendengar semua keluh kesahnya. Keduanya lebih memilih di dalam kamar, agar tidak ada yang mengusik. Seperti dulu, sebelum Viola menikah yang selalu mereka habiskan bersama di kamar Viola yang lama. Viola memang tidak mengubah apa pun dekorasi di kamar lamanya semenjak memutuskan pindah di kamar Panji. Dia ingin sesekali menginap di sana, sendirian, menikmati dan mengenang hari-hari sebelum dia menikah dengan Panji. Karena itulah dia tidak mengusah satu pun.
Mawar terlihat sedih, menaikkan selimut yang menutupi kedua paha Viola yang kini duduk bersandar di tempat tidur bersamanya. Helaan napas Viola semakin membuat Mawar tak tega melihatnya. Andai saja dia bisa membantu Viola, dia pasti akan melakukan segala cara agar Viola bisa kembali tersenyum seperti sebelumnya.
Sebenarnya, apa yang dikatakan Panji ada benarnya. Sekarang peralatan medis sudah sangat canggih dengan semua dokter yang sangat berkompeten dalam bidangnya. MAwar yakin, Viola akan ditangani dengan sangat baik. Viola hanya mengikuti segala prosesnya dan MAwar yakin, dia akan kembali berjalan seperti sediakala.
Namun pikiran negatifnya tentang Panji ditambah dengan rasa takutnya sendiri membayagkan proses itu dan harus berdiri di kedua kaki palsunya nanti, membuatnya gengsi mengatakan mau dia sungguh ingin memilikinya. Mawar tahu sifat Viola itu. Dan kini tugasnyalah yang harus meyakinkan Viola agar mau menerima saran Bara dan Panji itu demi kehidupanya ke depannya.
“Tapi loe sadarkan, keinginan dan rencana Bara dan Panji itu sebenarnya baik?” tanya Mawar yang langsung dijawab Viola dengan anggukan kepala, tanpa mengarahkan tatapan ke Mawar yang masih duduk di sampingnya. “Kenapa gak dicoba saja? Toh loe hanya perlu datang ke sana, ngukur kaki loe untuk kaki palsu nanti, dan loe tinggal tunggu semuanya selesai.”
Viola menghela napas panjang, “Boleh gue tanya sesuatu sama loe, War?” taya Viola yang hanya dijawab Mawar dengan anggukan, saat kedua mata Viola terarah padanya. “Apa loe malu dengan keadaan gue?”
Mawar menghela napas. Ini sudah pertanyaan ketiga kalinya yang sama yang dikeluarkan Viola di hadapannya. Sudah sejak tadi Mawar menjawab pertanyaan Viola yang itu itu saja. Namun rasanya kini Mawar sadar, bahwa Viola masih belum yakin padanya. Mawar menurunkan kedua kakinya, meraih kursi roda yang sejak tadi berada di sudut ruangan, lantas mengarahkannya mendekati Viola yang kini menatapnya bingung.
“Ayo ikut gue,” ajak Mawar.
“Ke mana?” tanya Viola yang masih belum bergerak sedikit pun.
“Belanja,” jawab Mawar. “Loe tau kan kebiasaan gue yang setiap bulan harus belanja ke mall, sekarang loe harus temanin gue ngelakuin kebiasaan gue itu kayak dulu!”
Viola menggelengkan kepala, ada keraguan di wajahnya yang membuat Mawar menghela napas kembali melihat sahabatnya itu. Dia mengerti, jika dirinya berada di posisi Viola pun, dia kana merasakan hal yang sama. Dia pasti akan murung, malu, bahkan pesimis dengan semua yang ada di dirinya. Jika dia menjadi Viola. Namun saat ini Mawar sadar, selain Panji, dirinyalah yang diharapkan Viola untuk bisa bangkit. Terlebih lagi tadi sebelum Panji berangkat kerja dans empat bertemu dengan Mawar, Panji berpesan untuk meyakinkan Viola kalau kondisinya saat ini, bisa diterima siapa pun yang berada di sekelilingnya. Pikiran negative itulah yang terlalu jahat, hingga membuat Viola menjauh dari seluruh dunia, termasuk sahabat dan suaminya sendiri.
“Kenapa malah diam?” tanya Mawar. “Loe minta gue ngejawab pertanyaan loe yang sama dari tadi, kan? Dan di saat gue mau ngejawab, loe malah diam. Gimana sih?” tanya Mawar berpura-pura kesal lantas duduk di hadapan Viola. “Capek gue ngejawab pertanyaan loe, Vi, dari mulai dengan kalimat teratur, sampai kalimat acak adul. Tapi loe tetap aja gak mau terima jawaban gue yang tulus dari hati. Loe masih saja nganggap gue becanda, gak serius, atau malah sengaja membuat loe gak sedih lagi dengan berpura-pura ngejawab kalau gue gak malu dengan keadaan loe. Jadi sekarang, biar loe gak mikir yang aneh-aneh lagi tentang gue, gue buktikan aja yuk ke elo, kalau gue gak malu bawa lo eke hadapan semua orang!” jawab Mawar panjang lebar, berharap kali ini Viola mengerti maksudnya.
“Tapi gue malas ke mana-mana, War, gue masih belum mau ke luar,” jawab Viola.
“Loe bukan malas, tapi loe malu,” bantah Mawar. “Padahal semua orang pengen banget ngajak loe jalan ke luar, ke tempat-tempat yang bias aloe kunjungi, atau ngebahagiaan loe dengan datang ke tempat-tempat yang loe sukai. Loe yang ngelarang semua orang untuk ngebuktikan kalau kita semua gak malu. Tapi loe terus nyudutkan kita semua dengan pertanyaan loe yang itu-itu aja. Gak bosa napa ngasih pertanyaan yang sama?” tanya Mawar kesal. “Cari pertanyaan lain kek. Untung aja gak jadi guru loe, sempat jadi guru, mungkin semua murid loe pada kabur dari loe.”
Viola tertawa mendengarnya, melempar bantal ke muka Mawar yang membuat Mawar sesaat terpekik kaget. Dia ingin membalas, namun tak tega saat melihat tawa Viola yang begitu renyah terdengar.
“Tawa loe, sakit tau!” canda Mawar sengaja menambah kelucuan agar Viola terus tertawa.
“Habisnya loe, sejak kapan gue pengen jadi guru,” balas Viola. “Sama anak kecil aja gue kagak suka, mau jadi guru segala. Bisa stress gue nanti. Yang satu nangis, yang satu ketawa, yang satu minta makan, yang satu minta ke kamar mandi, belum lagi rewel dan bandal-bandalnya. Ish, malas!”
“Tapi suatu saat loe harus hadapi semua ini, Vi, loe kan harus jadi ibu dari anak Panji,” ucap Mawar yang langsung membuat Viola menghela napas.
“Itu dia yang buat gue bingung,” jawab Viola. “Bang Panji malah pengen punya anak lima, cobalah itu. Gimana jaganya coba. Satu aja kelimpungan.”
Mawar tertawa mendengarnya, “Lumayan, Aldo malah pengen anak tujuh. Jadi gue bilang, gak sekalian buat kesebelasan apa?!”
Viola tertawa, dan kini disusul tawa dari Mawar. Ada rasa lega di hati Mawar melihat Viola kembali tertawa bersamanya. Sudah cukup lama dia tidak tertawa bersama Viola. Selama ini hanya ada air mata yang ke luar memikirkan Viola yang tak kunjung memberikan ruang dan waktu untuknya kembali bercerita bersama. Dan sekarang, akhirnya setelah sekian lama, semua itu kembali terjadi seperti dulu.
“Jadi gimana, Mbak Bro, kita jalan sekarang?” tanya Mawar lagi.
“Loe bakalan susah ngejagain gue nanti, War.”
“Apanya yang susah sih, tinggal dorong aja,” jawab Mawar lagi. “Kalau dulu iya susah, soalnya loe suka ilang-ilangan, atau malah narik-narik gue masuk ke toko sat uke tokko lain, belum siap milih, loe udah narik gue lagi, belum bayar, udah loe tarik lagi gue. Suka kali buat orang malu. Dikira orang gue gak punya duit!” ucap Mawar kesal saat mengingat dulu tingkah Viola yang sulit dia kendalikan. Selalu saja maunya yang harus diturutin. Sedangkan Mawar sendiri, hanya bisa menghela napas dan mengikuti apa pun yang diminta paksa oleh sahabatnya itu.
“Ya loe juga salah,” balas Viola yang terlihat tidak ingin terus disalahkan.
“Kok gue yang salah, jelas-jelas loe yang salah!”
“Ya loe kan bisa bilang ke gue, kalau mau bayar, atau masih mau milih. Jadikan gue gak bakalan narik untuk ke luar pindah ke toko sebelah. Kalau loe bilang, gue gak nakalan maksa kan?”
“Lha, malah nyalahin gue!” balas Mawar tidak terima. “Loe gak ingat dulu saat gue maksa buat loe tetap tinggal di toko sepatu yang masih gue mau coba, loe malah ngerengek-ngerengek di depan semua orang terus narik tas gue sampai gue kecekik. Malah sepatunya sebelah masih gue pakai lagi. Gak ingat loe kita dikejar-kejar pegawai tokonya?” tanya Mawar yang langsung diserbu tawa oleh Viola yang berhasil mengingat kejadian lucu itu. “Sampai dikira maling gue, padahal semuanya karena loe. Untung ada Bang Panji yang datang cepat nolongi dan coba ngeyakini mereka untuk ga terus menerus ngehukum kita. Malah disuruh beli lagi tuh sepatu kebesaran. Alhasil gue sedekahin ke saudara gue. Sial banget sih!” gerutu Mawar yang terus saja dibalas Viola dengan tawa semakin keras.
“Kan lumayan, loe kan kurang sedekat selama ini, jadi waktu itu secara gak langsung gue ngajarin loe sedekah,” canda Viola lagi yang dari dulu sangat suka melihat Mawar kesal di hadapannya. “Kalau gak karena itu, loe pasti gak bakalan sedekah kan, ayo ngaku!”
“Iya juga sih, tapi gak dua juta juga sekalli sedekah, Vio!!!” bentak mawar semakin kesal mengingat nominal harga sepatu yang saat itu ingin dia beli, namun kebesaran. “Itu uang jajan gue sebulan!!!”
“Ya gak apa-apa lagi, loe kan jadi gak suka jajan setelah itu. Loe jadi diet gak terus-terusan makan bakso di sekolah,”canda Viola lagi. “Jadi gimana saudara loe waktu itu, senang kalilah dia ya nerima sepatu dari loe?”
“Ya senanglah, gila aja dia gak senang sepatu mahal banget kayak gitu,” jawab Mawar. “Sengaja gue gak lepas tuh kertas harganya, biar dia tau berapa harga tuh sepatu. Gue ceritain juga keapesan gue waktu itu, berharap dia bayar minimal setengahnya, eh, malah diketawain gue. Terus dia bilang ‘makasih ya, sering-sering sial’, kurang ajar kan?”
Viola kembali tertawa dan kali ini sembari memukul paha Mawar dengan bantal. Mawar melipat kedua tangannya di d**a, kesal bukan main sembari memanyunkan bibirnya di hadapan Viola.
“Ya udah, ayo sekarang juga kita belanja, gue mau balas dendam,” jawab Mawar sembari berdiri dan mengarahkan kembali kursi roda mendekati Viola. “Gue bakalan buat uang belanja loe dari Panji habis buat bulan ini. Peduli amat loe kena marah sama Panji, gue yakin dia gak bakalan Marah bahkan kalau sampai loe ngebangkrutin perusahaannya pun, dia juga gak bakalan marah. ayo cepat!”
Mawar langsung membantu Viola untuk berpindah ke kursi roda. Viola yang masih saja tak bisa menghentikan tawanya, hanya pasrah saat MAwar membantunya pindah. Mawar yang masih kesal, berusaha meminta Viola untuk berhenti, tapi tetap saja Viola terus menertawakannya da sesekali mengejeknya.
“Jangan-jangan loe lagi yang bakalan bangkrut kali ini gue buat!” seru Viola saat Mawar mengambil cardigan untuk Viola dalam lemari, serta topi yang diminta Viola. Mawar juga tak lupa menyelimuti Viola dengan kain di bagian pahanya seperti biasa sesuai arahan Viola sebelumnya.
“Kagak bakalan, gue gak bakalan ngeluarin uang sepersen pun kali ini,” balas Mawar sembari memakaikan cardigan dan topi di kepala Viola. “Gue mau kali ini, gue bebas biaya, loe harus traktir gue apa pun!”
“Ich curang!” seru Viola yang hanya dibalas Mawar dengan tawa sembari mendoronng krusi roda Viola ke luar dari kamar.