Seperti yang diduga sebelumnya, tawa Viola kembali saat Mawar mengajaknya berjalan-jalan di mall pilihannya. Mawar yang terkadang suka iseng mengerjainya dengan mendorong kursi roda ke kanan dan kiri, membuat Viola menjerit panik namun berhasil membuat Mawar tertawa. Semua pasang mata tertuju kepada kedua sahabatnya itu. Ada yang menatap risih, tapi ada juga yang malah ikut tertawa melihat tingkah keduanya.
“Wah, bagus!” seru Mawar saat melihat pakaian yang dipakai salah satu patung di lemari kaca. Tanpa minta izin pada Viola, Mawar langsung mendorong kursi roda Viola untuk masuk ke dalam toko. Viola hanya menepuk keningnya melihat tingkah Mawar yang persis seperti anak-anak.
“Mbak, aku mau gaun di patung itu!” seru Mawar seolah tidak mempedulikan Viola yang sejak tadi memanggilnya. “Warnanya cuma itu ya?”
“Iya, Mbak, warnanya kebetulan hanya itu saja,” jawab salah satu pegawai sembari melepaskan gaun itu dari patung. Salah satu pegawai lainnya memakaikan patung itu dengan pakaian yang baru.
Mawar menerimanya, tanpa mencobanya, langsung menatap Viola dengan tatapan memelas. Viola menghela napas, mengangguk pelan yang langsung disambut dengan sorakan kegirangan Mawar. Tanpa pikir panjang, dia langsung memberikan gaun itu ke pegawai toko, dan memintaya untuk segera membungkusnya. Viola yang berniat menggerakkan kursi rodanya menuju kasir, langsung urung saat Mawar malah kembali mendorongnya asal. Viola menghela napas, mulai bingung harus melakukan apa.
“Ada lagi yang mau dibeli setelah ini, Nyonya?” tanya Viola di hadapan Mawar yang asyik menyatap makan siangnya. Nasi goreng seafood menjadi pilihannya ditambah dengan Mie Goreng Jawa dan segelas jus mangga kesukaannya. Sedangkan Viola sendiri memilih ayam bakar dan nasi putih sebagai menu makan siangnya.
“Kayaknya gue masih pengen lihat-lihat lagi sih!” jawab Mawar dengan mulut penuh makanan. “Kita beum lihat sepatu, jam tangan dan….”
“Gue bangkrut dong, War!!!” potong Viola kesal bukan main yang malah disambut MAwar dengan tawa ngakak. Dia tampak puas sudah mengerjai Viola hari ini. Sudah beberapa barang berhasil dia beli, walau belum sampai dua juta, tapi rasanya Mawar masih kurang puas melakukannya.
Viola sebenarnya tidak masalah dengan semua yang dibeli Mawar. Sejuta lima ratus sudah dia habiskan untuk memuaskan dendamnya. Ada tas, gaun, dan beberapa alat make up yang sudah dia pilih dan bawa dengan kantung belanjaan. Viola benar-benar lelah saat ini. Dia ingin pulang, namun dia sadar kalau Mawar masih ingin bersamanya kali ini. Sudah cukup lama dia tidak menghabiskan hari-harinya bersama Mawar. Dan rasanya, dia benar-benar tidak tega melihat Mawar kecewa hanya karena dirinya memutuskan untuk menyudahi hari ini. Melihat Mawar bisa tersenyum setelah sekian lama, membuat Viola tak keberatan dengan semuanya. Viola hanya berpura-pura kesal, walau sebenarnya dia lelah bukan main.
“Bodo amat!” ucap Mawar sembari menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, lanats kembali menyantap makanannya yang masih tersisa cukup banyak.
Viola masih berakting kesal, menghela napas panjang lantas melipat kedua tangannya did ada. Berniat membuat Mawar semakin tertawa dengan berpura-pura kesal padanya, namun suara seseorang malah membuatnya berhenti berakting. Viola menoleh, begitu juga dengan Mawar. Betapa kagetnya Viola saat mengetahui siapa yang kini menghampirinya. Dengan gayanya seperti biasa, wanita cantik itu melangkahkan kedua kakinya dan berhenti tepat di meja Viola dan juga Mawar.
“Apa kabar, Viola?” tanya wanita cantik bertubuh langsing dan seksi itu. Mawar mengalihkan tatapannya ke Viola yang masih saja menatap wanita itu dengan tatapan tidak percaya. Wanita itu malah tersenyum lebar di hadapan Viola, seolah tidak peduli dengan perasaan Viola yangkali ini kacau hanya karena bertemu dengannya.
“Apa masih tetap kaget saat melihat gue, Vi? Atau tatapan loe saat ini, karena kebencian yang masih ada dalam diri loe buat gue?” tanyanya lagi yang kini langsung membuat Viola menarik tatapannya kembali ke makanannya. Bukan itu yang menjadi pusat konsentrasinya, tapi tentangn pertemuannya dengan wanita yang sejak dia menikah, tidak lagi pernah hadir dalam hidupnya.
Viola menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan dan kembali tersenyum, “Hai, Kak, apa kabar, Kak Luna?” tanya Viola tampak santai walau Mawar sendiri sadar, bahwa semua itu acting belaka.
Luna tersenyum lebar mendengar pertanyaan Viola, lantas menyibakkan rambutnya ke belakang. Sesaat Luna mengalihkan pandangannya ke tempat Viola kini duduk, yang ternyata masih berada di atas kursi roda. Lantas Luna tersenyum sinis yang membuat Viola merasa terhina karena senyumannya.
“Sepertinya loe yang sedang di posisi yang gak baik-baik saja,” sindir Luna yang membuat Mawar geram bukan main. Berniat berdiri, namun dengan cepat Viola memanggilnya dan memintanya untuk duduk kembali, saat Mawar mengarahkan tatapan padanya.
“Sepertinya kakak salah, gue baik-baik aja saat ini kok, Kak. Terima kasih sudah mengkhawatirkan kondisi gue,” ucap Viola yang kembali disambut Luna dengan tatapan sinis. Tatapan yang semakin mengecilkan Viola di hadapannya.
“War, apa loe sudah selesai?” tanya Viola berpura-pura sibuk membereskan dirinya untuk pergi. “Kita bisa pergi sekarang? Gue masih ada kerjaan lain di rumah.”
“Kenapa buru-buru?” tanya Luna yang berhasil membuat Viola dan Mawar mengurungkan niat untuk pergi. Mawar kembali duduk di kursinya, menatap Luna dengan kesalnya. “Kenapa, malu sama kondisi loe yang gak sempurna ini? Sementara gue, masih seperti biasa. Jadi wanita yang jauh dari kata sempurna, bahwa sangat sangat sangat sempurna.” Luna memutar tubuhnya yang membuat Viola menundukkan kepala. “Seharusnya Panji bersama gue, bukan malah sama loe.”
“Cukup!” bentak Mawar. “Dasar wanita gak tau malu. Udah jelas-jelas Bang Panji gak suka sama loe, masih aja ngarep. Ngimpi loe?”
“Gak usah ikut campur!” bentak Luna, lantas kembali menatap Viola yang masih tertunduk. “Seharusnya teman loe ini sadar dan berterima kasih sama gue, karena gue udah ngerelain Panji buat sama dia. Gue udah nyumbangin cinta gue buat dia. Andai aja gue tau kalau sumbangan gue itu malah menyusahkan orang yang gue cintai, gue gak bakalan gitu aja kasih ke dia. Sekarang, Panji malah harus menderita ngurusin wanita cacat kayak dia!”
“Luna!!” bentak Mawar tanpa peduli berapa usia Luna yang sebenarnya lebih tua darinya. Mawar berdiri di hadapan Luna dengan penuh emosi. Sedangkan Viola berusaha menenangkan Mawar dengan air mata yang kini melintasi pipinya.
“Apa! Mau ngelawan gue loe?!” tantang Luna tanpa rasa takut.
Semua pengunjung mengarahkan tatapan ke kedua wanita yang kini saling beradu tatap. Dua orang pegawai café, langsung datang mendekat dan meleraih keduanya. Viola sendiri menarik tangan Mawar untuk berdiri dekat dengannya dan mencoba menenangkannya.
“Ntah di mana otak loe ya, ngehina kekurangan orang di depan umum!” bentak Mawar lagi. “Jangan mentanng-mentang loe hidup dengan kesempurnaan loe sekarang, loe bisa seenaknya nghina orang lain kayak gitu!”
“Terserah gue!” bentak Luna lantas menjulurkan lidah ke Mawar. “Salah kalau gue bangga sama kesempurnaan gue? Teman loe itu aja yang gak tau terima kasih, malah masih aja bertahan sama Panji. Padahal mungkin saat ini Panji malah udah muak sama dia, tapi mau gak mau harus bertahan di pernikahan itu demi nama baik keluarga. Dia pasti bukan cinta sama loe, tapi kasihan!”
“Luna!!!” jerit Mawar lagi geram bukan main.
“Mawar, udah, kita pulang sekarang,” ajak Viola lantas meraih tas Mawar di atas meja. “Ayo, War.”
“He, gue belum siap sama loe!!” bentak Luna yang masih dipegangi oleh beberapa orang agar tidak mengejar Viola yang sudah ke luar dari tempat makan. “Lepasin gue!!”
“Jangan bertengkar di sini, Mbak.”
“Iya, lagian kasihan wanita itu.”
“Kok jahat banget sih, Mbak.”
Semua orang terus menghardik Luna yang membuatnya kesal bukan main. Luna langsung mengusir semua orang dari hadapannya, menghentakkan kakinya lantas pergi ke luar dari tempat makan diiringi sorakan semua orang yang menyaksikan langsung pertengkaran itu.