Panji menghela napas panjang di depan Bara. Keduanya yang sedikit jenuh di kantor, memutuskan untuk duduk sebentar di kantin sembari menikmati segelas kopi. Cerita Panji tentang Viola tadi pagi saat dirinya memberitahukan tentang rencana pembuatan kaki palsu itu, membuat keduanya sesaat terdiam membisu. Bara menatapnya kasihan, sedangkan Panji hanya menundukkan kepala sembari menyeruput kopinya yang mulai dingin.
Bara sendiri tidak menyangka, Viola akan setersinggung itu dengan pembahasan itu. Semula dia berpikir, Viola akan bahagia dengan keputusan besar yang akan membuatnya kembali berjalan, walau bukan dengan kedua kakinya yang asli. Harapan Viola itu akan segera terwujud, namun sayangnya dugaan Bara salah besar. Viola memang menyetujuinya, namun dengan cara yang menyakitkan untuk diterima Panji. Hingga membuat lelaki itu cukup bimbang dengan keputusannya berikutnya.
Panji sendiri benar-benar bingung harus melakukan apa. Di satu sisi dia ingin mengajak Viola bertemu sekedar berkonsultasi dengan dokter yang disarankan Bara padanya. Membuat sang istri kembali berjalan riang seperti biasa, dan mewujudkan semua impiannya yang ingin menjadi istri sempurna. Namun ucapan Viola tadi pagi, ditambah dengan air matanya yang tumpah, membuat Panji yakin bahwa jauh di dalam hati kecil Viola yang terdalam, dia takut, cemas dan berpikir negative tentangnya. Beranggapan bahwa semua orang sama, menghinanya dan malu dengan keadaannya saat berdekatan dengannya.
“Jadi gimana selanjutnya?”
Pertanyaan Bara jelas saja membuat Panji menatapnya sesaat, lantas kembali menundukkan kepala. Dia sendiri pun bingung bukan main harus melakukan apa. Rasanya dia tidak ingin lagi ngebahas hal itu dengan Viola. Dia tidak ingin hubungan pernikahannya menjadi tidak menyenangkan hanya karena pembahasan yang malah akan membat Viola tidak nyaman mengobrol dengannya. Panji menggelengkan kepala, yang membuat Bara menghela napas berat.
“Kenapa gak terima aja saran Tante Alia untuk mengobrol dengan Viola?” tanya Bara lagi yang kali ini tidak dijawab Bara dengan anggukan, gelengan atau pun dengan suara dia hanya bungkam, sembari memperhatikan sisa kopinya yang hanya tinggal dua kali teguk saja.
“Gue rasa, Tante Alia bisa ngeyakinkan Viola untuk menerima saran dari gue itu. Meski pun gue tau selama ini loe dan Viola dekat banget, sampai-sampai sebelum tau kalian bukan saudara kandung pun, Viola lebih percaya sama loe dari pada sama semua orang, tap ikan Tante Alia tetap ibu kandungnya. Gue yakin, dia bisa ngeyakinin anaknya sendiri untuk mau membuat kaki palsu.” Bara mencoba memberikan kalimat-kalimat keyakinannya pada Panji yang kini menyandarkan tubuhnya di kursi, melipat kedua tangan di atas perutnya, lantas menatap Bara dengan ekspresi datar, namun tampak jelas dia sedang memikirkan sesuatu.
“Sepertinya, gue gak akan maksa dia lagi,” ucap Panji seolah menyerah dengan keinginannya sendiri.
Bara tampak kaget mendengarnya, “Jangan nyerah gitu dong, Bro! ini semua demi Viola juga,” balas Bara seakan tidak ingin rencana bagusnya itu hancur begitu saja. Dia sudah menganggap Viola seperti adiknya sendiri. Dia ingin yang terbaik untuk Viola, termasuk dengan membuatnya kembali berjalan seperti sediakala.
“Gue bukan menyerah,” jawab Panji berusaha tetap tenang walau perasaannya kacau bukan main. “Gue cuma gak ingin membuat Viola tertekan dengan rencana kita. Kita mungkin beranggapan itu yang terbaik buat dia. Tapi bagi Viola, tidak sama sekali, kan?” tanya Panji yang langsung mengubah ekspresi Bara yang semula menggebu-gebu, kini tampak tenang. “Dan gue juga gak mau hanya gara-gara ini, hubungan gue dan Viola jadi gak enakan. Biar gimana pun, kami baru menikah. Gue gak ingin gara-gara ini gue dan Viola terus bertengkar setiap harinya. Dia sudah cukup menderita dengan kondisinya, gue gak mau nambah beban pikiran dia lagi.”
“Loe yakin dengan keputusan loe ini?” tanya Bara yang tampak masih yakin, bahwa Viola bisa jauh lebih baik dari hari ini jika mau mengikuti sarannya.
Panji mengangguk pelan, “Yang terpenting buat gue itu kenyamanan Viola. Mungkin saat ini dia mulai nyaman dengan kondisinya, sudah mulai bisa menerima kondisinya yang seperti ini. Dan rasanya gak adil buat dia kalau di saat dia sudah berteman dengan keadaan, gue malah maksa dia untuk melakukan hal itu. Dia pasti berpikir, kalau gue malu dengan kondisinya. Gue malah gak ngedukung dia bangkit.”
“Ini bukan dukung gak mendukung, Bro. Ini tentang kesempatan Viola kembali berjalan lagi,” balas Bara lagi.
“Udalah, Bar, gue udah gak mau lagi ngebahas hal ini,” tolak Panji. “Gue udah gak mau lagi mikir tentang kedua kaki palsu untuk Viola. Apa pun kondisi Viola saat ini, kalau dia saja bisa menerimanya, gue juga harus lebih bisa menerimanya. Gue gak mau lagi kita ngebahas hal ini. Mungkin bisa saja hari-hari berikutnya dia berubah pikiran dan mau menerima saran loe itu, tapi saat ini dia tidak ingin melakukannya. Dan gue gak mau maksa dia untuk ngikuti semua yang gue inginkan.”
Bara menghela napas pelan. Dia tidak punya lagi kata-kata untuk melawan pikiran Panji. Walau pun sebenarnya dia ingin melakukannya demi Viola, tapi tetap saja, yang punya kuasa atas diri Viola bukanlah dirinya, melainkan Panji. Bara meraih kopinya, menyeruputnya pelan. Sedangkan Panji, meraih hanphonenya dan mengecek jadwal hari ini.
“Kita gak ada jadwal penting hari ini, kan?” tanya Panji yang langsung membuat Bara meletakkan kembali gelas kopinya yang sudah kosong.
“Tadi gue lihat udah gak ada,” jawab Bara lagi. “Cuma gue gak tau juga sih, sekertaris loe itu kan suka banget ngejadwalin kegiatan loe tanpa diskusi terlebih dulu sama gue. Kadang rasanya pengen gue pecat aja tuh cewek. Tapi kayaknya loe terlalu sayang sama dia, makanya masih aja dipertahankan kerja di sini.”
Panji tertawa mendengar ucapan Bara. Sejak dulu, lebih tepatnya sejak dia mulai menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan mulai mempekerjakan Rani di kantornya, Bara memang tidak terlalu menyukainya. Sifat Rani yang teradang suka ngeyel jika dia bilangi, membuat Bara sering adu mulut dengan wanita seksi dengan rambut pendek sebahunya itu.
“Tapi caranya bekerja di kantor aku rasa cukup baik,” jawab Panji yang langsung membuat Bara memutar kedua bola matanya, kesal, “Dia kerjanya cepat, bagus dan sesuai yang gue inginkan. Dia juga teliti banget sama semua pekerjaannya. Jarang ada kesalahan yang dia buat dari mulai kerja sama gue sampai detik ini. Dan yang paling gue suka dari sikapnya, dia ramah dan selalu on time setiap kali gue memintanya untuk datang.”
“Tapi ngeyelnya itu lho, Panji!” ucap Bara kesal sembari menekan nama Panji yang jelas saja membuat Panji tertawa mendengarnya. “Asal gue kasih tau, ada aja jawabannya. Kayak gak pernah kehabisan kalimat buat ngelawan gue. Untuk cewek, kalau cowok udah gue hajar tuh orang.”
Panji tertawa sesaat mendengarnya, “jangan kasar-kasar, entar jatuh cinta.”
“Eh, gila loe!” bentak Bara dengan ekspresi kaget bukan main. “Jadi istri gue yang cantik jelita dan lemah lembut itu mau gue taruh di mana! Lagian kalau pun gue belum nikah sama Rossa, gue juga gak bakalan mau sama cewek centil kayak gitu. Loe sih gak lihat aslinya gimana. Sama loe iya sopan, ramah, teliti, bla bla bla pokoknya. Tapi sama semua karyawan lainnya, beda, Bro!”
“Ya… gue gak peduli sih soal itu,” jawab Panji santai. “Yang gue peduliin, cara dia kerja dan nurut sama apa yang gue bilang. Mungkin karena dia nganggap loe bukan siapa-siapanya di kantor, makanya dia suka-sukanya sama loe. Tapi sama gue beda kok, dia malah gak pernah ngeyel sama sekali. bagus.”
Bara menghela napas kesal, “Terserah loe dah! Gue gak mau dengar di kemudian hari nanti loe ngeluh sama dia ya. Kalau itu terjadi, gue bakalan angkat lagi semua kalimat loe hari ini ke depan mata loe!”
Panji tertawa kembali. Suara deringan handphonenya terdengar, terllihat nama Mawar di layar handphonenya yang membuatnya berhenti tertawa. Dia tahu, Viola sedang bersamanya. Dan Panji sempat memperingati Mawar untuk segera menghubunginya setelah selesai berbelanja atau jika ada masalah yang terjadi. Dengan santainya, Panji menjawab telepon Mawar saat itu. Namun baru saja dia menyapanya, terdengar suara tangisan di dekat mawar yang tak asing untuk diterimanya.
“Viola kenapa?!” tanya Panji yang langsung membuat Bara kaget mendengarnya. Semua pasang mata pengunjung kantin yang memang belum terlalu ramai, langsung mengarah padanya. Namun hanya sesaat, lantas kembali fokus ke teman ngobrol masing-masing atau malah santapan di atas meja bagi para pengunjung yang datang seorang diri.
“Jawab gue, War, kenapa Viola nangis!” bentak Panji lagi yang langsung membuat Mawar mencoba tetap tenang.
“Luna, Bang. Kami ketemu Luna di mall, dan dia menghina Viola di depan umum!” jawab MAwar yang langsung membuat Panji geram bukan main. Rasanya dia ingin segera menemui Luna saat itu juga. Memakinya tanpa ampun karena sudah membuat Viola menangis terisak seperti saat itu.
“Kasihkan handphonenya sama Viola, War,” pinta Panji yang langsung diturutin Mawar. Mawar memberikan handphonenya ke Viola yang sudah duduk bersamanya di dalam mobil. Viola menempelkan handphonenya di telinga sembari terus menangis.
“Vi, kamu baik-baik aja?” tanya Panji berusaha tetap tenang saat mendengar suara tangisa Viola begitu dekat dengannya. “Jangan pikirkan apa pun yang dikatakan Luna ya, kamu tau sendiri kan dia suka ngasal kalau ngomong. Jangan dipikirkan lagi ya, Sayang. Kamu harus tenang, dan sekarang juga pulang ke rumah, sebentar lagi abang pulang. Oke?”
“Bang… Viola mau buat kaki palsu,” ucap Viola yang jelas saja membuat Panji kaget bukan main. Dia tidak percaya akan mendengar kalimat setuju Viola setelah dirinya sudah memutuskan untuk menyerah dengan keputusan Viola tadi pagi. Panji mengarahkan tatapannya ke Bara yang tampak menanti cerita Panji tentang apa yang kini sedang dia obrolin dengan istrinya itu.
“Atur semuanya ya, Bang. Buat jadwal ketemu dokternya secepat mungkin,” ucap Viola lagi di sela-sela tangisannya. “Viola mau secepatnya bertemu dengan dokter yang disarankan Bang Bara itu. Viola ingin punya kaki lagi, Bang. Viola gak mau kayak gini terus. abang bisa atur semuanya secepatnya, kan?” tanya Viola seakan tidak ingin memberi jeda pada Panji untuk sekedar membalas kalimatnya sejak awal.
“Kamu serius mau ngelakuinnya, Vi?” tanya Panji lagi yang masih ragu dengan keputusan cepat dari Viola saat itu. “Abang gak bakalan maksa kamu lagi buat ikuti saran Bara. Abang gak mau kamu terpaksa melakukannya, Vi.”
“Viola serius, Bang. Atur saja. Secepatnya!” jawab Viola yang membuat Panji terdiam, kembaali menatap Bara lantas mengangguk pelan yang membuat Bara bingung bukan main.
“Baiklah, abang akan atur semuanya sesuai yang kamu inginkan, jangan khawatir,” ucap Panji yang kini langsung membuat Bara mengetahui apa yang keduanya bicarakan. Bara mengangguk pelan yang membuat Panji menghela napas panjang, lantas meraih kopinya dan menyeruputnya hingga habis, sembari terus berbicara dengan Viola yang masih menangis di seberang sana.