Viola benar-benar tampak cemas bukan main. Duduk sendirian di depan ruangan seorang dokter yang Bara sarankan kepadanya dan juga Panji. Panji sendiri masih mendaftarkan nama Viola ke meja seorang suster, kembali melangkah mendekatinya dan duduk di sampingnya. Panji melirik ke arahnya, memegang tangan Viola yang lantas mendapatkan senyuman tipis dari Viola, walau terasa menyakitkan untuk diterima Panji kala itu.
Panji sadar, sang istri benar-benar ketakutan saat itu. Ceritanya tentang Luna tadi malamlah yang membuatnya akhirnya mau menerima saran dari Bara. Sebenarnya, andai saja dokter itu tidak menyetujui janji jumpa hari ini, Panji ingin datang menemui Luna. Sekedar memberikannya pelajaran agar tidak melakukan hal itu lagi saat bertemu Viola suatu hari nanti. Namun sialnya, niat itu urung saat Bara menghubunginya pagi-pagi buta tadi, dan memberi kabar bahwa Dokter Michella, mau menemuinya hari ini di jam sepuluh pagi.
Cukup banyak orang lalu lalang di koridor rumah sakit. Ada yang dalam keadaan sehat berjalan entah dengan niat apa hadir di rumah sakit. Ada yang sama seperti Viola duduk di kursi roda dan dibantu orang lain mendorongnya dari belakang. Ada yang duduk menanti giliran di ruangan dokter masing-masing. Dan ada beberapa team medis dengan kegiatannya masing-masing. Pemandangan itu sudah pernah dilihat Panji saat menemani Viola di rumah sakit dulu, pasca kecelakaan itu terjadi. Dan kini, seakan mengalami dejavu, Panji kembali ditayangkan pemandangan yang sama seperti dulu. Saat dia duduk sendirian di kursi di luar kamar inap Viola.
Suara seorang suster memanggil nama Viola terdengar. Viola mempererat genggamannya saat Panji mengajaknya masuk ke dalam. Panji tersenyum, mencoba menenangkannya lantas mendorongnya masuk ke dalam ruangan yang sudah terbuka. Seorang dokter cantik berambut kecokelatan dan ikal, menyambutnya Panji dan Viola di dalam. Dengan sikap ramah, dia berdiri dari kursinya, mendekati Viola dan Panji, lantas meminta Panji untuk duduk di kursi tamu.
“Kalian, sahabatnya Bara?” tanya Michella yang langsung dijawab awalnya dengan anggukan oleh Panji. Sedangkan Viola hanya tersenyum tipis sembari menggenggam kedua tangannya sendiri. Dia masih tampak cemas, dan kecemasannya itu terlihat jelas oleh Michella yang memang sudah mendengar semua cerita tentangnya dari Bara. Termasuk tentang penolakannya sebelumnya.
“Viola tenang saja, semua akan terjalani dengan lancar, saya bisa jamin hal itu,” ucap Michella dengan nada suara tenang yang sedikit berhasil membuat Viola lega mendengarnya.
“Apa saya bisa berjalan lagi, Dokter?” tanya Viola dengan nada ragu. “Walau pun dengan kedua kaki palsu?”
“Tentu saja,” jawab Michella tampak yakin. “kaki palsu kamu nanti bisa dibongkar pasang. Kapan kamu mau pakai, kamu tinggal pasang di kedua kaki kamu. dan jika tidak ingin memakainya, kamu bisa langsung melepasnya.”
Viola mengarahkan tatapannya ke Panji, seolah meminta dukungan. Panji yang duduk di sampingnya, langsung kembali menggenggam tangannya sembari tersenyum lebar. Viola membalasnya dan kembali mengarahkan tatapan ke Michella yang masih duduk di hadapan keduanya dan hanya di halangi dengan meja saja.
“Apa akan sama rasanya seperti menggunakan kaki asli, Dokter?” tanya Viola lagi yang membuat Michella tersenyum lebar.
“Awalnya sedikit aneh memang, kamu harus belajar menyesuaikan diri dengan kedua kaki palsu itu yang nantinya akan melekat di kedua kaki kamu. kamu harus bsia menyeimbangkan diri, berjalan perlahan, lantas kamu bisa mulai terbiasa,” jawab Michella. “Semua seperti mulai dari awal, Viola, seperti saat kamu mulai belajar berjalan. Tapi setelah kamu berhasil menyesuaikan diri dengan alat bantu kedua kaki kamu nanti, kamu malah tidak akan merasa bahwa kedua kaki itu palsu. Kamu malah menganggap alat bantu itu asli, dan tidak terpisahkan dari tubuh kamu. Banyak pasien saya yang merasakan hal itu. Malah banyak yang malas melepaskannya di waktu-waktu yang sebenarnya bisa dilepas. Seperti lagi tidur, atau tidak ke mana-mana. Mereka lebih nyaman jika kaki palsu itu melekat terus di kedua kaki mereka.” Michella menegakkan posisi duduknya. “Saya yakin kamu juga akan seperti mereka. Nyaman dan malah lupa dengan alat bantu berjalan kamu nantinya.”
Viola tersenyum. Kalimat yang diucapkan Michella benar-benar bisa menenangkannya. Kepanikan dan ketakutan yang sejak tadi dia rasakan, seakan berhasil lenyap seketika. Dokter catik yang memiliki kata-kata begitu teratur itu, seakan bisa menghipnotisnya. Seolah sedang berbicara santai dengan seseorang yang bukan dokter kini dirasakan Viola.
“Jadi kapan kita bisa memulainya, Dokter?” tanya Panji yang sebenarnya merasa tidak sabar melihat Viola kembali berjalan. Namun sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya di hadapan Viola. Dia tidak ingin Viola sampai berpikiran yang tidak tidak tentangnya.
“Secepatnya,” jawab Michella. “Kita mulai saja sekarang, biar Viola bisa secepatnya kembali berjalan.” Michella mengarahkan tatapannya ke Viola. “Kamu siap jika kita lakukan sekarang, Viola?” tanya Michella sekedar memastikan kesiapan Viola untuk melakukan tahap demi tahap pembuatan kaki palsunya.
Viola menganggukkan kepala, “Saya siap, Dokter.”
Panji dan Michella lega mendengarnya, saling melemparkan senyuman. Lantas Michella memanggil suster yangn selalu membantunya untuk segera menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan. Michella mengajak Viola bercerita tentang berbagai hal sembari menanti suster itu menyiapkan apa yang diperlukan. Termasuk menceritakan hal-hal menyenangkan tentang rencana memiliki anak oleh keduanya.
***
Pintu rumah Viola dibuka oleh Alia. Dia menatap heran ke seorang wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya. Rambutnya kepirangan, tubuhnya langsing dan semampai. Pakaiannya elegant yang membuat Alia sempat takjub melihatnya. Dia tersenyum lebar, yang langsung dibalas Alia dengan senyuman lebar juga.
“Maaf, siapa ya?” tanya Alia yang langsung mendapatkan uluran tangan dari wanita di hadapannya. Alia membalasnya yang membuat keduanya berjabat tangan.
“Perkenalkan, saya Gritte, Panjinya ada?” tanya wanita cantik itu sembari melepaskan uluran tangannya.
“Panji lagi pergi sama Viola ke rumah sakit,” jawab Alia yang masih tampak kagum dengan wanita di hadapannya. “Em… tapi ngomong-ngomong, kamu siapanya Panji ya?”
“Saya temannya Panji dari Jerman, Tante. Kami sering ngobrol lewat salah satu aplikasi dulu. Udah lama banget sih, malah jarang juga. Cuma pas dulu ngobrol, saya sempat minta alamat Panji di Indonesia dan berjanji mau ketemu saat saya kembali ke Indonesia. Tapi pas kemarin saya kembali, saya coba hubungi nomor Panji, sudah gak aktif, saya coba email, gak dibalas-balas juga. Makanya saya nekat datang ke sini.” Gritte menjelaskannya dengan sangat detail.
Alia tampak bingung. Selama ini dia tidak pernah tahu kalau Panji sering menggunakan aplikasi seperti itu untuk bertemu dengan beberapa orang atau sekedar mengobrol. Yang dia tahu, Panji malah terlalu fokus dengan Viola sejak dulu, hingga membuatnya Panji tidak punya waktu untuk sekedar membahagiakan dirinya sendiri.
Namun tentang Gritte, dia benar-benar tidak menyangka kalau Panji sempat berkenalan dengan wanita secantik ini. Dia tampak sempurna, dan membuat Alia takjub berulang kali melihatnya. Andai saja dia lebih dulu datang, mungkin saja Panji akan lebih tertarik dengan Gritte dibandingkan dengan Viola. Dan Viola pasti akan sedih berlarut-larut tanpa Panji di sisinya.
“Lama gak ya Panji perginya?” tanya Gritte lagi yang merasa dicuekin oleh Alia yang masih saja melihatnya dari atas hingga bawah. Gritte sedikit risih menerima sorot mata itu. Namun dengan cepat dia tepis agar Alia tidak merasa kesal melihatnya.
“Kurang tau sih, mungkin lama,” jawab Alia yang sebenarnya mulai merasa takut jika Panji berhubungan dengan Gritte. Dia takut, Panji malah akan berubah pikiran dan pergi meninggalkan Viola hanya demi bisa bersama wanita sempurna seperti Gritte.
“Bisa minta nomor handphonenya, Tante?” tanya Gritte yang langsung membuat alia mundur selangkah. Permintaan Gritte itu jelas saja tidak ingin dia wujudkan. Hal itu sama saja membuka celah bagi keduanya berkomunikasi kembali, dan bisa-bisa Gritte berhasil merebut Panji dari tangan Viola. Alia tidak mau melihat sang anak perempuan terpuruk karena harus kehilangan lelaki yang dia cintai. Belum usai penderitaannnya tentang kedua kakinya, Viola malah bisa-bisa harus meratapi nasibnya kehilangan Panji yang dia harapkan, bisa bersamanya sampai kapan pun.
Alia hanya merasa, hanya Panji yang bisa menerimanya apa adanya. Alia tidak bisa yakin, jika besama lelaki lain, Viola bisa diterima dengan sangat baik seperti halnya bersama Panji. Alia benar-benar tidak jngin membuat sang anak terluka lebih dalam.
“Saya lupa nomornya, gak ingat,” jawab Alia berbohong. Padahal sebenarnya, Alia paling hapal kedua nomor handphone anaknya dan juga suaminya.
“Kan tante bisa lihat di handphone tante, nomornya Panji,” ucap Gritte yang tampak tidak yakin dengan jawaban Alia. Dia yakin Alia berbohong padanya. Dan hal itu membuat Gritte ingin terus mendesaknya agar Alia mau memberikan apa yang dia inginkan.
“Handphone saya rusak, masih di tempat service,” jawab Alia ngasal. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa lagi. Jika dia jawab handphonenya lowbatt, bisa-bisa Gritte malah menantinya berjam-jam di depan rumahnya. Dan hal itu membuat Alia emosi melihatnya terus menerus.
“Ya udah, kalau gitu besok saya ke sini lagi buat ketemu sama Panji. Tolong sampaikan ke Panji kalau saya….”
“Gak perlu datang lagi!” potong Alia dengan kedua tangan memegang pinggangnya. Dia terlihat menantang Gritte, yang malah membuat Gritte tertawa lucu melihatnya.
“Tante kenapa sih, kok kayak gak suka gitu sama aku?” tanya Gritte santai sembari melipat kedua tangannya di atas perutnya. “Kita kan baru bertemu hari ini, dan Gritte yakin tante akan setuju kalau Gritte sama Panji berhubungan lebih dalam dari sekedar sahabatan.”
“Gak mungkin!” jawab Alia tegas yang membuat Gritte kaget mendengarnya. “Jangan berharap lebih deh, sebaiknya kamu kembali aja sana ke London, jangan di sini! Cari sana cowok yang lebih dari Panji.”
“Tapi saya maunya Panji, Tante, gimana dong?” tanya Gritte sembari tersenyum simpul.
“Tapi sayangnya anak saya gak mungkin milih kamu lagi,” jawab Alia santai walau terlihat jelas dari wajahnya, kesal bukan main melihat Gritte masih saja di hadapannya.
“Alasannya apa gak mau milih saya? Malah saya yakin, Panji akan langsung milih saya saat saya dan dia bertemu,” jawab Gritte tampak yakin bukan main dengan ucapannya sendiri.
“Karena dia sudah menikah!” jawab Alia santai yang langsung membuat Gritte kaget bukan main. Lipatan tangannya terlepas saat mendengar ucapan Alia saat itu, menatap Alia dengan tatapan tidak percaya mendengar kabar pernikahan Panji.
“Tante bohong, kan?” tanya Gritte berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dikatakan Alia, tidak benar adanya.
“Ya sudah kalau gak percaya, besok silakan datang, gak usah besok deh, nanti malam aja,” jawab Alia. “Saya akan ketemuin kamu dengan istrinya Panji yang jelas-jelas anak saya sendiri.”
Gritte terdiam, menatap Alia dengan perasaan yang masih saja belum bisa memeprcayai seratus persen ucapannya.
“Viola?” tebak Gritte yang dulu sering mendengar cerita dari Panji tentang adiknya sendiri. Gritte tertawa kecil. “Jangan mengada-ngada, Tante. Mereka itu kan abang adik, masa menikah.”
“Ya terserah mau percaya atau tidak, buktikan saja sendiri. Permisi!” ucap Alia lantas masuk ke dalam dan menutup pintu dari dalam yang membuat Gritte kesal bukan main dengan sikap Alia padanya.