“Kamu punya pacar dulu, Bang?” tanya Viola kaget saat mendengar cerita tentang Gritte dari Alia. Duduk berempat di ruang makan saat malam tiba, menjadi ajang Alia menceritakan segalanya tentang kekesalannya pada Gritte. Pertanyaan Viola, berhasil menarik semua pasang mata tertuju ke Panji yang langsung enggan menelan tempe yang baru saja dia lumat di dalam mulutnya, menatap semua orang lantas menggelengkan kepala cepat.
“Jujur aja, gak usah pakai bohong segala!” tambah Alia yang malah membuat Herman mencoba menahan tawanya yang ingin ke luar. Sementara Viola sendiri tampak berdiri di barisan Alia, mengangguk dengan ekspresi menyelidik dan tatapan yang masih saja tertuju ke Panji di sampingnya.
“Beneran, Panji gak pernah punya pacar dulu,” jawab Panji sembari meletakkan garpu dan sendoknya ke atas nasinya yang masih tersisa cukup banyak. “Kenapa pada gak percayaan gitu sih, emangnya tampang Panji ada muka-muka berbohongnya apa?” Panji mulai kesal mendapati sikap keduanya seperti itu. Sementara Herman sendiri, terus berusaha menahan tawa sembari melhap kembali makan malamnya. Dia sangat tahu sifat ibu dan anak itu, keduanya sama saja, sellau tidak pernah percaya sama orang lain walau pun orang tersebut orang terdekat sekali pun.
“Jadi siapa Gritte?” tanya Viola lagi. “Malah namanya bagus banget lagi.”
“Iya, siapa dia!” potong Alia mencegah Panji menjawab pertanyaan Viola. Panji menghela napas panjang, lantas meyandarkan tubuhnya di kursi, menatap keduanya secara bergantian, lantas menghela naaps lagi dan lagi.
“Gini ya, apa yang dikatakan Gritte itu benar, kami hanya pernah ngobrol beberapa kali di salah satu aplikasi pencari teman.”
“Pencari jodoh!” potong Viola yang kembali membuat Panji menghela napas kasar.
“Iya-iya pencari jodoh,” jawab Panji membenarkan. “Tap ikan saat itu abang gak bermaksud nyari jodoh, Vi. Waktu itu abang cuma lagi kesal sama kamu, karena abang dengar kamu mulai suka-sukaan sama cowok. Jadi abang ingin lihat kamu cemburu sama abang, makanya abang coba cari-cari. Eh, malah dapatnya di luar Indonesia, ya… abang mikirnya ya bagus sih, jadi abang gak perlu berurusan sama dia untuk ketemuanlah atau telepon-teleponan setiap saat.”
“Ouw, jadi sekarang abang ngebelain Gritte gitu?” tanya Viola lagi yang sudah terlanjur cemburu mendengar cerita Alia tentang sosok Gritte yang cantik.
“Kok ngebelain sih, dari mananya abang ngebelain Gritte, Viola,” ucap Panji yang mulai bingung harus membalas kalimat Viola apa lagi. Ucapan Viola yang sejak tadi terkesan menuduhnya terus menerus, membuatnya melirik ke Herman yang malah terus tertawa kecil melihat semua bertengkar di hadapannya. Panji sadar, semua ini memang bukan masalah besar. Semua bisa diselesaikan dengan baik, dan Herman sendiri sudah sering dia lihat berhadapan dengan posisi seperti ini. Namun melihat Viola yang terus saja tidak percaya padanya, membuat Panji terus encoba meyakinkannya agar tidak terkena masalah lebih besar nantinya.
“Pa, menurut papa, Panji gak ngebelain Gritte, kan?” tanya Panji yang sebenarnya mencoba mencari pembelaan dari orang yang dia anggap tidak berpihak pada siapa pun.
“Lha, kok nanya papa, mana papa tau,” jawab Herman sengaja yang membuat Panji semakin bingung harus bagaimana lagi melawan ibu dan anak itu.
“Udah, gak usah cari pembelaan, kalau memang kamu jatuh cinta banget dulu tuh sama Gritte itu, kenapa malah nikahnya sama Viola.” Viola melipat kedua tangannya di atas perut. “Dia cantik, tinggi, apa lagi coba.”
Belum sempat Panji menjawab pertanyaan Viola, tiba-tiba Mbok Simi datang mendekat yang membuat semua pasang mata, langsung tertuju kesal ke arahnya. Simi yang mendapati tatapan tajam itu, sesaat kaget bukan main, menelan air liurnya sendiri lantas memberanikan diri mulai bebricara pada semua orang yang masih duduk di kursi masing-masing.
“I-itu, ada tamu,” jawab Simi gugup.
“Siapa, Mbok?” tanya Herman lebih dulu.
“Katanya namanya Gritte, nyariin Mas Panji,” jawab Simi yang langsung membuat Alia dan Viola kesal bukan main dan melesatkan tatapan kembali ke Panji. Sedangkan Panji sendiri, hanya menepuk keningnya, lantas kembali menyandarkan tubuhnya di kursi. Herman tertawa mendengar jawaban Simi. Dan kali ini tawanya tak lagi bisa dia tahan kembali.
***
Panji duduk di hadapan Gritte. Dan bukan hanya Panji saja, Alia dan Herman malah ikukt duduk di ruang tamu yang membuat Gritte risih bukan main dengan semua tatapan aneh itu. Herman sendiri pun ikut curiga saat melihat Gritte secara langsung, namun tetap saja, sikapnya masih terlihat santai karena keyakinannya pada Panji, bahwa Gritte bukanlah siapa-siapa dia saat sebelum menikah.
Gritte sendiri tampak risih dengan semua orang yang malah duduk di hadapannya. Apa lagi tatapan Alia yang terus saja menatap tajam padanya. Semula Gritte hadir karena ingin mengobrol berdua dengan Panji, sekedar melepas rindu dan sekalian bertanya tentang pernikahannya yang langsung dia dengar dari Alia. Namun melihat semua ini, membuat Gritte urung melakukannya. Gritte malah berulang kali menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari kegelisahannya akibat penyambutan yang terkesan seperti di ruang interogasi.
Tidak terlihat Viola di sana, padahal Gritte sangat ingin bertemu dengan wanita yangn dikatakan Alia adalah istri sahnya Panji itu. Gritte memang sering mendengar cerita tentang Viola saat mengobrol dengan Panji di aplikasi. Bahkan selalu saja tentang Viola yang menjadi pembahasannya. Setahu Gritte, Viola adalah adik Panji, bukanlah istrinya. Namun kini yang dia dengar malah sebaliknya. Gritte menegakkan lehernya, menyapu pandangannya ke sekeliling mencari sosok Viola yang sebenarnya, duduk di ruang tv dengan kursi rodanya, di balik dinding. Mencoba mendengar segalanya berdua bersama Simi yang dia tahan, saat berniat menghidangkan minuman di ruang tamu.
“Lagi nyari apa kamu?” tanya Alia gemas. “Mau coba-coba melihat rumah ini dari sudut ke sudut, biar bisa masuk diam-diam nanti malam buat mencuri?” sindir Alia yang jelas saja membuat Gritte kesal bukan main karenanya. Sedangkan Herman dan Panji, emncoba menahan tawa akibat ucapan Alia yang tidak masuk akal.
“Saya bukan maling, Tante,” jawab Gritte berusaha sopan walau sebenarnya hatinya dongkol bukan main. Gritte tidak ingin bersikap tidak sopan seperti tadi siang di hadapan Panji. Dia ingin, Panji melihatnya sebagai wanita yang baik dan santun, bukan kasar seperti tadi siang saat berhadaapan langsung dan berdua dengan Alia.
“Wah, lembut banget tuh suara, tadi siang persis banget kayak preman,” sindir Alia lagi yang membuat Gritte kembali menahan emosinya yang hampir saja meledak. Andai saja tidak ada Panji di sini, mungkin saja dia sudah menghantam Alia dengan kata-kata pedasnya.
“Eh iya, apa kabar kamu? udah lama kamu gak aktif di aplikasi itu,” ucap Gritte mengalihkan pembicaraan dan sorotan matanya ke arah Panji, seolah tidak lagi peduli dengan Alia yang malah menatapnya geram karena menganggap Gritte mengabaikannya.
“Gue udah gak main aplikasi-aplikasian lagi sekarang, cuma sekali itu aja, setelah itu gak pernah lagi. Loe masih main?” tanya Panji santai.
Gritte kaget mendengar Panji memanggilnya dengan sebutan ‘loe dan gue’. Sebelumnya, Gritte dan Panji masih memakai sebutan aku dan kamu saja, namun kini Panji malah menggantinya. Gritte merasa, dirinya sudah tidak lagi dianggap penting bagi Panji. Rasanya sebutan ‘aku dan kamu’ lebih dalam maknanya dari pada ‘loe dan gue’.
“Gak, terakhir cuma sama kamu waktu itu. Aku masih boleh manggil dengan sebutan ‘aku dan kamu’, kan?” tanya Gritte yang hanya dijawab Panji dengan senyuman. Panji malah sempat melirik ke Alia dan Herman, takut jika keduanya marah karena pertanyaan Gritte.
“Aku main itu cuma ingin komunikasi sama kamu aja, Ji, selebihnya aku gak pernah lagi main itu. Tapi berulang kali aku buka dan berharap bisa dapat balasan dari kamu, kamu malah gak pernah ngebalas pesan aku.” Gritte tersenyum miris, seolah ingin menunjukkan kesedihannya karena Panji tak kunjung membalas pesannya selama ini. “Jadi aku nekat ke sini saat aku kembali kemarin. Kebetulan aku pulang ke Indonesia, dan mutusin buat netap di sini selamanya.”
“Kenapa harus selamanya?” potong Alia lagi yang membuat Gritte kaget mendengar suaranya, lantas memudarkan senyumannya kesal. “Balik aja besok ke London, dan gak usah balik-balik lagi ke sini!”
“Ma…,” panggil Herman yang membuat Alia menatapnya. “Jangan gitu, gak sopan.”
“Gak sopan apanya, malahan nih anak yang gak sopan, datang ke rumah laki-laki yang sudah menikah, apa lagi malam-malam begini, apanya yang sopan, coba?” tanya Alia kesal yang membuat Gritte semakin geram dibuatnya.
“Kamu benaran sudah menikah, Ji?” tanya Gritte yang lagi-lagi tidak peduli dengan Alia dan malah mencoba mencari celah agar bisa tahu tentang pernikahan Panji. Berharap Panji menjawabnya tidak, yang membuatnya bisa sedikit lebih lega untuk mendekati Panji.
“Mama benar, aku udah menikah,” jawab Panji yang jelas saja membuat hati Gritte hancur bukan main. Lidahnya kelu, seakan tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata untuk sekedar berbicara dengan Panji.
Gritte kaget bukan main. Dia tidak percaya, Panji malah membenarkan apa yang dikatakan Alia padanya sejak tadi siang. Semula Gritte berharap, semua yang Alia katakan hanya kebohongan semata. Sekedar mengusirnya secara halus agar tidak lagi datang ke rumah seperti yang dilakukannya tadi siang. Namun ternyata Gritte salah besar. Semua yang dikatakan Alia benar adanya. Ekspresi serius yang ditonjolkan Panji di hadapannya, membuat Gritte kini yakin bahwa Panji benar sudah menikah. Gritte menggelengkan kepala, tertawa kecil berusaha tetap meyakini apa yang dia yakini sejak tadi siang. Walau kini hatinya mulai meragu.
“Kamu becandaan kan, Ji?” tanya Gritte.
Alia tertawa mendengar apa yang dikatakan Gritte barusan. Dia benar-benar puas melihat ekspresi Gritte saat ini. Sejak tadi siang dia sudah tidak menyukainya. Berusaha untuk membuat Gritte muak dan pergi sejauh mungkin dari hidup menantu dan anaknya. Namun dia tetap saja nekat datang malam ini.
“Aku gak becanda, Grit, aku benaran sudah menikah dengan Viola,” jawab Panji lagi sembari tersenyum lebar seolah ingin menunjukkan bahwa kini dia bahagia bukan main dengan pernikahannya.
“Viola itu adik kamu, kan? Mustahil dia jadi istri kamu. kamu kalau becanda jangan kelewatan gitu dong, Ji. Aku gak suka!” jawab Gritte lantas tertawa terpaksa berusaha mencairkan suasana.
“Dia bukan adik kandungku, Grit, kami ternyata beda orang tua,” jawab Panji. “Selama ini, aku ternyata anak angkat kedua orang tua yang aku anggap orang tuaku sendiri. Aku sendiri gak tau di mana orang tuaku yang sebenarnya. Dan sudah sejak lama aku memang mencintai Viola.” Panji mulai menceritakan segalanya. “Dan setelah aku tau bahwa kami bukanlah saudara kandung, aku mutuskan untuk menikahinya.”
“Jadi saat kamu memakai aplikasi itu dan berkomunikasi denganku, kamu sudah mencintainya?” tanya Gritte yang tanpa jeda, langsung dijawab Panji dengan anggukan kepala. Membuat Gritte semakin hancur karenanya.
Sedangkan itu, Viola menunduk haru. Dia tidak menyangka Panji akan berkata jujur di hadapan Gritte tentang cerita masa lalu perjuangannya bersama Panji. Simi yang masih berdiri di samping Viola, langsung tersenyum lebar, lantas berpamitan dengan Viola untuk menghidangkan minuman. Viola mengangguk pelan, dan mempersilakan Simi untuk pergi meninggalkannya seorang diri.
“Dengan kata lain, kamu itu cuma sebagai pelampiasan,” ucap Alia puas bukan main saat melihat Simi datang dan menghidangkan minuman di atas meja. “Jadi jangan berpikir menantu saya dulu mencintai kamu, sampai dengan percaya dirinya bilang kalau Panji bakalan milih kamu dibandingkan istrinya. Ya salah besarlah, mereka itu saling mencintai, gak pernah sekali pun mereka mencintai orang lain bahkan sejak keduanya kecil.”
Gritte berusaha tetap tenang, menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan, “Kalau hal itu memang benar, di mana Viola sekarang!” tantang Gritte yang langsung membuat Panji menatap Simi. Simi yang kaget mendengar ucapan Gritte, seolah mengkode Panji tentang Viola yang sejak tadi mendengar segalanya dari ruang tv. Panji mengangguk pelan, melangkah pergi meninggalkan ruang tamu lantas mendekati Viola yang kini menggelengkan kepala, seolah mengatakan bahwa dia tidak ingin ke ruang tamu saat ini.
Panji berlutut di samping Viola yang kini tertunduk sedih.
“Ayo, kita ke depan,” ajak Panji lagi.
Viola kembali menggelengkan kepala, “Kamu akan malu nanti kalau aku ke depan.”
“Tidak akan, ayo,” ajak Panji lagi lantas kembali berdiri dan mendorong kursi roda Viola.
Gritte spontan berdiri saat melihat Viola hadir dengan duduk di krusi roda yang didorong Panji. Viola berusaha tersenyum walau rasa malu bukan main hadir dalam dirinya saat tatapan Gritte, seolah menyapu di tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gritte sendiri tidak menyangka apa yang dia lihat sekarang. Viola yang ternyata istri Panji, kini duduk di kursi roda dengan kain menutupi kedua kakinya.
“Perkenalkan, Grit, dia Viola, istriku,” ucap Panji yang membuat Gritte menatapnya masih dengan ekspresi kaget bukan main.