BAB 5

1166 Kata
            “Mau ngapain?” Panji menatap tajam ke Luna yang kini sudah berdiri di sampingnya.             “Agh … enggak ngapa-ngapain kok, Ji. Gue cuma pengen ngobrol sama calon adik ipar gue aja.”             “Cih,” ledek Viola. “Calon pembokat lebih tepatnya, Bang.”             Luna kembali dibuat geram. Namun menyadari situasi tidak memungkinkan untuk beradu mulut kembali, Luna langsung memasang wajah tenang diiringi belaian lembut di kepala Viola. Namun sayangnya, dengan gerakan kasar Viola menepisnya.             “Kita pulang sekarang, Dek.” Panji kembali melangkah meninggalkan Luna yang menatapnya kaget. Tanpa basa-basi, Panji masuk ke dalam mobil, meninggalkan Viola yang kini menjulurkan lidahnya ke arah Luna sebelum masuk ke mobil. Luna memaki Viola pelan agar tidak terdengar oleh Panji. Tatapannya tak lepas dari mobil yang mulai bergerak menjauh darinya. Keluar dari lingkungan kampus membawa Panji dan Viola di dalamnya.             Luna masih saja berdiri dengan wajah kesal. Sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan Viola padanya sejak dulu, menjadi satu penghalang tersulit bagi Luna untuk mendekati Panji. Bagi Panji, Violalah yang menjadi kunci utamanya mendapatkan seorang cewek. Jika Viola menyetujui, maka Panji pasti mengikuti. Namun sayangnya, sikap penolakan selalu ditunjukkan Viola padanya. Bahkan seakan tak memiliki celah sedikit pun untuknya memasuki kehidupan Panji yang sangat ia cintai.             Viola memanyunkan bibirnya sepanjang jalan hingga saat duduk di pinggir danau. Panji yang mulai tidak nyaman dengan suasana yang dibangun Viola, langsung menyandarkan tubuhnya di pohon besar sembari menghela napas. Viola menjatuhkan tubuhnya. Kepalanya ia jatuhkan tepat di atas paha kiri Panji. Usapan lembut, terasa di kepalanya. “Viola gak suka sama dia!” Viola membuka suara. “Jadi?” “Ya, jangan dekat-dekat!” pinta Viola dengan nada manja. “Apa lagi sampai satu kelompok!” “Abang juga nggak tahu kenapa bisa satu kelompok.”             “Jodoh kali!” ucap Viola ketus.             “Kok gitu sih ngomongnya? Abang kan beneran nggak tahu.”             “Kan bisa aja ditolak, minta pindah kelompok atau apa gitu!” sambarnya. “Ini malah nerima-nerima aja, kayak suka banget satu kelompok sama tuh nenek sihir!”             “Abang nggak suka satu kelompok sama dia, dan abang juga nggak suka sama dia!” Kalimat Panji terasa meyakinkan dengan diiringi tatapan serius dari kedua matanya.             Viola duduk dan menatap Panji dengan tatapan serius, “Abang tahu sendiri, kan. Adek nggak suka sama tuh anak!”             Panji mengangguk pelan. Viola menghela napasnya. Emosi yang masih menaunginya, membuatnya gelap mata. Panji yang mengerti kecemburuan sang adik, langsung menarik tubuhnya dan merangkulnya hangat. Viola terdiam. Detakan jantung Panji yang cukup cepat terdengar di telinganya, membuatnya diam membisu. Getaran aneh menjalar di hatinya. Berulang kali dia menelan liurnya sendiri. Berusaha tetap menenangkan hatinya yang terasa gelisah. Napasnya yang semula mulai normal, kini kembali memburu hebat. Namun kali ini bukan karena emosi, melainkan ....             “Percaya ya, abang nggak suka sama Luna.” Suara Panji berhasil menghentikan pemikiran aneh di kepala Viola. Sebisa mungkin, ia normalkan kembali napasnya lalu kembali merubah ekspresi kesal sembari menjauhkan tubuhnya. Menatap Panji yang kini mengarahkan tatapan teduh ke arahnya.             “Nenek sihir!” ucap Viola dengan kedua tangan terlipat di d**a.             Sesaat Panji tertawa, “Iya, nenek sihir di dongeng, siapa namanya … agh, Pipiyot!” ucapnya dengan menambahkan nama penyihir di dalam cerita negeri dongeng Nirmala dan oki yang sangat Viola sukai sejak kecil.             Viola meraih tangan kanan Panji lalu mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Panji, “Janji ya, siapapun di antara kita gak boleh ada yang pacaran sama siapa pun, sampai ….” Viola memikirkan kalimat terusannya.             “Sampai Viola lulus kuliah nanti, gimana?” sambung Panji.             “Gak kelamaan buat abang?” Viola menatap serius ke Panji yang masih tersenyum simpul.             “Gak. Memangnya mau abang cepat-cepat punya pacar?” Panji menyipitkan matanya. Mengarahkan ekor matanya ke arah Viola yang kini menggelengkan kepala.              “Jadi … Deal?!”             “Deal!” Panji tertawa disusul tawa Viola di antara angin yang bersemilir lembut. Panji kembali menyandarkan tubuhnya di pohon sedangkan Viola kembali tiduran dengan paha Panji jadi alas kepalanya. Tersenyum menatap langit, yang kini melukis warna biru menenangkan hati siapapun yang melihatnya.   ***              Luna masuk ke dalam supermarket sore harinya. Supermarket yang terletak di sudut jalan raya itu, terlihat ramai pengunjung. Barang yang dijualin cukup lengkap dan sedikit dijual dengan harga miring yang membuat para pengunjung lebih memilih ke tempat ini, dari pada tempat belanja lainnya. Luna meraih keranjang belanja yang terletak dekat dengan meja kasir, lalu mulai sibuk mencari barang-barang yang dia butuhkan sebulan ke depan.             Sebenarnya Luna bisa saja meminta pekerja di rumahnya untuk belanja keperluan rumah. Namun berhubung Luna bosan kalau harus di rumah sendirian tanpa sosok kedua orang tuanya yang sibuk kerja di perusahaan sang papi, membuat Luna memutuskan mengambil alih tugas Mbak Sarti—pembantu di rumahnya.             Luna melangkah menyusuri rak demi rak sambil membawa keranjang belanja berwarna merah. Memerhatikan satu persatu barang di setiap rak. Mengambil cemilan yang dia butuhkan dan memasukkannya ke dalam keranjang lalu kembali melangkah. Berbelok ke rak sebelahnya namun langkahnya terhenti saat seseorang secara tak sengaja menabrak tubuhnya hingga keduanya terjatuh. Barang belanjaan wanita di hadapannya, berjatuhan di lantai. Luna merapikan pakaiannya dan menatap ke sosok wanita yang mulai sibuk membereskan barang belanjaannya.             Luna terpekik kaget saat melihat siapa yang menabraknya. Wanita yang kira-kira berusia empat puluh tahun, dengan rambut sebahu dan kaca mata melekat membantu kerja kedua matanya melihat, membuatnya kembali teringat satu sosok wanita satu tahun yang lalu. senyuman hadir di bibirnya, lalu dengan sigap mulai membantu wanita di hadapannya yang masih mengumpulkan barang.             “Maaf, Tante. Luna gak sengaja.”             “Gak pa-pa, kan saya yang salah.” Wanita itu sesaat mengarahkan senyuman ke Luna yang masih membantunya.               “Tante … Mamanya Panji, kan?” tanya Luna setelah mengumpulkan seluruh belanjaan wanita di hadapannya.               Wanita itu menatap Luna dengan kening mengerut. Luna tersenyum sembari mengulurkan tangannya, “Saya Luna, Tante. Teman sekelasnya Panji.”             Wanita itu tersenyum, “Panggil aja Tante Alia. Kamu kok tahu tante?”             “Iya, Tan. Kemarin sempat lihat tante di depan kampus, waktu ngantar Panji satu tahun lalu.” Luna dan mama bersamaan melepaskan jabatan. Mama mengangguk mengerti. Walau sebenarnya dia tidak ingat betul kejadian yang dibilang Luna barusan.             “Kalau gak salah, tante punya toko bunga, kan?” Luna langsung menjalankan niatnya.             “Iya, ada di jalan Sutomo. Datang dong sekali-sekali, beli bunga atau sekedar ngerumpi sama tante.” Mama tesenyum ramah. Tangannya menyentuh bahu Luna lembut. Luna tersenyum lebar. Niat licik hadir di benaknya.               “Wah, boleh. Entar kapan-kapan Luna ke sana ya, Tan,” ucap Luna antusias. “Boleh minta alamatnya gak, Tan. Alamat lengkapnya gitu.”             Mama langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam, “Ini kartu nama tante. Di situ alamat toko bunganya. Kamu bisa datang kapan aja. Ada nomor teleponnya juga.”             Luna tersenyum penuh arti, “Oke, Tante. Entar Luna singgah deh.”             Mama tersenyum dan berlalu dari hadapan Luna. Senyuman kemenangan hadir di bibir Luna. Dia memerhatikan kartu nama yang masih ada di tangannya. Tersenyum sinis sembari menatap kepergian mama menuju meja kasir berada.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN