BAB 4

1095 Kata
            Panji terpekik kaget saat melihat Viola hadir di depan kelas. Panji yang saat itu asik mengobrol dengan beberapa teman kelasnya, langsung keluar menghampir Viola. Menariknya duduk di kursi panjang dan duduk bersama Viola di sana. Viola tertawa cengengesan melihat tatapan Panji yang masih tidak percaya akan kehadirannya.             “Kok bisa kemari?”             “Naik taksi.” Viola mengikat rambutnya dengan karet gelang warna putih miliknya.             “Bukan gitu maksudnya, bukannya masih jam sekolah ya?” Panji melihat ke jam tangan yang dia gunakan. Jarum jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Yang bisa dipastikan biasanya jam-jam segini, Viola masih berada di lingkup sekolahnya. Duduk di satu kelas yang dekat dengan kantin bersama sahabatnya tersayang. Siapa lagi kalau bukan Mawar.             Viola cengengesan, “Gurunya pada rapat ujian nasional, makanya pulang cepat.”             “Bukan karena bolos?” Ekspresi Panji tampak seperti menyelidiki pelaku kejahatan.             Viola mengangkat kedua jari telunjuk dan tengah sembari menggelengkan kepala, “Suer, gak bo’ong!”             Panji mengusap kepala Viola sambil tersenyum. Viola memerhatikan sekeliling gedung. Tampak beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu lalang di sana. Ada yang ngerumpi, duduk di bangku panjang sambil melahap cemilan yang mereka beli,  bahkan ada yang duduk sambil membaca buku. Persis seperti orang genius yang selalu ingin tahu segala hal lewat buku. Viola mendengus lucu melihat semua tingkah mahasiswa di kampus Panji. Semua keadaan itu, sama seperti di sekolahnya. Tidak ada yang berbeda. Perbedaan itu hanya terletak di tingkatan pendidikan yang mereka jalani.             Ada lima kelas di lantai tiga tepat mengarah ke jalan depan kampus. Dan lima kelas lagi di belakangnya, tepat mengarah ke lapangan basket. Viola sendiri baru pertama kalinya datang ke kampus Panji. Selama ini dia enggan datang karena malas bertemu dengan Luna, si nenek sihir yang selama ini selalu jadi musuhnya.             Wajah Luna memang cantik, namun sikapnya itulah yang selalu membuat Viola gemas setiap kali melihatnya. Kecentilan dan sikap yang selalu berusaha mencari-cari perhatian Panji. Dan yang selalu membuat Viola kesal bukan main, Luna selalu saja sok baik padanya saat berada di depan Panji. Tak jarang pujian hadir di bibirnya untuk Viola. Namun semua itu malah membuat Panji muak melihatnya.             “Tadi Vio ketemu nenek sihir!” Suara Viola terdengar ketus. Tatapannya teralih ke Panji yang melihatnya dengan ekspresi dingin.             “Luna?”             “Siapa lagi?”             Panji tertawa, “Di mana?”             “Tuh, di dekat tangga. Viola jambak tadi rambutnya!” seru Viola disusul tawa jahat. Tampak kepuasan di wajahnya. Sejak dulu Viola memang punya niat untuk menarik rambut Luna yang selalu membuatnya geram setengah mati. Luna selalu saja mengibaskan rambut panjangnya di dekat Viola. Hingga tak jarang ujung rambutnya melesat ke kedua mata Viola.             Panji terpekik sembari menatapnya yang masih tertawa, “Gara-gara?”             “Mau kabur. Ya … Viola tarik aja tuh rambutnya!”             Belum sempat Panji membalas kalimat Viola, Luna terlihat mendekat. Viola melipat kedua tangannya di d**a. Napasnya menghela kasar. Sedangkan Panji hanya tersenyum melihatnya.             “Eh, ada adik kecil yang manis di sini,” ucap Luna sok manis. Luna berhenti di samping Viola dan mengusap kepala Viola lembut.             Dengan kasar, Viola menepis tangan Luna di kepalanya. Lalu memalingkan wajah menatap Panji yang masih duduk di sampingnya, “Kamar mandi di mana sih, Bang?”             “Mau ngapain?” Kerutan hadir di kening Panji.             “Muntah.” Viola melirik ke Luna yang kini menatapnya kesal.             Panji mencoba menahan tawa. Luna mengibaskan rambutnya yang panjang dan lurus ke belakang. Menghela napas lalu kembali menarik kedua sudut bibir untuk tersenyum dan tetap tenang walau emosi memeluknya erat.             “Oh iya, Ji. Aku baru ingat kalau ternyata kita satu kelompok lho.” Luna menekan kata terakhirnya dan melirik ke arah Viola yang melihatnya kesal.               Panji mengerutkan kening, “Eh, serius?”             “Iya. Mata kuliah Pak Wira. Kita dua orang satu kelompok.” Dengan sengaja Luna kembali memberikan tekanan di kalimat terakhirnya. Emosi nyangkut di diri Viola yang langsung menatap Luna tajam. Luna tersenyum penuh kemenangan.             Viola menghentakkan kedua kaki lalu berdiri ke hadapan Luna. Menghadangnya dengan tatapan tajam seakan ingin memakannya hidup-hidup. Luna sendiri bukannya takut malah membalas tatapan itu. Panji yang merasa hawa tak lagi bersahabat, langsung menarik Viola menjauh dari Luna dan berlalu dari hadapannya. Viola sempat menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Panji. Namun tarikan Panji yang cukup kuat, membuat Viola tidak bisa melakukan apapun.               Panji membuka pintu mobil dan meminta Viola duduk di dalamnya. Viola menurut walau dengan garis emosi di wajah. Panji menghela napas seraya membungkuk di samping Viola yang enggan menatapnya. Napas Viola masih terdengar kasar. Kekesalannya akan sikap Panji yang tidak membiarkannya beradu dengan Luna, membuatnya mengarahkan tatapan lurus ke depan. Padahal andai saja Panji memberikan semenit saja waktu untuknya, bisa dipastikan Luna bakalan berteriak kesakitan akibat tarikan ganas di rambutnya yang dilakukan Viola tanpa perasaan.             “Tunggu di sini dulu ya, jangan ke mana-mana. Abang mau ambil tas di kelas.”             “Ouw, kesempatanlah ya jumpa sama tuh nenek sihir!”             “Enggak kok,” ucap Panji diselingi usapan di kepala Viola. Pintu kembali ditutup Panji dari luar dan meninggalkan Viola sendirian di dalam. Viola melipat kedua tangannya. Ingatan tentang Luna, membuatnya kembali terbawa arus emosi. Dia benar-benar muak dengan sosok kecentilan itu. Tidak berapa lama setelah Panji pergi. Jendela mobil diketuk kasar oleh seseorang yang membuat Viola menoleh. Viola menghela napas kasar saat melihat Lunalah yang menjadi pengusiknya. Dengan gerakan santai Viola keluar dari mobil. Senyuman sinis terpancar di bibirnya, membuat Luna semakin geram karenanya. Viola melirik ke jam tangan miliknya lalu kembali menatap Luna yang masih diam membisu dengan napas memburu.             “Mau apa?” tanya Viola.             Luna menghela napasnya lalu tersenyum, “Adek kecil, seharusnya elo tuh hormat sama kakak. Karena sebentar lagi gue tuh bakalan jadi ….”             “Tiang bendera!” potong Viola. “Mau dihormatin, kan? Tiang bendera dong.”             Luna tampak tidak terima. Dia kembali menghela napas dan tersenyum manis. Bahkan lebih manis dari senyumannya semula, “Hargai calon kakak ipar loe ini dong, adik manis!” Luna menepiskan jemari tangannya di dagu Viola. Viola tersenyum sinis lalu mengusap dagunya seakan ingin membersihkan bekas jemari Luna.             “Mau berapa sih, Kakak?” tanya Viola sembari merogoh saku celananya. “Nih … cuma ada gopek, cukup kan?”             Emosi Luna semakin tidak karuan. Ia melempar uang receh itu ke arah lain lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, bersiap melesatkan tamparan di pipi kanan Viola. Viola sendiri menutup kedua matanya dengan ekspresi ketakutan. Namun semua itu tak terjadi. Suara Panji melesat ke telinga keduanya. Membuat Luna spontan menjatuhkan tangannya lalu kembali tersenyum. Mencoba menepis ekspresi marah dari wajahnya agar Panji percaya bahwa tak terjadi apa-apa di antaranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN