BAB 3

1143 Kata
            Viola melempar tas ke meja. Mawar yang sejak tadi duduk di samping kursinya, terpekik kaget. Konsentrasinya membaca hilang berganti rasa kaget bercampur bingung melihat sikap Viola yang baru datang malah marah-marah gak jelas. “Mereka tuh apaan sih!” Viola menghembuskan kasar napasnya. “Ngelihat gitu aja, sampai nyindir-nyindir segala!”             Mawar mengerutkan kening, “Ngelihat apaan, gue kagak ngerti. Sumpah deh.”             Viola melirik kesal, “Itu … Agh, udahlah!” Viola menepis tangannya ke udara. “Eh, lihat tugas Matematika!” Viola membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku berwarna biru.             Mawar menghela napas mendengar pertanyaan Viola yang selalu terdengar setiap pelajaran matematika diadakan, “Belum ngerjain?”             “Belum!” Viola cengengesan. Giginya yang putih dan rapi, terlihat jelas oleh Mawar yang selalu iri dengan gigi Viola. Tidak seperti giginya yang terdapat dua buah gigi depan yang mirip seperti kelinci.             Mawar mendengus kesal sembari mengeluarkan buku tugasnya dan langsung meletakkannya di hadapan Viola. Viola langsung nyengir dan mulai mengerjakan tugas.             Mawar kembali memusatkan kedua matanya ke buku pelajaran Bahasa Indonesia. Sampai akhirnya konsentrasi keduanya terganggu saat mendengar suara sorakan beberapa murid cewek di depan kelas. Viola dan Mawar saling berpandangan.             “Aldo!!!” Suara seseorang berteriak di luar.             “Aich, Aldo, War!!!” pekik Viola yang hampir mau beranjak dari tempat duduk. Namun secepat mungkin Mawar menahannya.             “Gak usah lebay, kerjakan tuh tugas!” ucap Mawar. “Mau disuruh lari keliling lapangan sama Pak Adri cuma gara-gara Aldo?”              Viola kembali mengerjakan semua soal-soalnya dengan bibir manyun. Mawar menghela napas lalu kembali memusatkan konsetrasinya. Sesekali Viola bersenandung riang menyanyikan lagu kesukaannya, Audy—lagu sendu. Mawar tertawa lalu melanjutkan lirik lagu di bagian tertentu yang disusul tawa kecil Viola.             Viola melirik ke buku Mawar sembari menyambut lagu. Sedangkan Mawar mencoba memberi tanda di dalam buku jika kalimat itu penting untuk diingatnya. Sesekali keduanya tertawa, lalu kembali melanjutkan lirik secara bergantian.             “Hai, Viola.” Sebuah suara menghentikan gerakan tangan Viola menulis. Secara bersama-sama, Viola dan Mawar melihat ke asal suara. Sosok cowok berdiri di hadapannya. Rambut cepak, bibir bawah yang sedikit tebal, kulit sawo matang serta tinggi yang hampir sama dengannya, kira-kira 167 atau 168 cm. Seragam sekolah yang ia selipkan di celana abu-abunya serta bola basket di tangan kanan, semakin menambah kesan wah untuknya. Viola berdiri dengan wajah tak percaya. Kehadirannya seakan menghadirkan angin segar berhembus menari-narikan ujung rambutnya.             “Aldo.” Kedua matanya melotot menatap sosok pangeran di depannya. Mawar yang masih duduk, hanya menepuk jidatnya sendiri melihat sikap bego sahabatnya.             Dia tersenyum. Tangannya terulur memberikan sebuah buku bacaan kimia ke hadapan Viola, “Aku cuma mau ngasih ini.” Viola menerimanya dengan kedua mata masih menatap takjub ke Aldo. “Itu dari Bu Andine. Tadi kebetulan aku jumpa sama dia di depan ruang guru dan dia minta aku buat ngasih ke kamu.”             “Makasih,” ucap Viola disusul helaan napas gugup.             Aldo tersenyum sesaat lalu melangkah keluar dari kelas diiringi beberapa murid cewek lainnya yang sejak tadi selalu mengikutinya. Viola masih saja terpaku dengan wajah kagum. Mawar berdiri di sampingnya dan menatap aneh ke arah Viola yang masih terkesima. Tanpa perasaan, Mawar menepuk jidatnya hingga membuat Viola terpekik kaget.             “Mawaaarrr, sakiiitt!!!” jeritnya hingga menggema di sudut kelas. Sedangkan Mawar, langsung memusatkan pandangannya ke dalam buku seakan tak terjadi apa-apa. Bersenandung riang di atas rasa sakit Viola yang masih terasa di keningnya. Viola mendengus kesal lalu kembali menyalin jawaban Mawar ke dalam buku tugasnya. ***             Viola turun dari taksi. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kanannya yang kini menunjukkan pukul sebelas siang. Tatapannya kembali terpusat ke beberapa gedung yang berdiri kokoh di tempat Panji kuliah. Melangkah memasukinya dan berhenti di pos satpam. Satpam yang saat itu asik duduk sambil meminum kopi di dalam pos, langsung berdiri menghampiri Viola. Postur tubuhnya tinggi tegap. Seragam yang dikenakannya, semakin menampakkan otot-otot tangannya yang kekar. Viola bergidik ngeri melihatnya. Kumisnya yang tebal, juga membuat Viola harus memundurkan langkahnya akibat ketakutan.             “Ada yang bisa dibantu, Dek?” Suaranya tak seperti tubuhnya yang menakutkan. Terdengar ramah dan penuh senyuman di bibirnya. Hal itu sedikit demi sedikit berhasil menipiskan rasa takut di diri Viola.             “Pak, kenal sama Panji gak?” tanya Viola. Aich, bodonya aku. Memangnya Bang Panji artis terkenal apa sampai-sampai semua orang kenal. Viola memukul jidatnya sendiri.             “Panji anak kedokteran bukan, Dek?”             “Eh, iya. Yang tinggi, putih. Kayak Adipati Dolken, Pak.” Viola cengengesan dengan kalimatnya sendiri. Mencoba membayangkan wajah sang aktor kesayangan yang selalu dia pantengin di tv setiap sinetronnya tayang.             “Adipati Dolpin?”             Viola menyipitkan matanya kesal, “Dolken, Pak. Hadeh si Bapak buat saya esmosi!”             “Maaf, Dek,” Pak Satpam cengengesan. “Mungkin di kelasnya. Coba aja ke gedung itu.” Pak Satpam mengarahkan jari telunjuk tangannya ke arah gedung putih yang terletak tak jauh dari posnya berada.             “Kelasnya?” Viola kembali menatap Pak Satpam dengan wajah bingung.             “Lha, bapak gak tahu sampai sedetail itu, Dek.”             Viola menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Berpamitan dan mengucapkan terima kasih, lalu berlalu dari pos satpam. Diraihnya handphone dari saku celana olahraganya. Memijit beberapa tombol lalu menempelkannya ke telinga.             “Kemana sih nih anak, masa gak diangkat-angkat!” keluhnya kesal.             Viola menyusuri lorong gedung sambil melihat sekilas ke dalam kelas yang dilewatinya. Namun sosok Panji masih tidak terlihat. Sudah dua lantai dia jalani, tapi tetap saja sia-sia. Viola menghela napasnya dan berbelok menuju tangga ke lantai tiga. Langkahnya terhenti saat seseorang menabraknya dari depan. Viola mundur beberapa langkah dan melihat ke cewek di depannya yang mengomel tak karuan.             “Pake mata kalau jalan!” serunya tanpa melihat Viola.             “Eh, nenek sihir ternyata!” seru Viola yang langsung membuat cewek di depannya, menatap kesal.             “Eh, Kurcaci!” balasnya. “Ngapain kemari?!”             “Mau ketemu abang gue yang ganteng!” Viola menjulurkan lidahnya yang berhasil menarik tatapan tajam dari cewek di hadapannya.             “Dia udah pulang!”             “Yeee, sok tahu!” bentak Viola. “Katanya situ ngepans sama Bang Panji, kenapa malah gak tahu ya kalau abang gue itu belum pulang?”             Napasnya memburu kesal. Dia memutuskan melangkah berlalu dari hadapan Viola. Namun langkahnya terhenti saat rambutnya dengan sengaja ditarik Viola.   “Mau kemana, kasih tahu dulu di mana Bang Panji!”             “Dia udah pulang!” serunya sambil mencoba melepaskan tarikan Viola di rambutnya.             “Mau sampai putus nih rambut?” ancam Viola dengan menarik lebih kuat lagi rambut cewek cantik itu. Terdengar rintihan kesakitan darinya, namun Viola malah tetap saja menarik tanpa perasaan.             “Iya-iya, dia di atas. Di kelas paling sudut!”             Viola melepaskan tarikannya, melambaikan tangan lalu melangkah pergi menaiki tangga. Cewek cantik itu mengusap-ngusap kepalanya yang sakit. Tarikan Viola cukup kuat di rambutnya, membuatnya benar-benar harus mencoba mengusap berulang kali kepalanya tepat di bagian tarikan Viola. Kedua sahabatnya yang sejak tadi berdiri di sampingnya, mencoba meredakan amarahnya yang masih terlihat jelas dari wajahnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN