“Usstttt … entar Viola bangun,” ucap Panji yang masih saja berjalan mengendap-ngendap menuju satu kamar di sudut ruangan. Seorang wanita dan lelaki yang berjalan di belakangnya, langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Panji kembali mempercepat langkahnya dengan membawa sebuah kue ulang tahun dengan hiasan cokelat di atasnya. Membuka secara perlahan pintu lalu berteriak sekeras-kerasnya menyerukan nama Viola, hingga cewek manis itu terbangun dari tidur dengan wajah kaget.
Lantunan lagu ulang tahun terdengar indah dari ketiganya. Viola mengucek kedua mata yang masih ingin tertutup kembali menyambut dunia mimpi. Namun cahaya lilin, mencoba menarik kedua matanya untuk tetap terbuka disusul senyuman haru di bibirnya. Panji mengusap kepala Viola dengan seulas senyuman. Rambutnya yang persis menyamai sosok aktor kesukaan Viola¾Adipati Dolken¾menjadi ciri khas Panji. Semua itu ia lakukan agar Viola betah bersamanya. Seakan sedang bersama aktor kesayangannya.
“Ayo ditiup lilinnya, Vi,” Suara papa terdengar menyemangati.
Viola tersenyum lalu menutup kedua matanya. Memanjatkan sebuah doa untuk tahun ini. Panji tersenyum melihatnya. Viola kembali membuka mata kemudian menghembuskan napas ke lilin di hadapannya yang berbentuk angka sembilan belas.
“Selamat ulang tahun ya,” ucap Panji disusul mendaratkan kecupan di puncak kepala Viola.
Mama dan papa juga ikut mendaratkan kecupan, namun keduanya berada di tempat berbeda. Tepat di kening Viola. Kejutan manis yang tak akan ia lupakan hingga ulang tahun berikutnya.
“Mau dimakan sekarang, Sayang?” tanya mama, memastikan.
“Enggak deh, Ma. Udah malem, lagian tadi Viola udah sikat gigi.”
“Kalau gitu, kita sambung besok ya, mama sama papa duluan tidur, soalnya besok banyak kerjaan,” lanjut mama.
Mama dan papa melangkah meninggalkan kamar Viola setelah menerima anggukan kepala Viola. Meninggalkan Panji yang mulai duduk di tepi tempat tidur, tepatnya di hadapan Viola yang masih menikmati kue ulang tahunnya dengan menatapnya tanpa henti.
“Abang yang buat?” Viola mengalihkan tatapannya sesaat ke Panji.
“Iya, tapi sayangnya nggak mau dicicipin,” keluh Panji.
“Iccchh, mauuu!!!” Viola meraih kue dari tangan Panji. Sesaat Panji tersenyum mendapati sikap manja Viola yang tidak pernah berubah.
“Lho, tadi katanya nggak mau.”
“Sengaja, soalnya mama sama papa kelihatan udah ngantuk berat,” ucap Viola. “Kasihan, Bang.”
Panji mengusap kepala Viola dengan senyuman lebar, “Jadi sekarang?”
“Mauu, suapin!” ucapnya manja.
Tawa Panji tergerai disusul suapan kue dari tangannya ke mulut Viola. Viola membuka mulutnya dan suapan pertama pun berhasil melesat menyentuh lidahnya. Menikmati rasa manis menyentuh setiap rongga mulutnya.
“Gimana?”
“Kue Abang memang selalu enaaakk!”
Panji menarik tubuh Viola yang sedikit lebih kecil darinya. Viola memiliki tinggi 165 cm, sedangkan Panji 170 cm. Viola terdiam sesaat menerima pelukan Panji yang tanpa aba-aba itu.
“Selamat ulang tahun ya. Abang berharap kamu bisa lebih dewasa dari sebelumnya.”
Kalimat menenangkan itu berhasil menarik senyuman di bibir Viola. Kedua tangannya membalas pelukan hangat Panji. Kenyamanan hadir, membuat Viola betah di dalam pelukannya. Pelukan yang sejak kecil selalu ia minta saat kerinduan hadir dengan rasa nyaman itu.
“Abang mau tahu nggak, apa yang tadi Vio minta sama Allah?”
“Apa?” tanya Panji seraya membelai kepala bagian belakang sang adik.
“Viola ingin abang terus di sini, sama Viola,” ucapnya. “Karena sejak kecil, Abang yang selalu nemenin dan ngejagain Vio. Vio nggak butuh siapapun asal ada Abang.”
Panji mempererat pelukannya, “Abang nggak akan ke mana-mana, sampai Viola punya pacar.”
Viola melepaskan pelukannya dan menatap serius ke arah Panji, “Kalau Viola punya pacar, berarti abang juga dong?”
“Ya iyalah, masa abang nggak nikah-nikah.”
“Nggak mau!” Viola melipat tangannya di d**a sambil memanyunkan bibir. Ekspresi marah tersirat di wajahnya yang membuat Panji mengernyitkan dahi.
“Kenapa, takut abangnya diambil orang, ya?” Panji menepiskan jari telunjuk kanannya ke hidung Viola pelan.
Viola kembali menarik tubuh Panji, memeluknya sekuat tenaga seakan tak ingin melepaskannya, “Viola nggak suka ada cewek lain. Pasti entar Viola dicuekin!”
Panji tertawa. Selalu seperti itu. Viola tidak pernah membiarkannya memiliki kekasih sejak dulu. Baginya, orang baru akan selalu menjauhkannya dari sosok Panji yang sejak dulu selalu menemaninya. Panji seakan menjadi pahlawan di hidupnya. Mama yang selalu sibuk dengan rutinitasnya di toko bunga, tak pernah memiliki banyak waktu untuk sekedar menemani Viola di rumah. Dan keadaan itu sama halnya seperti papa. Keduanya selalu tak punya waktu di rumah setelah Viola pulang dari sekolah. Hanya Panjilah yang menemaninya. Bahkan sampai saat ini.
Suara klason berulang kali terdengar. Viola yang masih merapikan rambut di depan cermin kamarnya, langsung berteriak keras. Mama hadir di kamar dan langsung berseru memintanya untuk bergegas. Viola mulai panik. Dengan gerakan cepat, dia raih tas sekolahnya di atas tempat tidur. Mencium mama dan mengucapkan salam sebelum akhirnya dia berlari keluar dari kamar. Menuruni tangga dan bergegas menuju mobil Panji di depan yang masih terdengar klakson darinya.
“Suka banget sih buat orang ribet!” bentak Viola saat berada di dalam.
“Habis kalau gak digituin, bisa-bisa sampai jam delapan gak siap-siap!” Panji mulai mengijak pedal gas dan meninggalkan rumah. Viola memanyunkan bibirnya. Tangannya meraih sabuk pengaman lalu memasangkannya di tubuhnya. Menatap jalanan di depan dengan wajah yang masih kesal akibat sikap Panji yang selalu sama setiap pagi.
Panji melirik ke sepatu Viola yang masih belum terikat. Senyuman simpul serta disusul dengan gelengan kepalanya membuat Viola yang masih sibuk menyisir rambutnya, menoleh sesaat.
“Kenapa?” Masih terdengar nada kesal dari suara Viola.
“Gak pernah berubah,” ucapnya. “Belajar dong, Vi. Mau sampai kapan gak bisa ngikat tali sepatu sendiri.” Panji mengusap kepala Viola, “Abang kan gak bisa selamanya ngikatin sepatu kamu, Dek.”
Viola memanyunkan bibirnya. Ekspresi kesal kembali tersirat di wajahnya. Kebiasaannya itu memang sulit dirubah. Viola selalu saja tak mampu mengikat tali sepatunya sendiri. Bahkan saat kecil, Viola pernah sekali mengikat tali sepatu yang hasilnya malah mengikat jemarinya sendiri.
“Pokoknya kalau abang belum punya istri, Viola gak bakalan belajar ngikat sepatu!” Viola kembali menatap lurus ke depan.
“Yeee, kapan dewasanya kalau gitu.”
“Kedewasaan kan bukan dilihat dari tali sepatu, Bang!” keluh Viola.
“Tapi dari hal kecil aja kamu gak bisa, gimana bisa ngukur yang besar?”
Viola mengangkat kaki kanannya. Beruntung saat itu dia memakai celana olahraga, jadi gak perlu repot-repot menutup bagian kakinya saat ia mengangkat ke atas kursi, “Iya-iya, Vio ikat sendiri!”
Panji tersenyum lucu saat melihat Viola mulai mencoba mengikat tali sepatu. Ke kanan, ke kiri, diselipin ke dalam lubang yang dia buat sendiri. Lalu menariknya. Senyumannya sempat terukir di bibir sampai akhirnya semua usahanya sia-sia. Tali sepatu itu malah kembali ke posisi semula tanpa mau terikat seperti yang biasa Panji lakukan.
Terdengar tawa kecil Panji meledekinya. Viola menghela napas kasar lalu kembali mencoba mengikat. Sampai akhirnya, dia menurunkan kakinya kembali dan melipat kedua tangan di d**a dengan bibir cemberut.
“Kenapa?” tanya Panji dengan nada menyindir. “Gagal?”
“Gak, cuma malas aja!”
Panji menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban gengsi dari Viola. Mobil memasuki pekarangan sekolah dan berhenti di tempat parkir. Panji turun lalu berlari dan membuka pintu Viola. Berjongkok dan menarik kedua kaki Viola ke arahnya.
“Gak usah, biar Viola aja nanti di kelas!” ucap Viola, kesal.
“Jangan bandel, sekali gak bisa tetap gak bakalan bisa.” Panji mulai mengikat tali sepatu Viola. Lirikan Viola ke arah jemari Panji yang mulai sibuk mengikat tali sepatunya, membuatnya tersenyum simpul. Sesekali lidahnya terjulur memberi ledekan ke Panji yang tidak melihatnya.
Beberapa murid di sekolah SMA Teladan meledekinya yang saat itu masih duduk di mobil dan Panji masih saja mengikat sepatunya. Berulang kali Viola melotot ke arah semua orang yang menyindirnya. Dia tak peduli dengan semuanya. Bahkan Viola sendiri malah bangga punya abang yang begitu sayang padanya.
Panji berdiri sembari menepuk-nepuk tangannya, “Beres, Tuan Putri.”
Viola turun dari mobil lalu menyalam tangan Panji, “Makasih!” ucapnya yang masih gengsi lalu pergi meninggalkan Panji yang tersenyum melihatnya.
Langkah Viola tak seringan biasanya. Beberapa murid meliriknya dengan senyuman mengejek. Tak jarang beberapa kalimat melesat ke telinganya. Sindiran-sindiran kecil tentang sikap Panji, menjadi bahan ledekan iringan langkah Viola ke dalam kelas. Berulang kali dia harus melesatkan tatapan tajam ke arah beberapa murid di dekatnya. Namun hampir semua murid terlihat tidak takut. Mereka malah semakin mengejek Viola hingga membuatnya terpaksa mempercepat langkah menuju kelas.