Panji melangkah ke luar ke arah halaman berlakang rumah Nenek Uti. Semua orang sedang pergi, hanya dirinya dan Viola yang memilih menetap di rumah. Seperti biasa, Nenek Uti beserta sang anak harus ke pasar sore untuk berbelanja makanan selama seminggu penuh, dan Brotolah yang menemaninya kali ini. Awalnya Nenek Uti melarang, dan memilih naik angkutan umum, namun Viola bersih keras menolak keinginan Nenek Uti. Dan meminta Panji untuk menyuruh Broto mengantarkan keduanya.
Panji meletakkan dua gelas kopi s**u ke atas meja. Viola yang ternyata asyik menyulam kain perca yang dibeli Nenek Uti seminggu sebelum kedatangannya, membuat Viola selalu betah berlama-lama duduk di teras belakang menghabiskan waktu sore. Viola tersenyum tipis saat kedua matanya beradu dengan kedua mata Panji, lantas kembali melanjutkan sulaman sang nenek yang niatnya akan menjadi gambar masjid yang cukup besar nantinya, dan digantung di dinding setelah dibingkai kaca seperti hasil karyanya lain yang lainnya yang sudah terpajang di setiap dinding.
Panji dudukd is amping Viola, mengecek handphonenya yang lagi-lagi hadir pesan singkat dari Alia yang selalu saja bertanya tentang keadaan Viola. Sudah pesan ke sekian kalinya Alia mengirimkan pesan dengan pertanyaan yang sama tentang Viola. Selalu saja, seperti itu setiap kali Viola pergi jauh darinya. Alia terlalu khawatir dengan keadaan Viola. Bahkan dia tidak terlihat percaya dengan siapa pun orang yang pergi bersama Viola. Bahkan suaminya sekali pun.
Panji menghela napas yang membuat Viola menoleh padanya karena mendengar helaannya. Viola melirik ke handphone di tangan Panji, lantas kembali mengarahkan tatapan ke Panji yang masih mengarahkan tatapannya ke handphone dengan ekspresi sedikit jengah.
“Mama ya?” tebak Viola yang lanngsung membuat Panji tersenyum tipis. “Gak usah dibalas, percuma aja, mau dijawab baik-baik aja pun, tetap aja satu jam kemudian di tanya lagi, kan?”
Panji tertawa mendrngar ucapan Viola yang tepat sasaran. Alia memang seperti itu. Panji mengira, kebiasaannya itu akan berubah setelah dia menikah dengan Viola. Namun ternyata tidak. Kebiasaan yang menjengkelkan itu malah terus terjadi sampai sekarang. Membuat Panji merasa bahwa dia tidak bisa dipercaya Alia setiap kali membawa Viola pergi darinya.
“Kalau gak dibalas bukannya makin parah?” tanya Panji yang kali ini membuat Viola tertawa. “Mama bakalan kayak zombie, neror terus.”
“Berani kamu ya. Biar gimana pun dia ibuku lho, Bang!” ucap Viola berpura-pura kesal dengan ucapan Panji.
“Dia juga ibunya abang, bahkan sekarang jadi mertua abang. Double malahan kan?” balas Panji yang kembali berhasil membuat Viola tertawa. “hari ini kamu gak berniat ke mana-mana?” tanya Panji sembari meletakkan handphonenya ke meja, lantas mengarahkan tatapannya ke Viola sembari menyeruput kopi susunya.
Viola menggelengkan kepala, “Viola malas banget, capek,” jawab Viola sembari terus melajutkan sulamannya. “Kalau abang mau jalan-jalan, gak apa-apa, Bang. Viola di sini aja.”
“Enggak agh, abang juga gak mau jalan kalau sendirian.”
“Ya… sama Pak Broto sana, Bang,” ledek Viola sembari tertawa kecil.
“Ich, kok tega banget sih, masa ke Jogja Cuma jalan-jalan sama Pak Broto!” jawab Panji kesal.
Panji sebenarnya ingin jalan-jalan sore ini. Sudah istirahat full kemarin setelah sampai di Jogja, membuat Panji rasanya ingin mennikmati tempat-tempat terbaik yang menyuguhkan keindahan di Jogja. Namun dari kemarin, Viola terus saja meminta untuk menetap di rumah dengan alasan yang sama.
Panji sendiri mulai bosan di rumah seharian. Bayangannya tentag pantai, malioboro dan tempat-tempat terbaik lainnya di Jogja, sudah dia idamkan sejak semalam sebelum berangkat ke Jogja. Namun sialnya, sudah dua hari di rumah Nek Uti, tetap sama Viola belum ingin ke luar dari rumah. Dia hanya menghabiskan waktu dengan sulamannya, mengobrol dengan Nek Uti atau malah menikmati bunga-bunga Nek Uti di halaman belakang. Sedangkan Panji sendiri, hanya duduk berpindah-pindah darij ruangan yang satu ke ruangan yang lain. Dan Panji mulai merasa jenuh bukan main.
“Vi, kita udah dua hari di sini, ayo dong jalan-jalan,” ucap Panji dengan nada suara memelas. “Masa ke Jogja di rumah terus, Vi. Ngapain coba, abang bosan.”
“Tapi Viola masih capek, Bang, beneran deh,” ucap Viola tanpa mengarahkan tatapan ke Panji yang masih duduk di sampingnya. “Viola gak bakalan marah kok kalau abang mau jalan-jalan, pergi aja gak apa-apa. Viola mau di rumah aja.”
“Kamu malu dengan keadaan kamu?” tanya Panji yang langsung membuat Viola terdiam mendengar perkataan Panji. Tangannya yang semula begitu cekatan memainkan jarum dan bendang, secara tiba-tiba terhenti. Tatapannya tidak dia layangkan ke Panji yang masih menatapnya penuh curiga. Dia seolah takut jika membuat Panji mengetahui apa yang kini dia sembunyikan dalam kedua matanya. Panji selalu saja mampu menebak hanya dengan menatap matanya. Entah dengan cara apa dia bisa melakukannya. Yang pasti, Viola selalu saja terjebak setiap kali dia berhasil menebak.
“Viola?” panggil Panji yang langsung membuat Viola berakting seolah-olah baik-baik saja. Dia tersenyum dan sesaat melayangkan tatapan ke Panji, namun dengan cepat kembali melayangkan pandangannya ke kain di pangkuannya dan berusaha tidak mempedulikan apa yang Panji katakana.
Sikap aneh Viola membuat Panji semakin yakin bahwa tebakannya benar. Panji menghela napas pelan, dia benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana meyakinkan Viola bahwa dirinya tidak perlu memikirkan hal itu. Panji ingin Viola tidak terus menerus terjebak dengan rasa malu yang membuatnya tidak bisa percaya dengan masa depan yang mungkin saja, lebih bahagia dengan semua impiannya yang terwujud. Walau dengan kedua kaki yang tidka akan kembali utuh.
“Bang,” panggil Viola yang membuat Panji mengarahkan tatapannya ke Panji. “Gritte… nyariin kamu kan kemarin?” tanya Viola yang langsung membuat Panji tersentak kaget.
Hal itu memang sengaja disembunyikan Panji darinya. kedatangan Gritte ke kantor memang tidka ingin diberitahukannya pada Viola agar sang istri tidak terus menerus kepikiran tentang Gritte yang dia anggap lebih pantas bersama sang suami, dibandingkan dirinya. Sudah beberapa hari di Jogja, Viola selalu membandingkan dirinya dengan Gritte walau dengan cara halus. Dan karena itulah Panji tidak ingin memberitahukannya, berharap Viola tidak akan merendahkannya lagi di hadapan nama Gritte yang dia sembunyikan.
“Kenapa abang nyembunyikan hal itu dari Viola?” tanya Viola lagi saat menyadari Panji tidak juga menjawab pertanyaannya. “Apa kamu menyembunyikan hal lain dari Viola tentang Gritte?”
Panji menatap Viola cepat, lantas menggelengkan kepala. Ucapan Viola benar-benar menghadirkan rasa takut yang teramat sangat dalam hatinya. Entah karena apa, namun dia takut bukan main jika Viola menjadikan hal itu sebagai bahan untuk bertengkar dengannya.
“Abang gak ada nyembunyikan apa pun dari Viola, Dek,” ucap Panji yang membuat Viola menatapnya semakin dalam, seolah menyelidik.
“Jadi kenapa abang malah menyembunyikan kedatangannya dari Viola?” tanya Viola lagi yang membuat Panji menghela napas pelan, lantas menatapnya tenang.
“Karena kamu selalu berpikiran yang tidak-tidak semenjak Gritte hadir di antara kita,” jawab Panji. “Kamu selalu membandingkan dirinya dengan kamu, menganggap dia lebih sempurna dari pada kamu. menganggap dia lebih pantas untuk abang dibandingkan kamu. dan abang benci hal itu. Hal itulah yang membuat abang tidak ingin menambah pikiran buruk itu, dalam pikiran kamu.”
Viola terdiam. Dia tertunduk sedih. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan kecemburuannya terhadap Gritte semenjak pertama kali bertemu. Andai saja dia tidak bertemu Luna dan mendengar semua hinaannya, mungkin saja dia tidak terus menerus memikirkan ucapannya yang membuatnya terus saja membandingkan kondisi dirinya dengan Gritte.