Gritte geram bukan main saat mendapati kabar kalau Panji tidak hadir di kantor. Tidak ada satu pun yang memberitahukannya alasan ketidakhadiran Panji di kantor. Bahkan Bara sekali pun malah terus menatapnya sinis saat Gritte memaksa masuk dan duduk di ruangan Panji.
Bukan hanya Bara saja, sekertaris Panji pun malah lebih tega dibandingkan Bara yang memilih duduk terus di hadapan Gritte. Rani malah begitu tega memasukkan garam ke minuman Gritte hingga membuatnya terpekik kaget sekaligus keasinan saat mencobanya. Gritte malah menyembur semua air di dalam mulutnya dan menatap Rani yang masih berdiri di samping Bara. Bara sendiri kaget bukan main, mengarahkan tatapannya ke Rani yang cekikikan, lantas tertawa pelan Ketika menyadari kalau Rani sengaha melakukannya. Untuk pertama kalinya Bara menyukai sikapnya yang jahil itu. Rani melirik ke arahnya, memainkan alisnya seakan memberi isyarat bahwa semua ini sengaja dia lakukan, lantas berusaha menahan tawa saat tatapan Gritte kembalo mengarah padanya.
“Loe sengaja ya?!” bentak Gritte geram yang langsung dijawab Rani dengan gelengan kepala dan wajahnya yang berpura-pura polos. “Jangan bohong loe!” bentak Gritte lagi.
“Eh, kok malah nyolot, emangnya Rani sekertaris loe apa sampek ngebentak-ngebentak kayak gitu,” bela Bara yang langsung membuat Gritte terdiam dan menatapnya. “Panji aja yang ngebayar dia gak pernah ngebentak nih anak, kok malah situ pula yang berani-beraninya bersikap kayak gitu. Siapa Panji loe? Istri kagak mungkin, teman apa lagi.”
Gritte menghela napas panjangnya. Dia yang tahu siapa Bara saat melihat foto Bara dan Panji berdua di atas meja Panji, membuatnya kembali meredam emosinya. Dia tidak inngin Bara melaporkannya sebagai wanita kasar di hadapan Panji. Biar gimana pun, Gritte masih mempunya keinginan untuk bisa bersama Panji. Walau dia harus melawan semua orang termasuk Viola sendiri sebagai istri dari lelaki yang sangat dia harapkan.
“Bukan gitu, Mas, tapi dia malah masukkan garam ke minuman aku,” jawab Gritte dengan nada suara manja. “Bukannya manis, malah jadi asin.”
“Maaf, Bu, saya tidak tau kalau yang saya masukkan itu garam. Soalnya ibu nyuruh saya buat teh, padahal bukan saya yang bertugas melakukannya. Jadi saya tidak bisa bedain, mana gula dan mana garam.”
“Loe cewek apa bukan sih, bedain garam sama gula aja gak bisa!” ucap Gritte yang masih kesal bukan main mendengarnya.
“Maaf, Bu, di rumah saya, semua sudah tersedia sama yang kerja di rumah. Saya malah gak diizinkan untuk masuk ke dapur,” ucap Rani berbohong. “Bahkan, untuk ngeletakkan piring atau gelas kotor bekas saya makan aja, gak boleh. Saya jadi ratu di rumah, Bu. Bukan jadi babu.”
Bara cekikikan mendengarnya. Apa yang dibilang Rani seratus delapan puluh derajat berbeda. Tidak ada pembantu di rumah Rani. Dia malah tinggal seorang diri, melakukan semuanya sendiri dan bahkan masak sendiri. Dan lucunya, Rani malah mengatakan segalanya seolah tanpa beban kebohngan sedikit pun di wajahnya. Yang membuat seua orang percaya saat mendengarnya. Termasuk Gritte yang kini tampak kesal walau kepercayaan jelas terpancar dari kedua matanya.
“Kamu buang saja ini, saya tidak bisa meminum minuman asin seperti ini,” ucap Gritte dengan nada ditahan agar tidak terlihat emosi. “Bisa-bisa saya darah tinggi nanti.”
“Baik, Bu,” jawab Rani lanats mengambil kembali gelas itu dan membawanya pergi.
Masih terlihat jelas tatapan tajam dari Gritte ke Rani saat Rani pergi dari ruangan. Dan tatapan itu terlihat kedua mata Bara yang diam-diam masih memperhatikannya. Dia yakin seratus persen, kalau Gritte bukanlah wanita yang baik. Dia bermuka dua, yang membuat Bara tidak menyukainya jjika terlalu dekat dengan Panji. Bara malah meyakini kalau Gritte mempunyai maksud lain mendekati panji. Entah itu menjebaknya, atau malah merusak hubungan Panji dan Viola.
“Kalian kenapa bisa sih, mempekerjakan orang kayak gitu, udah gak bisa kerja, mulutnya kadang lantam, seharusnya kalian bisa mencari orang yang lebih baik dari dia,” bisik Gritte yang takut jika Rani mendengar kalimatnya. “Orang seperti itu gak pantas jadi sekertaris, pantasnya kerja di tempat lain yang gak perlu etika.”
“Kerjaan dia bagus, itu yang kami lihat di sini. Dia teliti, pekerja keras, semua yang dia kerjakan cukup membuat Panji puas dan rasanya tidak ada lagi alasan bagi kami untuk tidak menerimanya, atau malah memecatnya,” jawab Bara santai namun terlihat berwibawa. “Lagian, emang ada pekerjaan yang tidak melihat etika? Sepertinya semua perusahaan mementingkah hal itu sebagai persyaratan utama.”
Gritte kembali terdiam, mencoba tetap tenang walau kini emosi menggebu-gebu di dadanya. Baginya, baik Rani mau pun Bara semuanya sama saja, tidak ada bedanya. Tidak seperti Panji yang bisa bertutur kata lembut walau sebenarnya apa yang dia katakan cukup menyakitkan. Gritte sebenarnya tidak betah jika harus berlama-lama di ruangan cukup besar yang disebut ruang pertemuan itu. Namun keinginannya untuk bertemu dengan Panji masih cukup kuat. Gritte malah menganggap apa yang dikatakan Rani dan Bara, hanya tipuan semata. Panji ada di rumah, dan munngkin bersembunyi entah di mana. Dan hal itu membuatnya masih bertahan menanti Panji.
“Mau sampai kapan?” tanya Bara yang mulai jengah dengan kehadiran Gritte.
“Maksudnya?” tanya Gritte dengan kerutan di keningnya, menandakan dia sedang berpikir mencoba mencerna kalimat Bara barusan padanya.
“Iya, mau sampai kapan nungguin Panji?” tanya Bara sembari menegakkan posisi duduknya. “Mau sampai minggu depan di sini terus? mau tidur sini juga? Biar kami siapkan Kasur di ruangan ini, sekalian alat mandi dan catheringan. Atau mau pakai tenda saja?” tanya Bara dengan nada suara mengejek yang jelas saja membuat Gritte sedikit tesinggung. Namun dengan cepat Gritte menarik naaps panjang, lantas mengembuskannya.
“Gue yakin, Panji pasti ada di siini kan?” tanya Gritte dengan senyuman lebar, senyuman yang seolah berhasil menjebak lawan bicaranya. “Atau dia sekarang ada di rumah, sedang mennggu kabar dari kalian semua kalau gue udah pergi dari kantornya. Gue benar, kan?”
“Terserah anda mau percaya atau enggak,” jawab Bara sembari tersenyum lebar. “Yang penting, saya sudah memberitahukan hal yang sebenarnya. Lagi pula, bukannya anda bilang, kalau anda dekat banget sama Panji? Ya… tinggal telepon aja, kan? Kok susah banget.”
Gritte terdiam. Dia tidak pernah punya nomor handphone Panji sejak dulu. Komunikasinya dengan Panji hanya lewat aplikasi atau sekedar dari email saja. Tidak lebih. Panji malah tidak pernah memberikan nomor handphone padanya. Bahkan saat dia memaksa sekali pun, Panji juga tidak memberikannya. Ada saja alasan Panji untuk menolak permintaan Gritte setiap kali permintaannya itu meluncur darinya. dari mulai handphonenya hilang, pribadi, atau dimarahi Viola. Awalnya Gritte tidak masalah akan hal itu. Dia merasa Panji sudah nyaman bercerita dengannya yang membuatnya tidak memaksa lagi Panji untuk memberikan nomor handphonenya. Namun ternyata, Panji menghilang. Dan hal itu membuat Gritte menyesal.
“Jangan-jangan, gak ada yang nomor handphonenya,” sindir Bara. “Yah… kok gitu ya. Padahal Panji itu kalau udah dekat sama orang, dia pasti ngasih nomor handphonenya lho buat terus komunikasi. Kalau gak dikasihnya, berarti anda tidak begitu dekat dengannya. Mungkin cuma ngaku-ngaku dekat!”
Gritte yang sudah tidak tahan lagi, spontan berdiri. Menatap kesal ke Bara yang perlahan berdiri di hadapan Gritte dan tersenyum simpul.
“Gue mau pulang!” ucap Gritte berharap dicegah.
“Silakan, pintunya masih terbuka buat anda ke luar,” ucap Bara yang langsung membuat gritte menyesal sudah mengatakannya. Namun Gritte yang terlalu gengsi untuk kembali duduk, memutuskan untuk pergi ke luar meninggalkan Bara. Bara mengintip ke luar, sekedar memastikan Gritte pergi. Rani yang mengerti maksud Bara, langsung menaikkan ibu jari kedua tangannya tanda Gritte sudah pergi. Bara tersenyum, menutup pintu dari dalam dan langsung merogoh saku celananya menghubungi seseorang.
“Broh, gila loe, kok bisa kenal sama perempuan kayak gitu sih!” ucap Bara yang ternyata menghubungi Panji. “udah, dia udah pulang,” jawabnya lagi sembari duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya dan juga mengangkat kedua kakinya ke atas meja di hadapannya.