BAB 27

1139 Kata
            Panji melangkah tegap menuju kelas. Wajahnya memerah akibat emosi yang memuncak di hatinya. Ucapan sang papa tadi pagi sebelum dia pergi, membuatnya tak kuasa menahan gejolak emosi saat satu nama, disebutkan papa sebagai dalang kejadian semua ini.             “Mama bilang sama papa, kalau Luna yang memberitahukannya.”             Kalimat itu masih terdengar begitu nyata di telinganya. Terngiang terus menerus hingga kedua kakinya masuk ke dalam kelas. Dia berhasil menangkap sosok Luna yang asik tertawa bersama beberapa sahabatnya di sudut kelas. Panji kembali melangkah dan menarik tangan Luna kasar hingga melepaskannya di depan kelas. Semua mata tertuju pada keduanya.             Tanpa berkata apa-apa, sebuah tamparan melesat di pipi kanan Luna. Luna merintih kesakitan lalu menatap Panji kaget. Dia tidak percaya tindakan kasar itu harus dia terima dari cowok yang selama ini begitu dia cintai. Napas Panji memburu hebat hingga membuat Luna semakin takut karenanya.              “Gue benar-benar muak lihat loe!” bentak Panji. “Ngapain loe ngurusin hubungan gue sama Viola. Hah!”             “Lho, seharusnya loe terima kasih sama gue karena udah nyadari kalian kalau hubungan yang kalian bina itu, terlarang. Bukannya malah marah sama gue!”             “He!” bentak Panji sembari mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke wajah Luna. “Bukan urusan loe, mau gue pacaran kek sama Viola atau nikah sekalian. Tetap bukan urusan loe!”             “Ji, gue ngelakuin semua ini karena gue cinta sama loe!” ucap Luna yang memberanikan menyentuh bahu Panji.             Panji menjauhi bahunya hingga membuat tangan Luna terjatuh, “Makan cinta loe, sampai kapun pun, gue gak kan pernah cinta sama cewek kayak loe. Camkan itu!” Panji berlalu dari ruang kelas meninggalkan keadaan kelas yang masih hening akibat pertengkaran itu.             Luna sendiri terdiam membisu. Rasa malu menghampirinya saat semua teman sekelasnya, mulai menyorakinya beberapa menit kemudian. Kedua sahabat dekat Luna langsung merangkulnya erat. Sedangkan Luna masih berdiri dengan wajah memerah. Rasa malu dan emosi bercampur jadi satu. Sikap Panji, sungguh membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk sekedar membela diri.             Viola memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas kopernya. Air mata masih saja jatuh mengiringi kedua tangannya melipat lalu menyusun pakaian serapi mungkin di dalam tas koper berukuran sedang itu. Mama yang saat itu masih berada di toko, membuatnya berani sendirian di dalam rumah tanpa Panji di dekatnya. Andai saja mama masih di rumah, mungkin Viola bakalan pergi menjauhi mama untuk sementara waktu. Dia tidak ingin kemarahan mama yang belum usai itu kembali melesat padanya.             Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Viola menghampiri jendela dan melihat Panji turun dari dalam mobil. Viola kembali mendekati lemari dan mengeluarkan beberapa potong pakaian lagi dari dalam dan memasukinya ke koper. Beberapa buku pelajaran juga ikut raib dari meja belajar dan berpindah ke tas satunya lagi berwarna cokelat muda.             Panji mendekatinya dengan wajah kaget. Membongkar kembali pakaian yang telah rapi tersusun di dalam koper dan melemparnya ke segala arah. Viola berusaha mencegahnya namun alhasil, dia malah terlempar ke lantai dan terisak sambil melihat Panji yang masih mengeluarkan pakaiannya.             “Siapa yang nyuruh kamu siap-siap!” bentak Panji. “Abang gak bakalan biarin kamu pergi, Vi!”             “Mama yang nyuruh, Bang,” isak Viola. Viola menundukkan kepala. Dan hal itu membuat Panji tersadar akan sikapnya yang terlalu keras.               Panji membantu Viola berdiri dan langsung memeluknya, “Abang belum sanggup berpisah, Vi. Abang gak bakalan biarin kamu pergi.”             Viola menangis. Hanya itu yang mampu dia lakukan. Semua ini terlalu berat untuk dia dan Panji hadapi. Hubungan yang mereka jalin baru sebentar. Namun masalah sudah terlalu banyak yang datang dan mengusik cinta keduanya yang mungkin akan berakhir tak sesuai rencana dan bayangan semula.             Papa masuk ke dalam kamar Viola. Pintu yang tidak tertutup ditambah dengan pemandangan yang menusuk kedua mata papa, saat melihat Viola yang sibuk membereskan barang-barang untuk dibawa besok ke Bandung, membuat papa masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Viola yang melihat papa sudah berada di kamarnya, langsung menghentikan segalanya dan berlutut di hadapan papa.             “Maafin Viola, Pa. Viola udah ngecewain papa.”             Papa mengusap kepala Viola penuh kasih sayang, “Vi, papa sendiri gak tahu harus ngelakuin apa. Cinta memang gak bisa dihindari kedatangannya. Dan papa mengerti perasaan kalian. Kalian gak salah, Nak. Cinta yang kalian rasakan, hadir karena terbiasa.”             Viola semakin terisak. Papa menarik kedua bahu Viola dan memintanya duduk di sampingnya. Rangkulan papa membuat Viola tenang. Meluapkan emosinya melalui air mata yang kini hanya bisa menjadi jawaban atas semua kalimat papa.             “Vi, cuma satu pesan papa. Jaga diri kamu baik-baik di sana ya.” Papa membelai lembut kepala Viola yang masih bersandar di dadanya. “Papa yakin, suatu hari nanti akan ada jawaban terbaik dari kisah kalian.”             Viola mengangguk mengerti. Papa mempererat rangkulannya dan secara bersamaan, Panji hadir di dalam kamar. Berdiri di hadapan papa yang langsung membuatnya menghentikan rangkulannya. Papa berdiri dan memeluk erat tubuh Panji.             “Maafin Panji juga ya, Pa.”             “Gak pa-pa, Nak. Papa ngerti perasaan kalian. Biar waktu yang menjawabnya ya.” Begitu tenang kalimat papa, hingga membuat Panji begitu yakin bahwa papa, berada di pihaknya dan juga Viola.             Panji mengangguk sembari melepaskan pelukannya. Papa tersenyum. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.             “Ikutin saja apa yang diminta mama, jangan dilawan. Kalian tahu sendiri kan gimana mama kalian itu, keras dan nggak bisa dibantah apa yang mama ucapkan. Jadi papa minta untuk kali ini aja, kalian nurut lagi ya sama mama.”             “Tapi, Pa. kami belum siap pisah.” Panji mencoba meyakinkan sang papa.             “Papa tahu itu, sejak kecil kalian sudah bersama. Dan sulit dipisahkan,” ucap papa. “Tapi untuk kali ini, papa minta tolong untuk ikutin apa yang mama mau, ya?”             Panji menundukkan kepala sedangkan Viola, hanya bisa terisak. Papa kembali menepuk pundak Panji beberapa kali.             “Ya udah, mumpung mama belum pulang, kalian ngobrol gih. Anggap aja ini malam perpisahan. Tapi jangan lakuin hal yang macem-macem ya.” Tawa papa sesaat terdengar. Panji tersenyum kecut dan melihat papa membelai sesaat rambut Viola yang masih duduk di tepi tempat tidur. Papa berlalu dari kamar dan meninggalkan Panji yang kini berlutut di hadapan Viola. Menggenggam kedua tangannya dan menarik dagu Viola sesaat untuk menatapnya.             “Vi.” Tatapan Panji begitu meneduhkan. Menarik rasa sakit di hati Viola yang kini terus mencoba tetap tegar.             “Abang jaga diri baik-baik ya, jangan lupa makan. Shalat dan jangan suka begadang.” Bibir Viola bergetar mengatakan pesan singkat itu.             “Vi ….”             “Abang juga jangan kemana-mana, pulang kuliah harus pulang. Dan jangan lupa hubungi Viola.”             “Cukup, Vi!”             Viola terdiam. Dia menundukkan kepala mencoba menahan air mata. Panji menghela napasnya lalu kembali menarik dagu Viola agar kembali mengarahkan tatapannya ke arahnya. Panji juga menghapus air mata Viola dengan jemari tangannya.             “Viola harus tahu, abang tetap cinta sama Viola,” ucap Panji. “Abang bakalan terus berusaha untuk ngeyakinin mama kalau kita cuma saling menimati hari. Bukan untuk selamanya.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN