Viola langsung memeluk tubuh Panji, “Viola takut, Bang. Viola takut jauh dari Abang,” isaknya yang membuat Panji menangis karenanya.
“Viola tenang aja ya, abang bakalan berusaha untuk ngejaga Viola dari jauh. Viola nggak akan pernah ngerasa kehilangan abang. Abang janji.”
Viola semakin mempererat pelukannya. Menumpahkan segala rasa sesak di d**a melalui air mata. Menghabiskan waktu yang masih mendukung keduanya untuk bersama, sebelum mama pulang dan menghalangi keduanya. Panji sendiri mencoba menahan air mata namun sia-sia, semua itu tetap sulit ia lakukan. Butiran air masih saja jatuh dan meninggalkan lintasan di kedua pipi. Menampakkan kelemahan yang kini keluar mengikis keyakinannya untuk bertahan dalam satu cinta terlarang.
“Jangan nyusahain nenek buat ngikatin sepatu kamu ya, Dek.”
Kalimat Panji yang dilanjutkan tawa renyah darinya, berhasil membuat Viola tertawa. Dia melepaskan pelukannya, lalu memukul lengan Panji pelan. Menghapus air matanya sendiri saat Panji membelai lembut kepalanya.
***
Sang nenek yang selalu dipanggil Nenek Uti, tampak senang menyambut cucu kesayangannya. Viola baru saja turun dari mobil, langsung memeluk Nenek Uti yang sudah tampak renta itu. Keriput tergaris di wajahnya. Rambutnya yang semakin memutih serta kaca mata tebalnya menjadi pemandangan yang selalu Viola temui di sosok Nenek Uti. Nenek Uti tampak sehat. Wajahnya cerah, kedua matanya berbinar-binar. Ada kelegaan di hati Viola mendapati nenek satu-satunya begitu mampu berdiri menyambutnya.
Tatapan Nenek Uti yang semula begitu memancarkan kegembiraan, perlahan memudar saat mendapati kesedihan di wajah Viola. Ada linangan air mata di kedua pipinya. Nenek Uti mengusapkan jemari tangannya ke pipi Viola.
“Kamu kenapa?”
Viola menggelengkan kepala lalu berlalu dari hadapan Nenek Uti. Melangkah masuk sembari menarik koper hitamnya. Nenek Uti yang masih tertinggal di belakang, meminta Pak Kusir—pembantunya—untuk mengangkat tas-tas milik Viola dan membawanya ke dalam kamar.
“Ada apa, Vi. Ayo cerita sama nenek,” tanya Nenek Uti setelah mengajak Viola duduk di sofa ruang tamu.
“Viola lelah, Nek. Boleh Viola tidur?”
Nenek Uti menghela napas. Dia benar-benar tahu bagaimana sikap Viola yang tidak terlalu terbuka pada siapa pun kecuali Panji. Nenek Uti menganggukkan kepalanya tanda mengizinkan yang langsung membuat Viola kembali berdiri dan melangkah pergi menuju kamar. Satu ruangan di sudut yang sejak dulu memang menjadi kamar pribadinya.
Viola memandangi setiap gambar yang tergantung di dinding kamar. Ada yang berupa lukisan dirinya dan juga Panji saat kecil. Ada juga bingkai foto besar yang di dalamnya ada dirinya, Panji, mama dan papa serta Nenek Uti dan Kakek. Dan semua itu terjadi saat dirinya baru saja duduk di kelas SMP.
Viola juga sedikit membungkuk di dekat tempat tidur. Mencoba meraih sesuatu dari kolong dan menariknya keluar. Sebuah kotak berwarna cokelat yang telah usang berukuran sedang terpampang di hadapannya. Viola duduk di lantai dan mulai membuka gembok dengan kunci kecil yang selalu dia simpan di pinggir tempat tidur. Hanya dia dan Panji yang mengetahui tempat rahasia itu.
Viola mulai memerhatikan beberapa lembar foto, boneka Barbie perempuan dan laki-laki yang ada di dalamnya serta beberapa alat mainan lain, yang sejak dulu selalu mereka jadikan permainan mengisi hari-hari masa kecil. Viola meraih boneka Barbie dan memerhatikan dengan seksama. Tampak mulai usang kedua boneka itu. Ingatannya akan permainan bersama Panji waktu kecil, berputar di kepalanya.
Viola duduk di ayunan yang terikat kuat di dahan pohon besar. Berayun ke depan dan ke belakang sembari menanti seseorang. Tak lama seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun datang menghampirinya. Membawakan dua kotak mainan yang berisi boneka Barbie. Viola tersenyum lebar mendapati hadiah itu, dan langsung membukanya.
“Terima kasih ya, Bang. Bonekanya bagus,” ucap Viola yang saat itu berusia sembilan tahun.
“Sama-sama, mau kamu kasih nama apa, Vi?” Panji berdiri di samping Viola.
“Nama kita aja. Yang ini Viola dan ini Panji.”
Panji kecil tersenyum lebar mendengarnya. Dia terus berdiri di samping Viola yang mulai sibuk memegang boneka perempuan di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya, masih menggenggam erat tali ayunan.
“Bang, suatu hari nanti … apa kita akan berpisah?” Viola masih saja membelai rambut Barbie perempuan tanpa beralih menatap Panji.
Panji menatap heran, “Kenapa Viola nanya gitu?”
“Soalnya Viola ngelihat Amel, Bang. Kakaknya menikah sama cowok, terus pergi dari rumah. Amel jadi sendirian.” Viola menceritakan sahabat sebangkunya itu.
“Mungkin.”
“Apa abang menikah sama perempuan lain?”
“Lho, iya dong, Vi. Masa sama Viola. Kita kan bang adik.”
“Tapi kan abang janji bakalan tetap jadi pangerannya Viola. Berarti Abang juga yang harus menikah sama Viola. Kayak boneka ini!” Viola mengarahkan kedua bonekanya ke hadapan Panji.
Panji tertawa mendengarnya, “Itu gak mungkin, Dek.”
“Tapi Viola maunya gitu!” Viola mulai tak terima. “Viola mau abang aja yang jagain Viola. Yang terus main sama Viola. Bukan orang lain.”
“Iya-iya, abang bakalan jadi pangeran Viola. Jangan marah yaa.”
“Gendong!” Viola mengulurkan kedua tangannya. Panji menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sang adik yang tak pernah berubah. Panji langsung berdiri membelakangi Viola dengan posisi badan setengah membungkuk. Viola melompat ke punggung Panji. Dan dengan perlahan, Panji membawanya berjalan di sekitar taman.
“Tuan Putri mau ke mana?” tanya Panji sambil terus melangkah.
“Ke panggung pengantin.” Viola tertawa.
“Oke Tuan Putri.”
Panji terus menggendongnya ke sana ke mari. Tawa lucu Viola kian terdengar saat Panji mempercepat langkahnya. Viola terguncang di gendongan Panji. Namun semua itu tidak membuatnya takut.
Viola mengusap air matanya. Kenangan itu kembali membuatnya merindukan sosok Panji. Dia meraih handphonenya yang sejak tadi ada di saku celana panjang yang dia kenakan. Mengecek adakah pesan singkat dari Panji atau sekedar panggilan darinya, namun semua itu nihil. Viola menghela napasnya dengan wajah menyedihkan. Secara diam-diam, Nenek Uti mengintip dari balik pintu yang saat itu tidak tertutup rapat. Helaan napas terdengar darinya disusul langkahnya pergi dari balik pintu.
Panji meraih handphone yang sejak tadi berada di meja belajar kamarnya. Mencoba mengetik beberapa tombol angka untuk menghubungi Viola. Rasa rindu yang cukup kuat di hatinya, semakin tak mampu dia tahan lagi. Seharusnya sejak tadi siang, Viola sudah mengabarinnya kalau dia sudah sampai di Bandung. Tapi Viola malah sama sekali tidak memberikan kabar.