Belum sempat Panji mendengar nada sanmbung telepon, mama yang secara tiba-tiba hadir di kamarnya, langsung merampas handphone Panji. Panji kaget bukan main dan menatap mama dengan tatapan tajam. Dia benar-benar tidak terima dengan sikap mama yang memang sengaja menjauhkannya dari cewek yang dia cintai itu.
“Ma, kemarikan handphone Panji!” pinta Panji sembari kembali mencoba meraih handphonenya dari tangan mama.
“Mau nelepon siapa kamu. Viola?” Nada suara mama menyindir. “Harus berapa kali lagi mama bilang, jangan pernah hubungi Viola!!!”
“Ma, Panji cuma mau nanya kabarnya aja.”
“Tetap gak boleh. Mulai sekarang, handphone kamu mama sita!” mama berlalu dari hadapan Panji. Panji berusaha mengejar, namun pintu kamarnya yang dengan sengaja ditutup mama dan di kunci dari luar, membuatnya tidak bisa melakkan apa-apa. Panji menjerit sekuat tenaga memanggil sang mama, namun mama tetap saja keukeh sama keputusannya untuk menjauhi Panji dari Viola. Papa yang melihat itu, hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Hampir satu minggu Viola berdiam diri di rumah. Bahkan untuk mendaftar saja di salah satu universitas di kota Bandung, dia masih enggan. Berulang kali Nenek Uti mengajaknya mengobrol, namun Viola tetap saja diam membisu. Dia hanya melihat berulang kali ke layar handphonenya, berharap ada nama Panji di sana. Minimal mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi blackberry. Namun semua itu tetap saja tidak dia temui. Panji menghilang, bahkan sama sekali tidak mengabarinya.
Pemandangan memilukan tertangkap di kedua mata Nenek Uti. Ada kantung mata di bawah mata cucu kesayangannya. Berwarna hitam pekat yang menandakan dia kurang tidur selama beberapa hari belakangan ini. Kedua matanya sembab. Tubuhnya sedikit kurus akibat kurangnya asupan makanan yang masuk. Nenek Uti semakin dibuat pusing karenanya. Dan akibatnya, Nenek Uti meminta Viola untuk duduk bersamanya di halaman belakang. Menikmati desiran angin malam ditambah dengan suara gemericik air kolam ikan yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Nenek nggak suka ngelihat cucu nenek sekarang. Diam … aja. Nenek jadi kesepian.” Nenek melirik sekilas ke Viola, lalu kembali melempar makanan ikan ke dalam kolam. Membuat beberapa ikan yang beraneka warna itu, berhamburan mendatangi pusat makanan berada.
Viola mengarahkan tatapannya sesaat ke Nenek Uti, tersenyum tipis lalu kembali memusatkan pandangannya lurus ke depan. Nenek Uti menghela napasnya sembari membetulkan posisi kaca mata.
“Nenek sudah tahu semuanya, tadi malam papa kamu nelepon dan cerita semuanya sama nenek.”
Viola menundukkan kepala, “Nenek pasti kecewa kan sama Viola?”
“Enggak. Nenek gak kecewa dan malah sejak dulu nenek udah bisa nebak kalau semua ini bakalan terjadi.”
Viola menatap kaget ke arah Nenek Uti yang masih telihat tenang. Senyuman di bibirnya, begitu menenangkan bagi Viola yang semula kalut dengan masalah yang dia hadapi.
“Sudah saatnya kamu tahu segalanya, Vi. Nenek anggap, kamu sudah dewasa dan bisa mengerti apa yang selama ini disembunyikan dari kalian berdua.”
Viola mengarahkan posisi duduknya ke Nenek Uti. Wajahnya tampak takut bercampur penasaran. Apa yang akan Nenek Uti katakan, jujur membuat detakan jantungnya berdetak lebih cepat dari semula.
“Panji dan kamu ….” Nenek Uti membelai kepala Viola. “bukan saudara kandung.”
Bagai tersambar petir di siang bolong. Kalimat itu melesat tajam seakan memukul gendang telinganya. Viola benar-benar dibuat kaget sama apa yang dikatakan Nenek Uti. Panji yang selama ini selalu ada dengannya sebagai seorang kakak laki-laki, ternyata tidak memiliki tali apapun yang erat menghubungkan keduanya. Setetes air mata mengalir membasahi pipi Viola. Wajahnya masih saja menunjukkan ekspresi kaget. Bibirnya dan lidahnya terasa kelu. Kedua matanya masih saja membuka lebar.
“Semula, mama dan papa tidak bisa memiliki anak. Hampir lima tahun mereka menikah, tapi mereka sama sekali tidak bisa memiliki keturunan. Sampai akhirnya, mama kamu berinisiatif mengadopsi Panji dari panti asuhan sebagai pancingan agar dia bisa mempunyai anak. Dan beberapa tahun kemudian, kamu lahir ke dunia. Dan saat itu, Panji sudah berusia tiga tahun. Karena saat diadopsi, Panji sudah berusia satu tahun.”
Mendengar semua itu, Viola kembali meneteskan air mata. Ketidakpercayaan masih saja menguasainya. Viola langsung memeluk erat tubuh Nenek Uti dan menumpahkan segalanya. Desakan emosi begitu menyesakkan d**a. Membuatnya tak mampu berkata apa-apa, hanya isakan tangis yang keluar tanpa bisa ditahankan.
“Kamu dan Panji boleh saling mencintai, Vi. Dan nenek sendiri, sangat setuju kalau Panjilah yang menjadi pendamping kamu. Bukan orang lain yang tidak nenek kenal.”
Viola melepaskan pelukannya. Ada dua rasa yang hadir menepi di hati. Satu sisi dia merasa kesedihan baru saja memeluknya erat. Ada rasa sakit saat mengetahui bahwa Panji, bukan abang kandungnya. Viola yang selama ini selalu membangga-banggakan sosok Panji sebagai abang kandung terbaiknya, ternyata bukan seutuhnya miliknya.
Namun di sisi lain, secercah harapan hadir begitu nyata. Tidak ada lagi yang akan menghalanginya. Selamanya dia bisa menikmati hari dengan cinta bersama Panji. Larangan mama, juga tidak akan berlaku untuk hubungan ini. Dia bisa kapan saja memeluk Panji, menyatakan cinta di hadapan semua orang bahkan memanggilnya dengan sebutan sayang. Yang sejak dulu, selalu dia inginkan.
Viola mengarahkan kembali tatapannya ke Nenek Uti yang tersenyum melihatnya. Rona kebahagiaan terpancar di wajah Viola. Rasanya dia tidak sabar untuk hadir di hadapan Panji dan memberitahukan kabar berita ini.
“Nek, Viola mau pulang!” ucap Viola sambil menggenggam kedua tangan Nenek Uti.
Nenek Uti mengernyitkan dahi. Permintaan cucu kesayangannya itu jelas membuatnya sedikit cemas saat mengingat Viola harus kembali ke Jakarta dan menghadapi semuanya seorang diri.
“Mau ngapain pakai pulang segala?”
“Viola mau ngasih tahu Bang Panji tentang kabar ini, pasti dia senang!”
Nenek Uti menyunggingkan senyuman. Dia sangat memahami kebahagiaan Viola saat ini. Keinginannya yang ingin langsung dia sampaikan di hadapan Panji, tampak begitu kuat di dirinya. Nenek Uti membelai lembut kepala Viola.
“Di telepon saja, gak perlu juga harus balik ke Jakarta.”
“Gak, Nek. Viola tetap mau pulang," bantah Viola dengan tegasnya. Dia terlihat kesal bukan main. Ada kekecewaan juga di kedua matanya setelah mendengar semua kebenaran yang selama ini ditutupi dairinya. Nek Uti menatapnya tak tega. "Lagian besok itu ulang tahun Bang Panji. Jadi Viola sekalian mau ngasih kejutan sama Abang.” Senyuman masih hadir begitu lebar di bibir Viola. Yang membuat Nenek Uti semakin memperlebar senyumannya. Kerutan semakin tampak di wajahnya yang kian menua.