Nenek Uti akhirnya menyetujui permintaan Viola dengan syarat, dia harus ikut ke Jakarta di antar dengan supir pribadi sang nenek. Viola mengangguk dan langsung memeluk erak Nenek Uti. Mengucapkan terima kasih karena telah memberitahukannya tentang sebuah rahasia yang mampu mengubah segalanya.
Viola berdiri di depan pintu saat mentari baru saja meninggi di ufuk timur. Berulang kali dia melirik ke arah jam tangannya. Waktu yang saat itu menunjukkan pukul delapan pagi, membuatnya sedikit gelisah. Jarak dari Bandung ke Jakarta memang tidak terlalu jauh, namun bukan berarti dia bisa berlama-lama sampai ke Jakarta. Dia ingin rencananya untuk memberikan kejutan ke Panji dengan hadir di kamar saat dia baru saja pulang kuliah, terlaksana begitu lancar. Dan hal itu, membuatnya berulang kali berteriak memanggil sang nenek.
“Nenek … cepetaan!” jeritnya lagi dari luar rumah. Terdengar suara Nenek Uti menyahut dari dalam, namun sosoknya belum juga hadir di hadapannya. Viola menghela napas dan kembali mengingat semua rencana yang dia susun tadi malam bersama Nenek Uti.
Sebuah kue yang baru akan dibeli saat berada di jalan nanti, akan menjadi hadiah awal sebelum kabar baik itu dia beritahukan. Dapat ia pastikan, Panji akan tersenyum haru lalu memeluknya erat. Mengucapkan kata cinta dan rindu, yang selama seminggu dia pendam tanpa bisa disalurkan melalui komunikasi. Semua alat komunikasi yang Panji miliki, dirampas oleh mama. Semua itu dia ketahui langsung dari papa yang sempat menghubunginya beberapa hari lalu. Viola sendiri yang mencoba menghubungi Panji melalui telepon rumah, juga dilarang mama. Mama memutuskan untuk cuti dari kerjaannya dan menyerahkan toko bunga pada Shinta. Dia ingin menjaga Panji dan memastikan agar keduanya tidak saling berhubungan.
Nenek Uti datang dengan membetulkan rambutnya yang pendek sebahu. Viola langsung mengajak Nenek Uti untuk segera masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Raka untuk segera menjalankan mobil. Viola bersandar di bahu Nenek Uti yang duduk di sampingnya.
“Semuanya akan berjalan sesuai rencana, Sayang. Yang sabar ya,” ucap Nenek Uti sembari mengusap pipi kanan Viola. Senyumannya tersungging begitu lebar, membuat Viola merasakan kenyamanan di dirinya yang sejak dulu dia sukai.
Beberapa jam berlalu. Hanya tinggal setengah jam lagi, Viola akan tiba di rumah dan menjalankan semua rencananya. Viola yang tidak ingin kelupaan kue ulang tahunnya, langsung memerhatikan beberapa toko di pinggir jalan. Berharap ada toko kue yang bisa menjadi tempatnya membeli kue untuk Panji.
Pak Raka berbelok di persimpangan. Viola berseru meminta berhenti saat sebuah toko kue melesat ke kedua matanya. Pak Raka berhenti dan berniat ingin berbalik saat mengetahui toko kue itu berada di seberang jalan. Dengan cepat Viola melarangnya dan meminta Pak Raka untuk tidak berbalik arah. Melihat itu, Nenek Uti langsung mencegahnya dengan menarik tangan Viola yang hampir meninggalkannya.
“Jangan nyeberang, biar mobilnya dibalikkan Pak Raka saja.”
Viola tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, “Gak usah, Nek. Biar Viola nyeberang aja.” Viola langsung membuka pintu mobil dan menyebrang jalan dengan hati-hati. Dari dalam mobil, Nenek Uti melihatnya melalui jendela. Memastikan sang cucu sampai di toko roti dengan selamat, lalu meraih handphonenya saat Viola berhasil menginjakkan kaki di dalam toko roti.
“Halo, Alia. Iya, ini Mami. Kemungkinan sebentar lagi kami tiba di Jakarta.” Nenek menghubungi mama sekedar memberitahukan rencana Viola untuk merayakan ulang tahun Panji.
Sementara itu di toko roti, Viola mulai sibuk memilih kue-kue yang berjajar rapi di dalam lemari kaca. Cukup beraneka ragam bentuk kue ulang tahun yang dia lihat. Warna-warna yang menarik minat, membuat Viola dibuat bingung harus memilih yang mana. Namun akhirnya, kue cokelat bertabur krim di atasnya menjadi pilihannya saat itu. Viola juga tidak lupa memesan lilin dengan bentuk angka dua empat yang akan dia sematkan di atas kue tart nantinya. Pekerja toko kue tersenyum ramah, lalu mulai sibuk membungkus pesanan Viola.
Viola memberikan selembar uang seratus ribu saat bungkusan yang isinya kue berada di tangannya. Mengangguk pelan ketika pekerja toko mengucapkan terima kasih dan selamat jalan padanya. Viola melangkah keluar sembari melihat isi di dalam bungkusan. Sesaat dia berhenti dan melihat ke arah mobil sang nenek di seberang. Dia juga mengarahkan ke kedua sepatu yang dia kenakan. Tali sepatu di kaki kanannya terlepas, dan hal itu membuatnya tersenyum saat mengingat kalimat kesal Panji saat melihat tali sepatu Viola tidak dikat rapi. Viola tertawa kecil lalu mulai melangkah menyeberang.
Namun sesuatu terjadi. Dari arah kanan Viola, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Viola yang baru saja mengetahuinya, langsung menjerit sekuat tenaga. Belum sempat dia menghindar, depan mobil itu langsung menghantam tubuhnya. Tubuh Viola terlempar jauh dan berguling di jalanan. Mendengar suara itu, Pak Raka yang sedari tadi asik melihat ke luar jendela, terpekik kaget dan langsung berteriak menyerukan nama Viola. Spontan saja Nenek Uti menjatuhkan handphonenya dan langsung ikut turun dari mobil.
“Halo, Mi. Mami!!” teriak mama di telepon saat menyadari suara sang mami tak terdengar lagi. Dia menjauhkan telepon genggamnya dan melihat ke layar. Jelas terlihat nama Nenek Uti masih berada di layarnya. Yang bisa dipastikan telepon itu masih tersambung. Mama kembali memanggil sang mami. Degupan jantungnya seketika tidak seirama. Ada rasa takut di dirinya saat mengingat suara Pak Raka menjerit memanggil nama Viola. Dan hal itu membuatnya cukup panik.
Mama memutuskan untuk mengakhiri telepon. Mencoba menanti kabar berikutnya dari Nenek Uti. Mondar-mandir di dalam ruang keluarga sembari menanti suara telepon rumah di dekatnya.
Mama menghela napas saat melihat hampir setengah jam tak ada kabar dari Nenek Uti. Ketakutan semakin menyergapnya erat. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali menghubungi Nenek Uti sekedar menanyakan ada apa sebenarnya. Namun baru saja mama ingin memijit beberapa tombol untuk menghubungi Nenek Uti, terdengar suara telepon rumah berdering. Dengan cepat, mama langsung menerimanya.
“Halo, Mi. Kenapa tadi teleponnya dibiarin gitu aja?!”
Hanya isak tangis yang terdengar. Napas mama semakin tidak seirama, detakan jantungnya pun kian bertambah cepat. Mama kembali bertanya, namun Nenek Uti hanya semakin terisak.
“Mi!!!”
“Alia … Viola.” Kembali isakan tangis yang terdengar. Nenek Uti yang saat itu sudah berada di depan ruang ICU, memutuskan untuk bersandar di dinding sebelah pintu sembari menangis.
“Viola kenapa, Mi?!”
“Viola kecelakaan. Sekarang dia ada di ruang ICU rumah sakit Bunda Sehat.”
Betapa kagetnya mama saat mendengar kabar itu langsung dari mulut Nenek Uti. Tubuhnya melemah hingga gagang telepon terlepas dari genggamannya seiring merosotnya tubuh mama dan jatuh ke lantai. Menangis sembari sesekali menjerit mengatakan bahwa semua itu tak mungkin terjadi.