BAB 31

1042 Kata
            Panji berlari menyusuri koridor rumah sakit. Kabar yang dia dapatkan dari mama mengenai keadaan Viola, membuatnya langsung menuju rumah sakit dan meninggalkan satu mata kuliah yang sebenarnya belum selesai. Ada butiran tetes air mata yang jatuh membasahi pipinya. Suara Viola yang selalu memanggilnya dengan nada manja, terus saja terngiang di telinga.             Panji menghentikan langkah saat kedua matanya menangkap sosok sang mama, papa dan Nenek Uti serta Pak Raka di depan ruang ICU. seorang dokter yang baru saja berbicara dengan keempatnya, membuat tangisan semakin meledak hebat. Hal itu semakin menambah rasa takut di hati Panji. Dengan langkah berat, Panji mendekat dan berhenti tepat di dekat mama yang saat itu dipeluk erat oleh papa.             Nenek Uti langsung menyambut Panji dengan pelukan. Isakan pilu ketiganya, membuat Panji semakin tidak kuasa menahan air mata. Tubuhnya melemah hingga pelukan Nenek Uti yang sedari tadi memeluknya, tidak sanggup lagi dia biarkan. Panji melepaskannya perlahan, lalu mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Ada rasa sakit di hatinya yang jelas membuatnya tidak kuasa menahan segalanya. Viola yang begitu dia jaga sejak dulu, kini terbaring lemah tidak berdaya di dalam dengan keadaan yang memprihatinkan. Dan semua ini terjadi di saat penjagaannya melonggar.             Panji melangkah masuk ke dalam ruang ICU. Berbagai selang masuk ke dalam tubuh Viola. Selang besar masuk ke mulutnya. Dua buah selang masuk melalui dua lubang hidungnya. Selang infus di tangannya serta sebuah alat pendeteksi jantung ke bagian d**a. Perban juga mengelilingi keningnya dengan warna merah yang tidak lain adalah darah membekas di perbannya. Semua itu membuat Panji semakin lemah hingga berpegangan di pinggir tempat tidur. Panji menyorotkan kedua matanya di bagian kaki yang kini terselimuti oleh kain berwarna biru. Dengan tangan bergetar, dia meraba bagian itu, namun tidak dia temui kedua kaki lincah itu di tempatnya. Panji kembali menangis dan mengingat perkataan Nenek Uti yang semula tidak dia percayai, ternyata kini nyata adanya.             “Kedua kaki Viola di amputasi, Ji. Dia gak bisa berjalan lagi untuk selamanya.”             Kalimat itu membuat Panji terduduk lemah di lantai. Dari ujung kaki sampai lutut semuanya direnggut kecelakaan itu. Panji menangis. Namun isakan tangisnya terhenti saat kedua matanya menangkap sepasang sepatu di bawah tempat tidur. Dia meraihnya dan menatap sepasang sepatu berwarna cokelat itu yang kini ada di telapak tangannya. Tali sepatu sebelah kanan terlepas, dan semua itu semakin membuat Panji terisak saat mengingat, sang adik sama sekali tidak bisa mengikat sepatunya sendiri. Panji menjatuhkan sepatu milik Viola itu lalu menekuk kedua lututnya dan mencoba sekuat tenaga menahan isakan tangisnya agar tidak mengganggu Viola. Semua ini sungguh di luar jangkauan pikirannya. Tidak pernah dia harapkan semua ini terjadi. Viola yang manis, kini menjadi Viola yang akan terus menangis hingga hari-hari berikutnya.             “Panji.” Sebuah suara menegakkan kepala Panji yang semula tertunduk. Kekuatannya yang melemah, membuatnya memutuskan untuk duduk di luar ruang ICU. Dia tidak sanggup berlama-lama di dalam. Keadaan Viola sungguh membuatnya sakit.             “Maafin Nenek ya, Ji.” Kalimat itu, begitu memilukan hati. Nenek Uti yang kini masih berdiri di hadapannya, tampak begitu menyesali semuanya. Andai saja dia memaksa Pak Raka untuk berbalik, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.             “Semua ini salah nenek. Andai saja nenek tidak ngasih tahu yang sebenarnya, mungkin Viola nggak akan maksa pulang.”             Panji menatap ke arah Nenek Uti dengan tatapan bingung. Dia putuskan untuk berdiri dan mengernyitkan dahi. Kalimat Nenak benar-benar menghadirkan rasa penasaran di hatinya akan sesuatu yang terasa begitu rahasia untuk dia ketahui.             “Maksud Nenek?”             “Mi!” Suara mama terdengar begitu nyaring. Secara bersamaan, Panji dan Nenek Uti memalingkan wajahnya ke sosok mama dan papa yang baru saaj keluar dari ruang ICU. Wajah mama tampak tidak terima dengan sikap Nenek Uti.             “Mau sampai kapan kamu merahasiakannya, Alia?!” Kedua mata Nenek Uti memancarkan kekesalan luar biasa.             “Tapi, Ma, semua ini belum saatnya!”             “Kapan lagi?!”             Mama terdiam. Kedua matanya mengarah ke papa yang langsung terlihat anggukan tanda setuju dengan Nenek Uti. Panji semakin bingung dibuat ketiganya. Dia kembali memaksa Nenek Uti untuk memberitahukan semua rahasia yang selama ini tidak dia ketahui.             “Panji, sebenarnya … kamu dan Viola bukan saudara kandung.” Kalimat Nenek Uti membuat Panji kaget bukan main. Dia tidak percaya bahwa cewek yang selama ini selalu dianggapnya adik, ternyata tak lain hanyalah orang lain untuknya. Panji langsung mengarahkan tatapannya ke mama dan papa, dan meminta penjelasan. Dengan berat hati, papa menjelaskan segalanya hingga terlihat air mata jatuh di kedua pipi Panji. Sama seperti Viola, dua perasaan hadir di hatinya. Antara kesedihan karena mengetahui dia bukanlah anak kandung dari mama dan papa serta kebahagiaan karena dia bisa menyatu dengan Viola sebagai sepasang kekasih.             “Maafin mama, Ji. Maafin mama yang udah ngelarang kalian untuk bersama. Mama cuma ….”             “Cuma gak mau anak perempuan mama satu-satunya, punya pasangan yang nggak jelas asal usulnya kayak aku, iya kan, Ma?” Panji memotong dengan bibir bergetar menahan tangis.             Mama menundukkan kepala. Menangis, hanya itulah yang dia lakukan sekarang. Panji menjatuhkan pandangannya ke arah berbeda. Mencoba menahan air mata dan emosi yang kian tak tertahankan di dirinya. Menghela napas lalu kembali menatap mama yang masih menundukkan kepala.             Panji menjatuhkan tubuhnya dengan berlutut di hadapan mama. Papa dan Nenek Uti terlihat kaget melihat semua itu. Keduanya langsung mengajak Panji untuk berdiri, namun Panji tetap keukeh untuk berlutut di hadapan mama.             “Terima kasih karena mama dan papa sudah mau mengadopsi Panji,” ucapnya. “Sejak kecil, Panji nggak pernah membantah permintaan mama. Semuanya Panji turutin. Tapi sekarang, boleh kan Panji minta satu hal saja.”             Mama menatap pilu ke Panji yang masih berlutut di hadapannya. Menarik kedua bahu Panji untuk kembali berdiri, lalu mengangguk pelan.             “Izinkan Panji untuk menjaga Viola selamanya, Ma. Bukan sebagai abang, melainkan sebagai pendampingnya kelak. Panji tahu, asal usul Panji memang nggak jelas. Panji juga gak punya apa-apa untuk diberikan ke Viola. Tapi Panji bisa yakini mama dan papa, kalau Panji punya rasa cinta yang tulus untuk Viola. Boleh kan, Ma?”             Isak mama semakin tidak tertahankan. Dia langsung memeluk tubuh Panji dan menumpahkan segala desakan perih di dadanya. Ungkapan Panji, membuatnya sakit saat mengingat keadaan Viola yang tidak lagi sesempurna dulu. Rasa tidak percaya sempat hadir mengusiknya. Dia tidak percaya kalau Panji, bisa menerima keadaan Viola yang selamanya tidak akan bisa menopang tubuhnya lagi dengan kedua kaki. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN