BAB 32

1031 Kata
            Panji memeluk erat tubuh mama. Merasakan kasih sayang mama serta mendengar jawaban mama yang akhirnya menyetujui hubungan keduanya. Ada kelegaan yang masuk ke dalam rongga dadanya. Restu mama adalah segalanya, walaupun dia sendiri bukan anak kandung dari keduanya.             Mawar kaget bukan main saat melihat sosok Aldo hadir di depan rumah. Suara bel yang sejak tadi berbunyi, membuat Mawar yang semula asik menikmati sore hari di rumah, langsung berlari menuju pintu dan mendapati sosok cowok yang begitu dia cintai tepat di hadapannya.             Wajah Aldo tampak menyedihkan. Gelagatnya aneh dan hal itu membuat Mawar yang semula tenang, kini menatapnya takut. Aldo menatapnya dengan tatapan miris. Satu kabar buruk yang dia terima langsung tadi siang dari Panji, membuatnya melesat ke rumah Mawar dan berniat mengajaknya. Dia begitu khawatir dan semua itu terpancar jelas di wajahnya.             “War, Viola kecelakaan!”             Mawar kaget bukan main mendengar kabar itu langsung dari Aldo. Aldo yang masih belum puas mengatakan seluruh yang dia dengar, langsung mengatakan ke Mawar keadaan Viola terakhir yang dia dapatkan. Mawar terkulai lemah dan menangis tiada henti saat mengetahui kedua kaki Viola yang sudah diamputasi. Aldo berlutut di hadapannya dan langsung menarik kepala Mawar untuk dapat dipeluknya. Mawar semakin terisak di d**a Aldo yang memilih terdiam sambil terus memeluk Mawar.             Viola membuka kedua matanya. Mencoba menangkap semua cahaya yang langsung menusuk kedua matanya saat terbuka. Cat putih menaungi ruang tempatnya terbaring. Rasa sakit di kepala seketika menyerangnya, namun rasa sakit itu hanya sesaat dirasakannya ketika kedua matanya kembali menangkap satu hal yang begitu dia rindukan. Panji. Cowok itu berbaring di sofa dengan kedua mata tertutup.             Air mata Viola menetes saat kalimat Nenek Uti melayang ke kepalanya. Satu kalimat yang berhasil membuatnya merasa bahwa cinta, akan segera menepikan diri lebih kuat dari sebelumnya. Senyuman tergaris di bibirnya. Dia berniat menggeser sedikit posisi tubuhnya akibat rasa sakit di pinggang yang mungkin terjadi setelah dia tertidur cukup lama.             Namun sesuatu terjadi. Satu hal yang dia rasakan, membuat kedua matanya terbelalak. Keningnya mengernyit kebingungan saat mendapati salah satu bagian tubuhnya tidak dapat ia rasakan. Dengan secuil keberanian di dalam dirinya, tangan kanannya bergerak ke arah kedua kakinya berada. Mencoba merasakan dari paha hingga mencapai lutut. Ada kelegaan sesaat ketika dia masih bisa merasakan kehadiran kedua kakinya hingga lutut. Namun, saat tangan kanannya mencoba meraih bagian betis, semuanya menghilang. Tak mampu dia rasakan kehadiran alat penopang tubuhnya itu. Viola mulai panik dan mencoba berusaha duduk untuk memastikan ketakutannya.             Viola menyibak selimut yang menutupi bagian kaki. Dan ternyata, apa yang dia takutkan terjadi. Kedua kakinya tidak ada, menghilang entah ke mana. Viola menjerit histeris hingga membuat Panji terbangun lalu menghampirinya. Dia memukul-mukul kedua pahanya tidak terima dengan apa yang dia hadapi. Di saat yang bersamaan, pintu terbuka dan terlihat Mawar serta Aldo hadir melihat semuanya. Mawar yang tidak kuat, langsung memeluk tubuh Aldo. Menangis hingga menarik kedua tangan Aldo untuk mempererat pelukannya.             Panji memeluk tubuh Viola sekuat tenaga. Mencoba menahan Viola untuk tidak kembali menyakiti dirinya sendiri. Viola berusaha memberontak, namun pelukan erat Panji, membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuh Viola melemah hingga masuk ke dalam kegelapan. Ketidaksadaran kembali merenggutnya. Panji langsung berteriak meminta Aldo memanggil dokter. Aldo langsung melepaskan pelukannya dan berlari ke luar ruangan mencari seorang dokter yang bisa menolongnya.             Mama menangis di samping Viola yang kembali sadar setelah lima jam berada dalam ruang ketidaksadaran. Viola meneteskan air mata di pelukan sang mama saat wanita cantik itu memeluknya erat. Viola masih saja tidak bisa terima dengan keadaannya. Kehilangan kedua kaki sama saja dengan kehilangan harapannya untuk mengapai semua cita-citanya. Panji yang saat itu berdiri di pinggi tempat tidur, hanya bisa menundukkan kepala sembari merasakan usapan tangan papa di punggungnya. Nenek Uti terlihat menangis di sofa. Suasana menyedihkan itu, masih saja membendung ruangan bercat putih dengan tv yang saat itu sengaja dinyalakan.             “Vi, udah ya, Sayang,” ucap mama melepaskan pelukannya dan memegang kedua pipi Viola. “Semua ini salah mama, seharusnya dari awal mama nggak ngirim kamu ke Bandung. Andai saja mama langsung mengizinkan hubungan kalian dan tidak terlalu egois, pasti semua ini nggak akan pernah terjadi.”             Viola menundukkan kepala. Dia menangis sesunggukan. Semua ini memang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi pada hidupnya. Tidak pernah dia inginkan kedua kakinya pergi dari tempatnya berada. Semua ini membuatnya sulit untuk bisa menerima kenyataan.             “Vi, kamu tenang aja ya. Abang janji, kamu nggak bakalan kehilangan kaki. Karena kaki abang, akan jadi kaki kamu, Dek.”             Viola mengarahkan tatapannya ke Panji yang kini tersenyum padanya. Mimik wajah Panji yang masih tampak menyimpan kesedihan, membuat Viola meneteskan air matanya lagi dan lagi.             “Mama dan papa juga sudah menyiapkan semuanya.” Papa menambahkan dengan senyuman di bibirnya. Tangannya menyentuh kepala Viola lembut.             “Menyiapkan apa, Pa?” tanya Viola, terbata. Isakan tangisnya masih saja terdengar walau kini mulai mereda akibat kalimat papa dan Panji yang melesat ke telinganya. Mama mengusap kepalanya dengan menghadirkan senyuman di bibir.             “Kamu dan Panji, akan segera menikah, Sayang.”             Viola tersentak kaget. Kalimat mama jujur membuatnya senang, namun semua ini terlalu cepat terjadi. Viola sendiri masih mengira pernikahannya akan terjadi empat sampai lima tahun lagi. Namun kenyataannya, mama dan papa sendirilah yang memintanya untuk segera menikah dengan menyiapkan segalanya.             Viola menundukkan kepala, “Viola nggak setuju.”             Semua kaget mendengar penolakan Viola. Panji langsung mendekat dan berdiri di sisi kanan Viola, “Kenapa, Vi? Bukannya kamu mencintai Abang?”             Viola menatap Panji dengan tatapan menyedihkan, “Viola udah nggak punya kaki, Bang. Viola nggak mau nyusahin Abang seumur hidup. Viola nggak bisa ngapa-ngapain. Gak bisa ngurusin, nyediakan makanan buat Abang, nggak bisa meluk Abang seperti biasa. Viola nggak bisa, Bang!” Viola histeris. Air mata jatuh membasahi pipinya. Semua itu menarik kembali kesedihan yang sempat mencair.             Panji menghela napas lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Viola, “Vi, kalau abang mencintai Viola dengan kesempurnaan, Abang nggak bakalan mau menikahi Viola. Abang pasti tinggalin Viola saat tahu kedua kaki Vio harus diamputasi. Tapi nyatanya, enggak kan?” Panji tersenyum. “Abang malah lega, karena dengan kejadian ini, kita bisa menyatu. Kita bisa tahu segalanya bahwa kita, bisa bersama.”             Viola menundukkan kepala. Air mata kembali menetes menyetuh pipinya. Sakit rasanya mendengar ucapan Panji. Viola merasa, dia tidak pantas bersanding dengan Panji yang terlalu sempurna. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN