BAB 33

1369 Kata
            “Sejak kecil Viola selalu nyusahin Abang. Dan Viola nggak mau lagi nyusahin Abang dengan keadaan Vio yang kayak gini.”             “Sejak kapan adek abang sempurna?” wajah Panji sedikit menggoda Viola. Viola mengarahkan tatapannya heran ke arah Panji yang sesaat melihat ke arah amma dan papa di dekatnya. Nenek Uti yang masih duduk, tersenyum tipis. Viola memanyunkan bibirnya sesaat saat menyadari kalimat itu hanya untuk menggodanya. Namun selang beberapa detik kemudian, dia tertawa. Panji menyenggol hidung Viola dengan jemari tangannya.             “Viola yang abang kenal itu, jelek, gak pinter masak, malas belajarngikat sepatu. Em … apa lagi yah.” Panji berpura-pura berpikir. Viola memukul lengannya pelan hingga membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tertawa. “Mau kan, menikah sama abang?” Panji kembali menjuruskan tatapan serius ke Viola yang mulai tenang.             Viola terdiam. Keningnya mengerut. Sesaat dia mengarahkan tatapannya ke mama, papa dan Nenek Uti yang langsung menganggukkan kepala tanda setuju. Lalu Viola kembali memusatkan pandangannya ke Panji yang masih melihatnya.             “Tapi, Bang ….”             “Vi, kamu memang kehilangan kedua kaki. Tapi di waktu yang sama, kamu malah mendapatkan kelebihan kan?” Viola mengernyitkan dahi. Panji tertawa. “Kamu mendapatkan restu dari mama papa, kamu mendapatkan kedua kaki baru.” Panji memukul pelan kedua kakinya. “Dan kamu mendapatkan ….” Panji memutar bola matanya sesaat sambil tersenyum. “Pangeran yang kamu inginkan sejak kecil.”             Viola tertawa mendengarnya lalu memukul Panji pelan. Mama, papa dan Nenek Uti pun ikut tertawa. Viola merentangkan tangannya ke Panji seakan meminta ingin dipeluk seperti saat kecil dulu. Panji yang mengerti tingkah Viola yang satu itu, langsung memeluknya erat sambil membisikan kata cinta di telinganya. Viola tersenyum lalu membalas ucapan itu dengan pipi merona.             Viola menatap dirinya di depan cermin. Gaun serba putih yang menghiasi tubuhnya, rambut yang juga telah dibuat secantik mungkin oleh bidan pengantin, serta make up yang tidak terlalu tebal, membuatnya semakin cantik saat itu. Rambut ikalnya juga sengaja tidak diubah atas permintaan Panji. Karena sejak dulu, helaian rambut ikal itulah yang sangat dia suka. Sengaja dibiarkan tergerai dengan menambahkan mahkota cantik di atas kepalanya.             Pintu kamar terbuka, terlihat Mawar dan Aldo masuk ke dalam. Viola menyambutnya dengan setengah berteriak memanggil nama Mawar. Pelukan hangat pun langsung disematkan oleh Mawar ke sahabat tersayangnya itu. Ada keharuan yang hadir seketika, namun secepat mungkin keduanya menepis rasa haru itu dengan melepaskan pelukan.             “Loe cantik banget, Vi,” puji Mawar sambil menyubit pelan pipi kanan Viola.             “Loe juga.”             Mawar tersenyum mendengar pujian itu. gaun merah jambu yang dia pakai, memang menampakkan keanggunan yang selama ini tersembunyi jauh di dasar dirinya. Viola mengalihkan tatapannya ke Aldo yang melihatnya dengan sneyuman di bibir,             “Al, masih marah sama gue?”             “Gak kok, lagian gue udah dapat penggantinya.” Kalimat Aldo membuat Viola mengernyitkan dahi. Namun saat kedua mata Aldo mengarah pada Mawar yang kini tersipu malu. Viola langsung menjerit histeris dan memberikan selamat.             “Kapan?”             “Seminggu lalu, pas ulang tahun Mawar.” Aldo menjawab dengan malu-malu.             “Ya Allah, selamat ya. Gue ikut senang!!!”             Viola kembali merentangkan tangannya meminta pelukan pada Mawar. Mawar langsung memeluk sahabatnya itu yang masih duduk di kursi roda. Namun pelukan itu tidak terlalu lama, saat suara mama memanggilnya tiba-tiba. Viola melepaskan pelukan dan menyambut mama yang mendekat dengan senyuman.             “Udah siap Nyonya Panji Ramadhan?” tanya mama yang langsung membuat Viola tersipu malu. Pengucapan Ijab Qabul memang telah terlaksana satu hari sebelum acara hari ini diadakan. Dan untuk agenda hari ini, hanya acara resepsi kecil-kecilan sekedar mengundang orang-orang terdekat yang mereka kenal baik.             Viola mengangguk dan hal itu membuat mama langsung mendorong kursi roda Viola untuk keluar dari kamar. Terlihat Panji menantinya di depan pintu. Panji tersenyum lalu melangkah ke belakang kursi roda. Mengganti tugas mama yang semula mendorong kursi roda dan langsung membungkukkan tubuh membisikkan sesuatu di telinga Viola.             “Kamu cantik hari ini, Tuan Putri. Dan ini bukan gombal gara-gara kamu sudah menjadi istriku,” ucap Panji yang berhasil mengingatkan Viola pada kejadian double date dulu bersama Nikita dan Aldo. Ketika Panji dan dirinya sama-sama mengirimkan pesan saling puji secara diam-diam.  Dan semua itu tanpa ada yang tahu.             Viola tersenyum lebar mendengarnya. Panji benar, di balik kehilangan ternyata kebahagiaan menantinya tanpa batas. Terasa olehnya roda mulai berputar menuju tempat acara diadakan. Semua mata tertuju pada kedua sejoli yang kini disatukan oleh cinta. Viola sendiri sampai menangis dibuat kejadian hari ini. Pelaminan dengan nuansa biru putih kesukaannya, terpampang begitu menawan di depan mata. Namun sesaat kemudian, senyuman di bibir Viola menghilang saat kursi roda berhenti tepat di empat anak tangga yang akan membawanya ke atas pelaminan. Viola menundukkan kepala saat menyadari kalau dia tidak bisa melangkah ke atas pelaminan. Semua tamu menatap miris dengan kejadian itu. Begitu juga dengan mama, papa, Nenek Uti, Mawar serta Aldo yang menatapnya sedih. Panji tersenyum lalu secara tiba-tiba, mengangkat tubuh Viola dengan kedua tangannya. Viola terpekik kaget, gaun panjangnya menutupi seluruh tubuhnya hingga semua tamu tidak mampu melihat kedua kakinya yang sudah tidak ada. Viola mengarahkan tatapannya ke Panji yang mulai melangkah sembari menatapnya teduh.             “Dulu, kita pernah ngelakuin hal ini kan? Namun saat itu, aku menggendong kamu di belakang tubuhku. Tidak romantis.” Panji tertawa kecil disusul senyuman di bibir Viola. Panji mencoba mengingatkan satu kejadian di masa kecil. Saat dia menggendong Viola menuju pelaminan buatannya.  Dia meletakkan tubuh Viola ke tempat duduk di pelaminan dan langsung mendaratkan kecupan hangat di puncak kepala Viola. Semua tamu bertepuk tangan sedangkan Viola, mencoba mengingat segalanya saat kecil.             “Vio maunya digendong!” ucap viola yang saat itu berusia delapan tahun. Gaun putih yang dia pakai, membuatnya tampak seperti pengantin kecil di samping Panji yang saat itu hanya menggunakan jas hitam milik papa yang cukup kepanjangan.             “Ya ampun, Tuan Putri, masa cuma mau naik ke panggung pengantin aja harus digendong,” ucap Panji yang saat itu masih mengucapkan pelaminan dengan panggung pengantin. Dua buah kursi berada di teras belakang. Tiga buah anak tangga mencoba menyatukan lantai teras yang sedikit tinggi dengan halaman belakang. Viola memanyunkan bibirnya sendiri.              “Gak mau, Tuan Putri mau digendong!” Viola melipat tangannya di d**a.             Panji menghela napas dan mengalah. Dia langsung membungkukkan tubuhnya tepat di depan Viola. Senyuma hadir di bibir Viola yang langsung melompat ke belakang tubuh Panji. Panji membawanya menuju salah satu kursi.             ““Apa saat besar nanti Viola juga bakalan digendong saat nikah?”             Panji tersenyum, “Iya, Abang sendiri yang bakalan gendong Vio ke panggung pengantin. Abang janji.”             “Walaupun Viola nggak nikah sama Abang?”             “Iya. Abang bakalan tetap gendong Viola ke panggung pengantin.” Panji tersenyum sedangkan Viola langsung berusaha turun dan duduk di kursi teras yang dijadikan keduanya sebagai tempat duduk pengantin.             Kenangan itu benar-benar berhasil membuat Viola tersenyum lebar. Air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya. Panji yang melihat hal itu, langsung menghapusnya dengan jemari tangannya. Tersenyum sambil terus menatp Viola yang juga melihat ke arahnya.             “Akhirnya, Abang nepatin janji sama Viola buat gendong Vio saat menikah. Dan ternyata, Abang yang jadi pengantinnya.”             Panji merangkul Viola lalu mendaratkan kecupan di puncak kepalanya. Cukup lama hingga membuat Viola merasakan ketulusan cinta yang tersalur dari Panji untuknya.             “Abang janji bakalan selalu jagain Vio. Viola jangan takut ya, seumur hidup Abang, Abang akan ngelindungi Viola sampai Abang nggak mampu lagi menjaga Tuan Putrinya pangeran ini.”             Viola kembali menjatuhkan air mata dan langsung menyandarkan kepalanya di d**a Panji. Kedua matanya menatap ke seluruh tamu yang kini mulai menikmati acara. Menikmati semua hidangan dengan ditemani alunan musik kalsik dari salah satu pemain musik yang berada di sudut ruangan tepat di samping pelaminan.             Semua ini sulit dipercaya. Akhirnya cinta yang Viola rasakan, bisa menyatu dengan seseorang yang di awal cerita, dia yakini tidak mungkin menjadi pasangan yang duduk bersamanya di pelaminan. Tapi kini semuanya berbeda. Pangeran itu, jelas adalah Pangeran Panji yang dulu sering berjanji untuk menjadi pangerannya kelak saat besar nanti. Viola tersenyum sambil terus merasakan hangatnya rangkulan Panji diiringi belaian lembut Panji di kepalanya.             Bang Panji benar. Di balik kehilangan yang menyedihkan, terselip kesempurnaan kebahagiaan yang nggak diduga-duga dalam satu waktu. Dan semua ini rasanya lebih dari cukup untukku. Aku mencintamu, Pangeranku. Selamanya. Viola melirik ke Panji yang kini tersenyum menatapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN