Viola membuka kedua matanya. Tersenyum lebar saat menyadari bahwa ini sudah tiga bulan setelah pernikahannya. Dan semuanya masih baik-baik saja, Panji masih bersamanya dan tidak pernah berubah, di rumah tempatnya dilahirkan dan tumbuh. Alia dan sang suami sama sekali tidak mengizinkan keduanya tinggal di rumah terpisah. Dengan alasan Alia tidak bisa berjauhan dengan Violalah yang membuat wanita itu melarang keras keduanya pindah apsca menikah. Walau pun Viola sendiri menyadari, bahwa alasan Alia melarangnya untuk pindah bukan hanya karena ketidakmampuannya jauh dari Viola, melainkan karena dia menganggap Viola tidak akan bisa sendirian melakukan segalanya.
Viola tidak menolak keinginan Alia untuk tetap bersamanya pasca menikah. Viola sendiri juga sadar diri kalau dirinya masih belum terbiasa mengurus kebutuhan keluarga kecilnya bersama Panji. Jangankan untuk mengurus Panji, bahkan Viola sendiri masih belum bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri. Dan hal itu sering membuat Viola merasa malu dengan dirinya sendiri. Viola sering beranggapan, bahwa dia bukanlah istri yang baik dan sempurna untuk Panji. Walau Panji selalu saja meyakinkannya, bahwa di matanya, Viola tetaplah yang paling sempurna untuknya.
Pintu terbuka pelan, dan seperti biasa Panjilah yang datang membawakannya sarapan. Aneh memang, seharusnya Violalah sebagai istri yang melakukan hal itu untuk melayani Panji. Apa lagi Panji harus segera berangkat bekerja ke perusahaan tempat sang papa bekerja yang kini dialihkan padanya. Cukup banyak hal yang harus dikerjaan Panji seorang diri. Bekerja, menyiapkan semua barang yang dia butuhkan sendirian, bahkan tak jarang keperluan Viola pun dia yang melakukannya.
Viola duduk di atas tempat tidur, tersenyum menyapa Panji yang sudah duduk di hadapannya dengan nampan di antara keduanya yang berisikan sepiring nasi goreng dengan segelas s**u cokelat di sampingnya. Panji mengusap pipi sang istri penuh kasih sayang. Sikapnya, selalu mampu membuat Viola merasa damai setiap kali pagi menyambutnya. Dan hal itulah yang sangat disukai Viola jika berbicara tentang pagi hari bersama Panji.
“Sudah bangun, kirain belum. Baru mau dibangunkan,” ucap Panji yang hanya dibalas Viola dengan senyuman sembari menundukkan kepala. “Kamu sarapan dulu ya, biar aku suapin pagi ini.”
Viola menggelengkan kepala sembari menahan tangan Panji yang ebrniat meraih sendok di atas piring. Panji menatapnya bingung, sedangkan Viola hanya tersenyum tipis padanya.
“Hampir setiap pagi abang selalu menyuapin Viola, dan kali ini biarkan Viola makan sendiri ya,” pinta Viola yang awalnya dijawab Panji dengan gelengan kepala. Ekspresinya tampak tidak setuju dengan keinginan Viola pagi ini. Viola kembali memperlebar senyuman, berusaha meyakinkan Panji bahwa dia bisa melakukannya sendirian.
“Abang bisa ngebantu Viola, kan? Viola gak perlu ngerjain semuanya sendirian,” ucap Panji yang berhasil membuat Viola tertawa kecil mendengarnya.
Suaminya ini, selalu saja mengkhawatirkannya atas hal-hal yang sebenarnya tidak perlu di khawatirkan. Viola benar-benar kagum padanya yang selalu memikirkan semua hal tentang Viola, bahkan hal-hal terkecil sekali pun.
“Sayang, yang sakit dan gak bisa ngapa-ngapain kan kaki aku, bukan tangan aku, kan?” tanya Viola mencoba menyadarkan Panji akan ketidaksempurnaan yang dia miliki. “Jadi, aku masih bisa ngelakuin apa pun dengan kedua tanganku. Aku pun sebenarnya juga bisa ngerjain semuanya dengan kursi roda, tapi selama tiga bulan ini, abang selalu saja memanjakan Viola dengan semuanya. Viola malah jadi ngerasa, abang gak percaya sama Viola buat ngerjain semuanya.” Viola menggenggam tangan kanan Panji sembari tersenyum tulus. “Izinkan Viola untuk melayani kamu semampu Viola bisa, Bang. Udah tiga bulan ini abang selalu melakukan pekerjaan yang seharusnya Viola kerjakan. Viola gak mau terus menerus seperti ini sampai kapan pun.”
Panji tersenyum mendengarnya. Kalimat Viola berhasil membuatnya merasa bahwa sang istri, kini sudah mulai menerima kenyataan tentang kondisinya yang tidak bisa sepenuhnya melakukan apa pun seperti yang lain. Sebelumnya, Viola sering mengeluh bahkan bersedih dengan kondisinya. Panji sering mendapatinya bersedih sendirian di malam hari sembari memukul-mukul kedua kakinya. Namun kini, Panji melihat sendiri bahwa Viola sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Dan hal itu membuat Panji lega bukan main.
“Kamu sudah kembali ke Viola yang abang kenal, Vi,” ucap Panji dengan membelai rambut Viola. “Maafkan sikap abang yang jadi ngebuat kamu ngerasa abang gak percaya sama kamu. Bukan maksud abang seperti itu, bukan maksud abang ngeraguin kamu untuk ngerjain semuanya, Vi. Abang cuma gak mau kamu susah ngerjain semuanya.” Panji menghela napas pelan, lantas kembali tersenyum. “Abang ikhlas ngelakuin semuanya, ngerawat kamu, ngejagain kamu, ngelindungi kamu, bahkan nyiapkan semua keperluan kamu. abang senang melakukan semua itu, abang gak merasa terbebani.”
“Viola tau itu, Bang, tapi Viola jadi makin merasa gak enak sama abang,” ucap Viola mencoba mengeluarkan semua unek-unek di hatinya. “Viola ini istri abang, sudah sepantasnya dan selayaknya Viola yang ngurusin abang. Bukan abang. Viola diam-diam belajar untuk terbiasa menggunakan kursi roda, agar abang bisa bangga sama Viola dengan ngelihat Viola bisa ngerjain semuanya. Tapi abang malah gak pernah ngasih izin Viola untuk ngelakuin semua tugas sebagai istri.”
Panji menundukkan kepala. Apa yang dikatakan Viola memang ada benarnya. Dia memang tidak pernah mengizinkan Viola untuk melakukan apa pun itu. Dia selalu melakukan semuanya sebelum Viola melakukannya. Selama ini, Panji berpikir semua baik-baik saja. Viola akan senang melihatnya mengerjakan semuanya. Tapi ternyata, Viola merasakan hal yang berbeda selama ini. Dia malah merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya.
“Izinkan Viola ngebantu abang untuk ngerjain tugas yang seharusnya Viola kerjakan ya?” pinta Viola lagi yang berhasil menari kembali tatapan Panji terarah padanya. Viola menganggukkan kepala pelan, mencoba meyakinkan Panji bahwa dia bisa melakukan apa pun. Walau awalnya akan terasa sulit, namun Viola yakin dia bisa melakukannya.
Panji mengangguk pelan yang jelas saja membuat Viola lega bukan main, “Kamu boleh ngelakuin apa pun, Dek, tapi ingat… kalau ada yang buat kamu kesulitan, segera kasih tau abang. Kapan pun itu, abang pasti bakalan datang buat ngebantuin kamu. Ingat itu ya?”
Viola mengangguk pelan, mengalihkan tatapannya ke piring nasi goreng di hadapannya, lantas meraih sendoknya. Di hadapan Panji, Viola langsung memasukkan suapan pertamanya ke dalam mulutnya sendiri. Tersenyum lebar ke Panji yang langsung dibalas Panji dengan senyuman lebar, sembari membersihkan sisa nasi goreng yang menempel di dekat bibir Viola.
“Abang udah sarapan?” tanya Viola setelah nasi goreng di dalam mulutnya ludes.
Panji mengangguk pelan, “Udah, tadi bareng mama dan papa,” jawab Panji. “Mama hari ini mau pergi arisan. Kamu gak pa-pa berdua doang di rumah sama bibik?”
“Gak apa-apa, percaya aja sama Viola ya?” pinta Viola yang langsung dijawab Panji dengan anggukan pelan. “Lagian hari ini abang ada meeting sama clien, kan? Papa katanya bakalan ikut. Jadi fokus aja ke meetingnya. Entar siap meeting, langsung kabarin Vio ya? Eh iya, kamu pulang makan siang juga kan?”
“Kayaknya iya, kenapa? Ada mau titip sesuatu?” tanya Panji yang semula dijawab Viola dengan gelengan kepala. “Jadi?”
“Viola mau nyiapin makan siang buat abang, abang mau dibuatin apa?” tanya Viola yang langsung membuat Panji tertawa mendengarnya.
“Apa pun yang kamu buat, bakalan abang makan sampai habis,” jawab Panji santai.
“Termasuk makanan gosong?” ledek Viola lagi.
“Ya… bisa jadi bisa jadi,” balas Panji yang lantas membuat keduanya saling melempar tawa satu sama lain.