BAB 35

1699 Kata
            Viola kelimpungan, itu pasti. Dia taampak kerepotan di kursi roda sembari memasak ayam goreng untuk makan siang. Mbok Simi yang sejak tadi berdiri di belakangnya, berulang kali menawarkan bantuan, namun Viola tetap saja menolaknya dan malah mengerjakannya sendiri. Kecuali saat mencuci ayam di atas wastafel yang sedikit lebih tinggi dari tempatnya duduk saat ini.             Viola kembali mengangkat ayam yang hampir gosong ke atas saringan minyak. Dia meraihnya, dan menghela napas kecewa. Ini sudah potongan kelima ayam yang diam asak, namun semua tetap sama, Viola tetap saja mendapatkan hasil yang tidak memuaskannya. Viola menyerah, mematikan kompor gas lantas memundurkan kursi rodanya. Menatap Simi dengan tatapan sedih, sembari memangku sepiring ayam goreng gosong di atas pangkuannya.             “Ada apa, Non?” tanya Simi sembari berlutut di hadapan Viola. “Ada yang bisa bibik bantu?” tanya Simi lagi yang hanya dijawab Viola dengan helaan napas panjang.             Simi mengerti maksud dari Viola. Dia memang tidak pernah melakukan satu pekerjaan rumah pun tanpa bantuan orang lain bersamanya di dapur. Walau pun Viola tidak duduk di atas kursi roda, Simi juga sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Bahkan dulu saat Viola berusaha belajar masak pun, dia malah hampir menumpahkan minyak panas hanya karena tersenggol tangannya sendiri. Kepanikan membuatnya benar-benar bingung mengerjakan semuanya.             Dan kali ini pun sama. Viola masih terlihat panik sejak tadi, ditambah dengan ketidakmampuannya untuk berdiri yang semakin membuatnya kesulitan. Simi benar-benar merasa tidak tega melihatnya. Viola yang dulu ceria, kini malah lebih sering murung sendirian. Rasanya, Simi merindukan sosok anak majikannya yang dulu yang selalu saja mengajaknya cerita banyak hal dan menghiburnya dengan semua tingkah dan humornya yang receh.             “Biar bibik aja yang ngerjain ya, Non. Non bibik antar ke kamar aja ya?” usul Simi yang kembali dijawab Viola dengan gerakan kepalanya sendiri. Dan kali ini, Viola menggelengkan kepala yang jelas saja membuat Simi bingung bukan main. Kerutan terlihat jelas di keningnya, yang selalu saja muncul setiap kali rasa bingung hadir memeluknya.             “Ajarin Viola masak ya, Bik,” pinta Viola yang kembali membuat Simi tersenyum mendengarnya. Simi menganggukkan kepala, meraih piring ayam goreng gosong di pangkuan Viola, lantas meletakkannya ke atas meja batu dapur di samping tempat penyimpanan bawang dan cabai. ***             Panji masuk ke dalam ruangannya diikuti Bara, sahabatnya yang turut membantunya di perusahaan tempatnya kini bekerja. Panji duduk di kursinya, meletakkan beberapa berkas yang dia bawa dari ruang rapat, lantas membiarkan Bara duduk di hadapannya sebelum dia memintanya. Panji meraih handphonenya dari dalam saku jas hitam yang dia kenakan, memeriksa apakah ada pesan masuk dari Viola yang ternyata sama sekali tidak ada.             Bara menatap bingkai foto pernikahan sahabatnya itu. Terlihat Viola duduk di kursi roda dengan Panji berdiri di belakangnya. Keduanya tampak bahagia dengan senyuman sumeringah. Namun bukan itu yang kini menjadi arah tunjukan kedua mata Bara tetruju, namun kondisi Viola yang duduk di kursi roda. Masih teringat jelas diingatannya, saat Panji menggendong Viola ke atas pelaminan di saksikan semua orang yang hadir ke acara pernikahannya saat itu. Semua orang tersenyum haru, termasuk dirinya yang tidak akan pernah menyangka, bahwa dia harus melihat sahabatnya menikah dengan cara seperti itu.             “Apa sekarang Viola sudah bisa nerima kondisinya, Ji?” tanya Bara yang langsung menarik tatapan Panji sesaat ke arahnya, mengangguk pelan sembari tersenyum lebar.             Panji meletakkan handphonenya ke atas meja, meraih minumannya, dan meneguknya hingga air di dalam gelasnya habis, lantas meletakkannya kembali ke atas meja sembari menutupnya dengan tutup gelas yang tersedia.             “Bahkan hari ini dia ingin memasak untukku,” jawab Panji sembari tertawa kecil. “Padahal loe sendiri tahu kan, Viola gak bisa masak. Dia mana bisa ngelakuiin hal itu dari dulu, tapi demi aku dia mau melakukannya.”             “Dengan cara duduk di kursi roda?” tanya Bara yang langsung membuat Panji menatapnya tak senang. Kalimat Bara seolah-olah menghina kondisi Viola yang tidak sempurna dengan kedua kaki tidak ada lagi di tubuhnya. Bara yang menyadari tatapan salah paham yang tertuju padanya dari Panji, langsung berusaha membenarkan kalimatnya dengan sikap gelagapan.             “Bu-bukan maksud aku ngehina Viola, Ji, jangan salah paham dulu!” ucap Bara yang belum juga melemahkan tatapan tajam Panji yang masih terarah padanya. “Maksud aku gini, bukannya akan susah buat viola memasak, apa loe gak khawatir kalau sampai minyak panas tumpah ke badannya karena harus masak sambil duduk di kursi roda? Kursi rodanya gak setinggi meja dapur loe kan? Loe pernah bilang ke gue dulu,” ucap Bara lagi yang kini berhasil mengubah ekspresi Panji.             Panji yang semula tampak kesal dan tidak terima dengan ucapan Bara, malah langsung menatap ke arah lain dengan kekhawatiran di wajahnya. Dengan cepat, Panji mencoba menghubungi nomor Viola, namun sialnya Viola malah tidak menjawab teleponnya. Panji mencoba menghubungi rumah, dan akhirnya dijawab dan terdengar suara Simi di seberang.             “Bik! Viola mana?” tanya Panji yang jelas ketakutan dengan bayangan kejadian yang sempat diucapkan Bara di hadapannya. “Apa dia jadi masak? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Panji lagi.             Bara yang melihat sahabatnya panik, berusaha menenangkannya dengan menepuk punggung tangan kiri Panji yang berada di atas meja. Memintanya tenang saat kedua mata Panji terarah kembali kepadanya walau hanya sesaat.             “Non Viola baik-baik saja, Mas, itu masih masak di dapur,” jawab Simi yang masih saja membuat Panji cemas memikirkannya. Apa lagi saat mendengar Viola masak di dapur. Bayangan menakutkan itu kembali hadir di pikirannya yang membuatnya menegakkan tubuhnya di kursinya.             “Bik, jangan kasih Viola masak sendirian, kalau sampai minyak panas tumpah atau ada barang-barang yang jatuh gimana. Tolong temanin dia dan janga biarkan dia sendirian!” ucap Panji dengan napas memburu hebat karena takut.             “Tenang saja, Mas, bibik sejak tadi ngebantuin Non Viola,” jawab Simi lagi. “Tadi sebelum saya ngebantu, Non Viola memang sempat masak sendirian, tapi selalu gagal dan akhirnya Non Viola minta saya membantunya sekarang.”             “Gagal? Apa yang gagal, Bik?” tanya Panji yang tampak sedikit lega mendengar cerita dari Simi.             “Ayam yang digoreng Non Viola gosong, Mas, makanya si non kecewa terus akhirnya minta bibik buat ngebantu,” jawab Simi lagi.             Panji menghela napas lega mendengarnya, “Apa masakannya yang gagal itu masih ada, Bik?”             “Masih, Mas, kenapa?” tanya Simi heran mendengar pertanyaan Panji barusan.             “Jangan dibuang ya, Bik, nanti saya akan makan. Ingat, simpan saja di tempat yang tidak diketahui Viola. Paham, Bik?” tanya Panji.             “Baik, Mas,” jawab Simi lantas Panji mengakhiri pembicaraannya dan meletakkan kemballi handphone ke atas meja.             Bara menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Dia sendiri pun sebenarnya lega bukan main melihat Panji yang kini sudah tidak curiga lagi padanya. Ditambah lagi kini Panji tampak lebih tenang dari sebelumnya.             “Maaf, Bro, aku gak bermaksud kayak gitu tadi,” ucap Bara yang langsung dijawab Panji dengan anggukan kepala. Namun sama sekali tidak menjawab apa pun atau sekedar membalas ucapan Bara. Dia malah menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menutup kedua matanya lelah.             “Boleh aku kasih saran untuk Viola, Bro?” tanya Bara lagi yang kembali berhasil membuka kedua mata Panji dan terarah padanya.             “Saran tentang apa?” tanya Panji singkat.             “Kedua kaki Viola,” jawab Bara. “Loe pasti ingin lihat Viola kembali berjalan, kan?” tanya Bara yang hanya dijawab Panji dengan anggukan kepala. “Kita akan buat dia kembali berjalan, Bro.”             Panji menegakkan kembali tubuhnya mendengar kalimat Bara tentang kedua kaki Viola yang bisa kembali berjalan. Dia memang benar ingin melihat Viola kembali berjalan dengan kedua kakinya seperti sebelumnya. Namun dia tidak pernah terpikir bahwa Viola akan melakukannya. Kedua kakinya bukan lumpuh dan masih berada di tempatnya. Tapi sudah tidak ada. Viola sudah diamputasi setelah kecelakaan itu terjadi hingga hampir mencari kedua lututnya. Dan rasanya mustahil jika suatu hari nanti, Panji bisa melihatnya berdiri tanpa bantuan tongkat sebagai alat bantunya.             “Caranya?” tanya Panji lagi yang membuat Bara tersenyum tipis.             “Istriku kenal sama seorang dokter yang bisa menangani kasus Viola,” jawab Bara dengan senyuman keyakinan di wajahnya. “Dan aku yakin, Viola bisa kembali mempunyai kedua kaki untuk berjalan,” tambah Bara lagi.             “Maksudnya, kedua kaki palsu untuk Viola?” tanya Panji.             Bara mengangguk cepat, “Dia akan bisa berjalan lagi. Kita bisa meminta kedua kaki palsu yang sangat mirip dengan kedua kaki asli. Bahkan siapa pun tidak akan bisa menyadari, apa yang terjadi pada Viola saat semua orang melihat kedua kakinya. Semua orang tidak akan pernah tau, kalau kedua kaki yang digunakan Viola, adalah kedua kaki palsu.” Bara memperlebar senyumannya setelah selesai mengatakan apa yang ingin dia katakan sudah sejak lama. Pembicarannya dengan sang istri tentang kedua kaki Viola, sudah hampir beberapa bulan lalu setelah pernikahan Panji dan Viola berlangsung. Namun Bara tidak berani mengatakannya karena melihat, kondisi Viola yang belum stabil.             “Apa bisa?” tanya Panji yang masih ragu dengan rencana besar itu.             Bara mengangguk, “gak ada yang gak mungkin sekarang, Bro. bahkan loe tau, salah satu sahabat istri gue juga di kondisi yang sama, hanya saja bedanya dia hanya tidak memiliki satu kaki. Tapi sekarnag, dia punya kaki palsu yang bahkan gue sendiri gak menyadari, kalau kaki yang dia pakai buat berjalan selama ini, adalah kaki palsu. Gue baru tau bertemu orangnya sebulan lalu, dan gue cukup kaget. Selama ini gue pikir istri gue bohong tentang kondisi sahabatnya, Cuma mau buat gue gak kepikiran tentang nasib pernikahan loe. Ternyata gue salah, dia datang ke rumah dan nunjukin ke gue langsung kakinya. Dan gue, teringat ke Viola.”             Panji terdiam. Ucapan Bara seakan menjadi harapan baru untuk Viola ke depannya. Dia yakin, Viola akan setuju dengan semua rencana yang dia rencanakan bersama Bara nantinya.             “Pikirkan saja dulu, jangan gegabah. Bicarakan baik-baik dengan Viola dan kedua orang tua kalian. Gue yakin, ini jalan ke luar dari semua permasalahan Viola perihal kedua kakinya.” Bara tersenyum lebar. “Gue hanya ingin loe dan Viola bahagia. Gue tau perasaan Viola seperti apa saat ini, apa lagi dia gak bisa melakukan apa pun untuk melaksanakan kewajibannya. Dia pasti menganggap dirinya gak berharga sebagai istri, Bro. pikirkan saja dulu, kalau semua sudah siap dan Viola setuju, gue akan bawa loe ketemu sama dokter yang gue maksud itu.”             Panji mengangguk pelan sembari tersenyum tipis, “Thank you, Bro.”             “Sama-sama,” balas Bara membalas senyuman Panji yang terarah padanya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN