BAB 36

1220 Kata
            “Kaki palsu?” tanya Alia yang langsung dijawab Panji dengan anggukan kepala. Obrolan keluarga yang dilakukan tanpa Viola itu, memang sengaja dilakukan Panji di dalam kamar Alia. Sedangkan Viola sendiri sedang tidur saat Panji tinggalkan sebelum ke kamar Alia. Jarum jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam memang menjadi waktu terbaik bagi Panji untuk menceritakan segalanya. Ditambah lagi saat itu dia mendengar kedua orang tuanya yang kini bertindak sebagai mertuanya memang masih mengobrol di dalam kamar.             Panji bukan tidak ingin memberitahu Viola terlebih dulu tentang ide brilliant Bara untuk masa depan  Viola. Hanya saja, Panji ingin berdiskusi terlebih dulu dengan kedua orang tua yang jelas-jelas orang tua kandung Viola. Ada rasa cemas di hatinya jika memang rencananya tersebut gagal total. Atau apa lagi sampai Viola tidak menyetujuinya dan malah tersinggung denga ide tersebut.             Sesaat Herman mengalihkan tatapannya ke sang istri yang tampak antusias dengan ide itu. Dia tahu, sang istri sangat mengharapkan Viola bisa kembali berjalan seperti dulu. Terlalu seirng Herman melihat sang istri menangis di malam hari sebelum tidur, menceritakan tentang cerita sedih Viola yang dia bagikan selalu sebelum tidur berdua dengannya. Apa lagi saat Herman mendengar semua cerita Alia tentang keseharian keduanya di rumah. Herman memang tidak melihat langsung perjjuangan sang anak untuk bangkit dari keterpurukannya saat ini. Namun dia yakin, jauh di dalam lubuk hati Viola yang terdalam pun, Viola sangat menginginkan kedua kakinya kembali. Walau untuk asli, itu tidak akan mungkin lagi terjadi.             “Gimana, Pa, Ma?” tanya Panji lagi yang tampak ragu dengan perbedaan ekspresi yang dia terima saat itu. Ada dukungan penuh dari Alia melalui senyumannya, sedangkan dari Herman sendiri, tampak jelas keraguan itu di wajahnya.             “Mama setuju!” seru Alia yang langsung mendapati senyuman lebar dari Panji, walau hanya sesaat. Kedua mata Panji yang tertuju ekmbali ke Herman, membuat senyuman itu kembali memudar. Alia yang menyadari tatapan sedih Panji, langsung mengikuti arah kedua matanya tertuju yang tidak lain ke Herman, yang kini terlihat menundukkan kepala.             “Papa gimana?” tanya Panji lagi yang membuat Herman sedikit tersentak karena namanya di panggil. Herman berusaha tersenyum walau terllihat terpaksa di kedua mata orang yang kini ada di dekatnya.             “Mas gak mau lihat Viola kembali berjalan seperti dulu?” tanya Alia sedikit ada nada kesal di suaranya. Dia tidak menyangka sang suami bisa berpikir untuk menolak permintaan Panji saat itu. Padahal Alia sangat yakin, keceriaan Viola akan kembali setelah dia bisa berjalan leluasa seperti dulu.             “Bukan mas gak ingin Viola kembali bisa berjalan seperti dulu, Al, tapi mas ragu kalau Viola mau menerimanya,” jawab Herman. “Mungkin dia akan senang mendengarnya, bahkan mungkin saja dia akan mau melakukannya. Tapi apa dia siap melewati prosesnya? Apa dia tidak semakin sedih?” tanya Herman lagi yang langsung membuat Panj menundukkan kepala.             Panji membenarkan ucapan Herman kala itu. Dia sendiri pun sebelumnya merasa ragu jika Viola mau menerima permintaannya itu untuk bisa membuat kaki palsu untuknya. Viola mudah tersinggung, terkadang mudah menyerah dengan suatu keadaan yang tidak pernah dia lalui sebelumnya dan hal itulah yang membuat Panji meragukan rencana itu.             “Aku yakin, Viola pasti mau dan siap nerima semua kenyatan. Dia hanya ingin kembali berjalan, mas tau itu kan?” tanya Alia lagi yang tetap ngotot dengan keyakinannya sendiri. “Kapan kamu mau bicara sama Viola? Biar mama bantu kamu bicara sama Vio.”             “Sebaiknya kalau tentang itu, biar Panji aja yang bicara berdua sama Viola, Ma. Jangan sampai dia tau kalau mama dan papa sudah lebih tau duluan sebelum Viola.” Panji mencoba meyakinkan Alia untuk memperbolehkannya bicara empat mata berdua dengan Viola tentang rencananya itu.             “Tapi mama bisa bantu kamu ngomong sama Viola. Mama yakin kalau Viola bisa lebih percaya kalau mama ikut dengan kamu bicarain semua ini!” seru Alia lagi tidak mau kalah yang membuat Panji terdiam.             Dia tahu jelas sifat Alia seperti apa. Dia tidak bisa dilawan. Apa pun yang dia inginkan, harus terlaksana sesuai keinginannya. Panji sebenarnya ingin meyakinkan Viola sendirian. Mencoba memberikannya gambaran-gambaran tentang rencananya itu lebih leluasa. Dia tidak akan bisa berbicara bebas saat ada Alia di dekatnya. Panji yakin, Alia akan mendominasi situasi nantinya. Dan hal itu yang membuat Panji tidak bisa memberikan bayangan tentang masa depan Ketika kedua kaki palsu itu sudah melekat di tubuh Alia.             “Al, sebaiknya biarkan saja Panji yang berbicara berdua dengan Viola. Dia sekarnag suaminya. Kita tidak perlu terlalu ikut campur dengan semua hal yang mereka ingin lakukan kalau tidak diminta.” Herman mencoba memberikan pengertian pada alia yang kini sedikit memanyunkan bibirnya. “biar gimana pun, kamu dan Viola juga sering bertengkar karena salah paham kan? Dan Panji yang selalu membenarkan dan memperbaiki segalanya. Dengan kata lain, dari dulu cuma Panji yang bisa dipercayai Viola. Kita sebagai orang tua sekarang posisinya, Cuma melihat saja, dan turun tangan saat mereka tidak bisa menyelesaikan masalah mereka. Itu pun dengan syarat Panji dan Viola yang meminta sendiri bantuan kita.”             “Aku hanya ingin meyakinkan Viola saja,” ucap Alia tampak kecewa yang membuat Panji tak tega melihatnya.             “Maaf, Ma, bukan Panji gak mau mama membantu. Tapi sejujurnya Panji ingin Viola dengar rencana ini langsung dari mulut Panji sendiri.” Panji mencoba tetap tenang walau dia tahu, saat ini Alia kecewa luar biasa akibat tak ada satu pun yang mendukungnya. “Panji ingin, Viola merasa Panji mendukung rencana ini, jadi dia pun gak ragu untuk menerima usul Bara.”             Alia menatap Herman yang mengangguk pelan kepadanya. Alia menghela napas panjang, tersenyum tipis lantas mengangguk tanda menyerah dan menyetujui rencana itu. Panji benar-benar lega mendengarnya. ***             “Aku ingin melihat Viola, sudah lama aku tidak bertemu dengannya,” ucap Mawar dari telepon saat Aldo menghubunginya tengah malam.             Aldo yang sebelumnya duduk di kursi belajarnya yang terletak di sisi kanan kamar, tersenyum tipis sembari berpindah ke tempat tidur. Aldo berbaring di sana, menatap langit-langit kamar yang masih terang benderang akibat cahaya lampu. Dia membenarkan apa yang dikatakan Mawar. Sudah cukup lama keduanya tidak berkunjung ke rumah Viola. Viola yang sempat menutup diri dari semua orang, membuat Mawar yang selalu ada dulu buat Viola, kini mengurung diri di rumah dan sesekali ke luar itu pun saat Aldo menjemputnya. Atau malah pergi bersama keluarga. Aldo tahu, Mawar sangat merindukan sahabatnya itu. Dan semua itu dia ketahui dari cerita Mawar tentang rindu yang dia rasakan untuk Viola.             “Kamu udah coba hubungi Viola?” tanya Aldo yang langsung dijawab Mawar dengan anggukan.             “Aku sudah mencoba menghubunginnya seminggu lalu, tapi gak diangkat. Aku coba kirim pesan, dia hanya balas singkat.”             “Itu berarti Viola belum mengizinkan siapa pun untuk menemuinya, War,” ucap Aldo yang jelas saja membuat Mawar sedih bukan main.             “Aku benar-benar merindukannya, Al,” ucap Mawar dengan nada sedih yang jelas terasa di hati Aldo. Dia tahu, pacarnya itu ingin bercerita banyak hal bersama Viola. Namun kondisi Viola yang belum bisa menerima keadaannya sendiri, membuat Aldo juga melarang Mawar untuk sekedar menemuinya.             “Gini aja, besok coba hubungi Viola sekali lagi, kalau dia mengizinkan kita datang ke rumahnya, kita akan ke sana sepulang aku kuliah, oke?” tanya Aldo yang langsung dijawab Mawar dengana anggukan cepat. Senyuman terlukis di bibirnya. Dia benar-bear senang bukan main mendengar ucapan Aldo saat itu. Walau pun ketidakyakinan masih hadir di hatinya akibat penolakan yang akan dilakukan Viola padanya. Namun mendengar Aldo tidka lagi melarangnya, membuat dirinya lega bukan main. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN