BAB 25

1306 Kata
            Viola menatapnya pilu. Kalimat Mawar mengingatkan pada sosok dirinya yang dulu begitu mengharapkan Aldo. Diam-diam memerhatikan Aldo bahkan selalu ingin berduaan atau sekedar dipandang Aldo walau sesaat.             “Loe kenapa sih, Vi?!” tanya Mawar lagi. “Banyak yang suka sama Aldo, banyak yang mencintainya. Tapi elo … malah nyia-nyiain kesempatan yang loe dapatkan!” Mawar masih terlihat emosi. “Kalau gue jadi loe, gue gak bakalan ngelakuin apa yang loe lakuin sekarang. Gue bakalan jaga cinta Aldo. Tapi sayangnya gue gak punya kesempatan itu!!!”             Rasa kaget seketika menyeruak di diri Viola. Kalimat Mawar memberikan satu ungkapan penuh ketulusan bahwa Mawar, memiliki rasa pada Aldo. Mawar sendiri yang merasa dirinya terlalu gamblang mengatakan segalanya, langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan sembari menatap bingung ke segala arah.             “Loe cinta sama Aldo?”   Sesaat hening. Mawar tampak bingung dengan jawaban yang harus dia ucapkan. Namun tatapan Viola, membuatnya mau tidak mau harus menjawab segalanya. Dia lelah untuk bersembunyi dan menahan apa yang dia rasakan. “Maafin gue, Vi.” Mawar menundukkan kepala. “Udah lama gue suka sama Aldo. Tapi gue sadar kalau yang lebih berhak atas Aldo itu elo. Bukan gue.”             Viola menghela napas. Kalimat Mawar sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit atau cemburu di hatinya. Dia malah lega. Sangat lega mendengarnya. Namun ada rasa tidak enak hati karena selama ini secara tidak sengaja, menyakiti sahabatnya sendiri.             Viola memeluk erat tubuh Mawar. Mawar terisak. Akhirnya rasa yang selama ini begitu menekan batinnya, terlepas juga. Ada rasa plong di dasar hatinya. Namun di sisi lain, dia merasa telah mengusik hubungan Viola dan Aldo.             “Maafin gue ya, Vi,” isaknya.             Viola melepaskan pelukannya. Menghapus air mata yang masih membasahi kedua pipi Mawar, “Loe gak salah. Gak ada yang bisa menghalangi cinta untuk hadir di hati. Apa yang loe rasain, adalah rasa yang sesungguhnya.” Viola menyunggingkan senyuman. “Dan gue ikhlas ngelepasin Aldo buat loe.”             Wajah kaget seketika tergaris di wajah Mawar, dia mundur beberapa saat lalu menatap Viola tak percaya, “Loe sadar sama yang loe ucapin, Vi?!”             “Gue sadar kok,” jawab Viola. “Sebenarnya ada yang harus loe ketahui, War.” Viola menghela napas. Sesaat dia ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan juga Panji. Namun mengingat sejak dulu dia tidak pernah mampu menyembunyikan sesuatu dari Mawar. Menghadirkan satu rasa keberanian di dirinya dan kembali menatap Mawar dengan tatapan serius. “Gue dan Bang Panji … pacaran.”             Mawar terpekik kaget. Detakan jantungnya seakan berhenti seketika mendengar kalimat Viola barusan. Napasnya tak seirama. Mawar sendiri tidak percaya dengan apa yang dikatakan Viola. Hal itu terlalu mustahil terjadi mengingat keduanya berstatus saudara kandung.             “Loe gila, Vi!” bentak Mawar. “Kalian gak bakalan bisa sama-sama selamanya. Percuma kalian pacaran!”             “Kami tahu itu, makanya kami nekat pacaran. Karena kami bakalan pisah di kemudian hari. Jadi, kami ingin nikmatin segalanya sebelum waktu itu tiba.”             Mawar menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Semua ini sulit ia terima dengan akal. Tapi apapun penolakannya, semua itu sudah menjadi pilihan bagi Viola. Mawar mendekat lalu memeluknya erat. Mencoba tetap berdiri di sampingnya walau dia tahu semua ini kesalahan.             “Jadi gitu ceritanya?” Sebuah suara terdengar menghentikan pelukan sahabat itu. Viola menatap kaget ke arah sosok cowok yang tak asing baginya. Sedangkan Mawar, langsung menundukkan kepala. Dia takut jika harus bertatap muka dengan Aldo yang mungkin saja mendengar semuanya.             “Aldo!” seru Viola. “Sejak kapan kamu di situ?”             “Baru aja. Lebih tepatnya gue dengar semua yang loe katakan.” Aldo menatap lamat-lamat ke Viola. Panggilannya yang semula aku dan kamu, kini berubah seketika. “Ternyata dugaan gue tepat pada sasaran. Selamat ya.”             Kedua mata Viola berkaca-kaca, “Maafin gue, Al.”             “Loe gak perlu minta maaf. Lo gak salah,” ucap Aldo. “Dan gue janji gak bakalan bilang siapa pun.”             Viola menundukkan kepalanya. Aldo mendekat lalu membelai lembut kepala Viola, “Cinta memang sulit ditebak. Dan gue yakin, keputusan kalian adalah keputusan yang bisa kalian pertanggung jawabkan. Gue boleh minta satu hal?”             “Apa?” Viola kembali mengarahkan tatapannya ke Aldo.             Aldo menghela napasnya, “Katakan di hadapan gue, kalau kita putus.”             Bibir Viola bergetar. Dia benar-benar tidak sanggup mengatakan apa yang ingin Aldo dengar. Aldo memejamkan kedua matanya sesaat, lalu kembali menatap Viola dengan senyuman. Anggukan kepalanya membuat Viola semakin sedih.             “Gue gak mau nama loe jelek di mata semua orang cuma gara-gara gue yang mutusin. Ayo katakan, Vi.”             “Tapi, Al ….”             “Ayo, Vi.” Aldo mencoba tersenyum walau getir terlihat di kedua mata Viola dan juga Mawar.               Viola menundukkan kepalanya sesaat, lalu menatap Aldo dengan air mata berlinang, “Al, gue … gue mau kita putus.”             Sakit. Hal itu jelas dirasakan Aldo yang masih tersenyum getir. Dia menggenggam kedua tangan Viola, lalu mencoba menahan air mata yang ingin jatuh melemahkannya.             “Oke, kita resmi putus. Jaga dirimu baik-baik ya.” Aldo berlalu meninggalkan Viola yang kini semakin terisak. Mawar memeluknya dari samping dan kembali mencoba menenangkannya. Berusaha ikut larut dalam kesedihan yang kini Viola rasakan begitu menyesakkan d**a. ***             Nikita keluar dari kelas setelah menyelesaikan mata kuliah terakhirnya. Senyumannya terukir saat beberapa cowok menyapanya. Nikita tampak cantik dengan balutan gaun biru dengan hak tinggi sepatunya yang berwarna putih bersih. Rambutnya tergerai dan terlihat anting-anting di kedua daun telinganya.             Nikita melangkah menuju parkiran tempat mobilnya berada. Baru saja dia ingin membuka pintu, terdengar suara seseorang menyerukan namanya. Nikita mengurungkan niat lalu berbalik.             “Maaf, Kak. Kakak ini Kak Nikita bukan?”             “Iya, kamu siapa ya?”             “Gue Mawar, Kak. Sahabatnya Viola,” ucap Mawar sembari mengulurkan tangannya. Nikita membalasnya dengan ramah. “Dan ini Aldo.”             “Iya, kalau dia kakak ingat,” ucap Nikita. “Ada perlu apa ya?”             “Boleh ngomong sebentar gak, Kak?” Aldo tampak serius saat itu. Nadanya datar yang langsung membuat Nikita menatapnya dengan perasaan sedikit kalut.             “Boleh, kalau gitu kita ke café langganan gue aja yah.” Aldo mengangguk begitu juga dengan Mawar.             Nikita langsung mengajak keduanya masuk ke dalam mobil setelah memastikan keduanya datang tanpa membawa kendaraan. Mawar memutuskan untuk duduk di samping Nikita yang saat itu menyetir mobilnya sendiri. Sedangkan Aldo, duduk di belakang sendirian.             Nikita tampak terkejut dengan apa yang Aldo dan Mawar katakan. Aldo yang ingin Viola serta Panji menikmati hubungannya tanpa halangan orang lain, membuatnya mengambil keputusan untuk memberitahukan semuanya langsung pada Nikita. Nikita terdiam. Raut tidak percaya hadir begitu nyata di wajahnya. Aldo dan Mawar masih terdiam menanti jawaban darinya.             “Gue sudah mengikhlaskan Viola, Kak. Apa kakak bisa melakukan hal yang sama untuk mereka?”             Nikita menatap Aldo pilu. Kedua matanya berkaca-kaca. Ini pasti sulit untuk diterima cewek selembut Nikita. Aldo sendiri mencoba menahan segala rasa sakit jauh di dasar hatinya.             “Tapi mereka ….”             “Cinta gak bisa ditolak kedatangannya kan, Kak?” potong Mawar hingga membuat Nikita meneteskan air mata.             Aldo menelan ludahnya dan kembali menatap Nikita yang masih tampak kalut, “Gue tahu perasaan kakak. Sakit. Dan itu jelas gue rasain. Tapi apa kakak yakin bisa bertahan di atas cinta terpaksa Bang Panji? Apa kakak bisa terima kalau kakak cuma dijadikan alat agar kedua orang tua mereka, tidak curiga?”             Nikita mencoba mengembalikan irama napasnya dengan berulang kali menarik napas lalu menghembuskannya. Mawar sendiri yang melihatnya hanya mampu terdiam dengan terus mengusap punggung Nikita berulang kali.             Senyuman tergaris di bibir Nikita. Senyuman lebar walau terasa getir untuk ditangkap kedua mata Aldo dan Mawar, “Gue akan coba lepasin Panji. Gue janji sama kalian.”             Lega. Hanya itulah yang kini terasa di hati Aldo dan Mawar. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum lebar. Nikita sendiri berusaha menahan air matanya yang ingin terus mengalir tanpa henti. Dia mencoba menengadahkan kepalanya menatap langit-langit café, agar air matanya, tak terjun membasahi kedua pipi.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN